Buang jungBuang jung adalah upacara adat yang dilakukan masyarakat suku Sawang di Bangka Belitung. Buang jung berarti membuang atau melepaskan perahu ke laut. Menurut kepercayaan suku Sawang, upacara ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur dan keluarga yang telah tiada serta memohon keselamatan dan kesejahteraan saat melaut. Upacara ini terutama dilakukan oleh suku Sawang di Kabupaten Bangka Selatan menjelang datangnya musim barat.[1][2] Rangkaian upacara adat ini terdiri dari beberapa ritual, yakni bediker, naik jitun, mancing, numbak, dan campak laut, sebelum ditutup dengan buang jung. Perahu kecil atau jung yang dibuat dihiasi daun kelapa dan beberapa macam bahan persembahan di dalamnya.[1] Saat buang jung dilakukan, para nelayan dilarang menangkap ikan dan menebang pohon. Begitu pula, tempat yang akan dijadikan lokasi upacara adat buang jung, ditutup dari aktivitas umum seperti wisata.[3] Pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) menetapkan upacara adat ini sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.[2] PenyelenggaraanUpacara adat buang jong atau buang jung diadakan setahun sekali. Waktu yang dipilih adalah menjelang datangnya musim Barat (pancaroba), yakni sekitar akhir bulan Juni sampai Agustus. Hari yang dipilih ketika bulan purnama. Penyelenggaraan upacara diadakan di perkampungan suku Sekak yang berada di sekitar laut, seperti di Kecamatan Lepar Pongok, Kabupaten Bangka Selatan.[3] Upacara ini dilaksanakan 3 hari 3 malam berturut-turut. Upaara ini akan dipimpin oleh seorang dukun. Pelaksanaannya kemudian diikuti oleh semua orang Sawang dari berbagai wilayah di sekitar Pulau Belitung. Upacara buang jung akan diawali dengan tradisi mengambil kayu di hutan oleh masyarakat Sawang. Sementara itu, sang dukun mulai mengadakan penyelidikan di hutan untuk menentukan kayu yang dapat diambil. Ketika dukun sudah memastikan area hutan mana yang dapat diambil kayunya, masyarakat kemudian berduyun-duyun memasuki hutan keesokan harinya diiringi oleh sang dukun.[4] PerlengkapanPerlengkapan utama yang diperlukan dalam upacara buang jung yakni jung, balai penonang, tiang jitun, dan tempa.[1] Jong dalam bahasa setempat berarti perahu. Perahu yang akan dilepaskan berukuran sekitar tiga kali satu meter. Layar perahu terbuat dari kain berwarna putih, dilengkapi keranjang (raga) tempat meletakkan sesajen. Jung diberi beranekaragam hiasan dari kertas krep dan daun kelapa muda atau janur. Jung diberi cat minyak dengan warna putih, merah, hijau, dan cat buatan sendiri berbahan campuran arang, kunyit, dan kapur.[1] Balai penonang merupakan replika rumah-rumahan berbentuk limas terbuat dari kayu yang dihiasi dengan janur, kertas krep, dan dicat. Balai penonang berjumlah empat, tiga dengan ukuran 1 x 1 meter dan satu lagi dibuat dengan ukuran yang lebih besar. Balai yang berukuran lebih besar akan digunakan dalam upacara balai.[1] Tiang jitun merupakan tiang yang akan dipasang di pantai, tempat upacara buang jung dilaksanakan. Tiang jitun berbahan kayu gelam yang dipertemukan segitiganya dan dipaku serta diikat dengan seutas tali. Tinggi tiang jitun yang dipasang adalah enam depa atau sembilan meter.[1] Adapun tempa merupakan saluran air yang terbuat dari kayu-kayu kecil (anak laras) yang disusun dan dilapisi dengan kain dan tikar. Tempa berfungsi sebagai tempat memandikan para pelaksana buang jung sehabis mereka melaksanakan tugas.[1] Ancak dianggap sebagai tuan rumah dari makhluk halus, roh leluhur, dewa dewi penghuni lautan yang dapat melindungi warga Saweng ketika melaut atas perintah dari Yang Maha Kuasa.[butuh rujukan] Wujud dari rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan tersebut disimbolkan ke dalam sesaji, ancak, dan jitun yang dilarung ke lautan.[5] TahapanPelaksanaan buang jung dibagi dalam tiga tahap, yakni tahap sebelum upacara, tahap pelaksanaan upacara, dan tahap sesudah upacara. Keseluruhan tahapan memakan waktu hingga dua hari. Rangkaian ritual yang dilakukan dalam praacara sampai puncak dipimpin oleh seorang dukun.[1] PraacaraUntuk menentuan waktu pelaksanaan upacara, dukun akan melakukan ritual berupa semadi sambil membaca doa atau biang. Upacara dapat dilaksanakan jika tidak ada sesuatu yang akan menjadi halangan menurut isyarat yang diperoleh oleh dukun. Sebaliknya, jika terdapat halangan, pelaksanaan upacara akan ditunda. Setelah waktu pelaksanaan upcara didapatkan, para perangkat upacara akan memulai persiapan. Persiapan berupa pencarian dana untuk keperluan upacara dan perlengkapan upacara, terutama jung, balai, dan tempa. Dalam pemilihan lokasi hutan, dukun akan memimpin upacara dengan ritual berupa permohonan terhadap roh. Setelah lokasi hutan didapatkan, para pria akan melakukan penebangan kayu, sementara para wanita membantu dengan memberi hiburan dengan bernyanyi dan menari.[1] Pada malam sebelum upacara, orang-orang akan menari dan berpesta mengelilingi perahu, sambil mendendangkan syair-syair magis.[2] UpacaraUpacara adat ini diawali dengan pembacaan doa bersama oleh tetua adat, dilanjutkan dengan "tunjang angin", yakni pertunjukan kesenian tradisional Suku Sawang. Seorang lelaki dari suku Sawang menunjukkan keahliannya berdiri di atas dua buah tiang kayu dengan mengikuti irama gendang sembari menari. Setelah tunjang angin berakhir, para tetua adat mulai melaksanakan acara inti yakni buang Jung.[6] Sambil diiringi pembacaan doa, perahu kayu berisikan aneka makanan yang telah disiapkan sebelumnya dibawa ke tepian laut dan dihanutkan. Meskipun perahu itu mulai terbawa ombak hingga ke tengah laut, semua warga Sekak masih tetap berdiri di tepi pantai. Kegiatan dlanjutkan dengan nyanyian, tari-tarian, dan musik tradisional.[6] Rujukan
|