Berry Juliandi (lahir Jakarta, 23 Juli 1978), adalah Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (2021-2025).[1] Di luar aktivitasnya sebagai akademisi, Berry aktif sebagai anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dan menjabat sebagai Sekretaris Jenderal periode 2018-2020. Berry terpilih menjadi anggota ALMI sejak 2016 setelah dinominasikan berdasarkan rekam jejak akademik, publikasi internasional, dan juga prestasinya terpilih sebagai fellow Kavli Frontiers of Science (2012 dan 2017).[2]
Di almamaternya, Institut Pertanian Bogor, Berry telah berkiprah sejak April 2001 sebagai dosen dan peneliti bidang fisiologi dan perilaku hewan di Departemen Biologi dan mengepalai Laboratorium Sel Punca Hewan di Pusat Penelitian Sumber Daya Alam & Bioteknologi (PPSH-IPB). Sejak November 2014, ia juga menjabat sebagai pemimpin redaksi HAYATI—Journal of Biosciences, yang sudah terindeks Scopus. Kepakaran Berry adalah neurosains molekuler, dengan gelar PhD di bidang ini yang ia peroleh dari Nara Institute of Science & Technology, Jepang, pada 2011. Berry melanjutkan sebagai peneliti di institut yang sama hingga Maret 2013, kemudian sebagai peneliti di Kyushu University sampai Maret 2014. Pendidikan S1 dan S2 Berry diselesaikan di IPB.
Berry aktif dalam peningkatan literasi sains di masyarakat dan mendorong jurnalisme sains. Di masa pandemi, berita palsu atau hoax merupakan tantangan berat bagi para ilmuwan. Upaya-upaya ilmuwan terhambat dengan berita palsu yang beredar sehingga ilmuwan harus bekerja lebih keras dengan melakukan klarifikasi dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat.[3]
Pada 4 Juli 2019 lalu, Berry (bersama jurnalis sains Dyna Rochmyaningsih) meraih pernghargaan bergengsi sebagai pemenang dalam Award World Federation of Science Journalists (WFSJ) di Lausane, Swiss.[4] Selama Juni-Agustus 2018, Dyna mengikuti kegiatan Berry dan melaporkannya dalam sebuah karya jurnalisme berjudul “Advocating International Collaboration.”[5] Dalam bulan-bulan tersebut, di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sedang digodok RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang salah satu pasalnya adalah mempidanakan peneliti asing yang melanggar peraturan di Indonesia. Berry yang ketika itu baru saja terpilih sebagai Sekretaris Jenderal ALMI melakukan pendekatan-pendekatan ke berbagai institusi untuk menggagalkan pasal pidana RUU yang sedang diajukan di DPR tersebut. Berry bersama ALMI menyatakan sikap menentang pasal pidana tersebut karena dipastikan akan menghambat perkembangan dan transfer ilmu pengetahuan serta merusak ekosistem penelitian sebab tidak ada kolaborasi internasional yang memungkinkan dilakukan di Indonesia.
Berry bersama ALMI juga menyarankan kepada pemerintah dan DPR RI dalam pembahasan RUU Sisnas Iptek agar lebih mengutamakan penguatan lembaga iptek yang telah ada dan menyerahkan wewenang koordinasi kepada lembaga tersebut. Namun dalam proses penyusunan RUU, pemerintah dan DPR RI memutuskan membentuk lembaga baru, yaitu Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).[6][7] Bagaimanapun, keputusan Presiden Joko Widodo melepaskan urusan pendidikan tinggi dari Kementerian Riset dan Teknologi membawa harapan makin fokusnya pengembangan riset ke depan. Keberadaan BRIN yang disatukan dalam Kementerian Riset diharapkan mampu mengkoordinasikan serta memfasilitasi riset dan inovasi secara efektif dari hulu hingga hilir.[8] Selain itu, terkait pengelolaan dana abadi penelitian, Berry menuliskan pemikirannya mewakili para peneliti, berharap pendanaan penelitian di Indonesia lebih meningkat dan efektif dengan dibentuknya Dana Abadi Penelitian. Supaya efektif, pemerintah perlu memisahkan tiga proses bisnis pengelolaan dana dan mempertimbangkan delapan prinsip manajemen dana riset.[8]
Kepakaran
Berry Juliandi adalah salah satu perintis modifikasi nasib sel punca menjadi berbagai jenis sel yang dibutuhkan di dunia. Sel punca (stem cells) adalah sel yang memiliki potensi untuk dapat memperbanyak dirinya sendiri dan juga menjadi berbagai jenis sel lainnya di tubuh kita.[9] Oleh sebab itu, sel punca dapat kita gunakan untuk berbagai kebutuhan tubuh terutama yang terkait dengan kesehatan dan kesejahteraan. Berry adalah orang pertama di dunia yang berhasil mengubah nasib sel punca embrio mencit untuk menjadi sel saraf lapisan atas korteks otak besar yang bertanggung jawab untuk kognisi tingkat tinggi dan membedakan mammalia (termasuk manusia) dengan hewan lainnya.[10] Modifikasi nasib ini Berry lakukan bersama tim risetnya melalui modifikasi epigenetik dari sel punca asal.[11][12][13] Berry juga terlibat aktif dalam tim riset internasional yang mengembangkan metode transplantasi atau pencangkokan sel punca pluripoten terinduksi manusia (human induced pluripotent stem cells, h-iPS cells) untuk menyembuhkan kelumpuhan akibat cedera tulang belakang.[14] Berry dan tim juga berhasil menggunakan sel punca mesenkimal dari tali pusar manusia dan medium pertumbuhannya untuk peningkatan memori, penyembuhan penyakit osteoarthritis dan stroke pada hewan model.[15][16][17][18][19] Saat ini Berry dan tim berkonsentrasi ke penemuan bahan-bahan aktif dari sumber/kearifan lokal di Indonesia yang dapat meningkatkan memori melalui modifikasi nasib sel punca saraf di hipokampus otak.[20][21][22][23] Berry juga dikenal sebagai salah satu anggota tim riset internasional yang berhasil menemukan mekanisme komunikasi molekuler antara sel saraf dengan sel pertahanan tubuh di hipokampus otak yang bertanggung jawab terhadap keseimbangan jumlah sel saraf setelah peristiwa kejang pada pengidap epilepsi.[24]