Pada tanggal 20 Februari 2017, Sudah Selatan dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mendeklarasikan Bencana kelaparan Sudan Selatan 2017 di bagian Negara Bagian Unity, dengan ancaman bahwa bencana itu akan cepat menyebar jika tidak ada tindakan lanjutan. Lebih dari 100.000 penduduk masih berada dalam pengaruh menyusul perang saudara dan kebangkrutan ekonomi. Program Pangan Dunia PBB mengatakan bahwa 40% populasi di Sudan Selatan 4,9 juta orang, memerlukan makanan segera.[1][2] Pihak PBB menyatakan, bahwa Presiden Salva Kiir Mayardit telah mengatur pengiriman pangan kepada beberapa kawasan.[3] Sebagai tambahan, sebagian dari Sudan Selatan tidak mengalami musim hujan selama dua tahun.[4] Dengan pertanian yang terganggu oleh perang, para petani telah kehilangan cadangan pangan untuk hidup dan peralatan-peralatan mereka sehingga sangat tergantung dari tangkapan ikan atau gathering plants.[5]
Konteks
Sudan Selatan dilanda kelaparan tahun 1998 sebelum merdeka, tetapi belum ada kelaparan yang secara resmi dideklarasikan di mana pun di dunia, selama enam tahun sebelum tahun 2017. Sudah ada peringatan menjelang ancaman kelaparan tersebut di Yaman, Somalia, dan di timur laut Nigeria, tetapi deklarasi formal mensyaratkan beberapa kriteria berikut ini:[2]
20% dari rumah tangga dilanda kekurangan pangan.
30% dari populasi mengalami kurang gizi secara ekstrim.
Lebih dari satu per 5,000 orang meninggal setiap hari.
Sebuah pemutakhiran kabar pada 20 Februari dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC)[6] mendapati, 4,9 juta penduduk Sudan Selatan, 40% populasi, yang memerlukan pasokan makanan segera, pertanian, dan nutrisi tambahan. Laporan tersebut telah diteliti di 23 negara, dengan 14 aksi darurat pada ambang 15% kurang gizi akut. Program Pangan Dunia mengeluarkan bantuan di wilayah perang, melakukan mitigasi risiko bencana kelaparan di kawasan lain, termasuk Northern Bahr El Ghazal.[5]Bahr el Ghazal merupakan daerah yang paling banyak terkena dampak dari bencana kelaparan tahun 1998, ketika dilanda perang selama dua tahun, sebuah pelarangan pengedopan melalui udara, pelarangan gerakan, perampasan kuil, dan perusakan toko-toko makanan.[7]
Sebuah laporan dari PBB tahun 2016 menjelaskan, Negara Bagian Unity sebagai daerah yang masih bergolak dalam perang saudara oleh sebab "kepentingan ekonomi dan simbolik besar karena sumber daya minyak yang luas dan juga sebagai negara yang didominasi Nuer, dalam konflik yang telah mengadu dua suku yang dominan, Dinkas dan Nuers, yang saling bertentangan satu sama lain."[8][9][10][11][12][13][14]