Pada tahun 1872 - 1876 Syekh Abdul Karim berdakwah di Banten, pada tahun 1876 beliau ditunjuk sebagai pengganti syekh Chatib Sambas pemimpin tertinggi tarekat Qadiriyah di Mekah. Syekh Chatib Sambas juga merupakan guru dari syekh Tolhah dari Trusmi, Cirebon[3]
Pada tahun 1883 gunung Krakatau meletus, penduduk Anyer yang selamat mengungsi ke Cilegon[4]
Pada tahun 1885 di Banten terjadi peristiwa penyakit ternak yang menyerang kerbau, Belanda memerintahkan agar menembaki kerbau-kerbau jika diantara kawanan itu terdapat kerbau yang sakit[4]
Pada 18 November 1887, ditengah bencana akibat meletusnya gunung Krakatau dan wabah penyakit ternak, Belanda kemudian menyinggung rasa keagamaan masyarakat Banten dengan membawa seorang seorang ulama Banten yang bernama Wasid dan mendendanya sebesar 7.5 Gulden atau 3 ringgit akibat perbuatannya memotong pohon keramat pada suatu lahan yang dijadikan sebagai tempat sesajen dikarenakan masyarakat percaya jika menaruh sesajen pada pohon tersebut maka bencana yang terjadi dapat segera hilang. Denda yang dijatuhkan kepada Kyai Wasid dikarenakan pemilik lahan yang merasa diuntungkan dengan adanya pemujaan pohon keramat tersebut melaporkan kerugian yang diakibatkan dari rusaknya pohon tersebut, kyai Wasid lantas dilaporkan dengan tuduhan memasuki lahan milik orang lain tanpa izin dan merusak pohoh milik orang lain,[4] setelah ini ada pula perintah larangan azan dengan suara keras di menara masjid, akibatnya para ulama Banten mengadakan perlawanan kepada Belanda.
Pada 9 Juli 1888 para ulama memulai serangannya, pertama yang diserang adalah rumah juru tulis asisten residen Banten yang bernama Henri Francois Dumas[5]
Terlibatnya murid-murid dari syekh Abdul Karim di Banten pada peristiwa Geger Cilegon membuat syekh Tolhah yang merupakan satu perguruan dengan syekh Abdul Karim dicurigai dan dimata-matai oleh Belanda, syekh Tolhan kemudian dimasukan ke dalam penjara dan kemudian dilepaskan karena tidak cukup bukti. Pada masa sebelumnya syekh Abdul Karim lah yang menunjuk dirinya sebagai khalifah bagian timur jawa barat. Pada tahun 1876 setelah belajar agama Islam dibawah bimbingan syekh Chatib Sambas di Mekah, beliau ditunjuk sebagai khalifah tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyyah di Cirebon setelah kepulangannya.[3]
Syekh Tolhah di Trusmi kemudian bergerak dengan mengatasnamakan tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyyah untuk menghindari konflik, di Trusmi syekh Tolhah juga menjaga hubungan baik dengan Sultan Sepuh Atmaja Rajaningrat yang kemudian menetapkan beliau sebagai penasehat pribadi sultan.[3]
Pada tahun 1935 syekh Tolhah wafat, beliau kemudian dikebumikan di pemakaman Astana Gunung Jati.[6]