Aluda merupakan Sultan Sepuh yang memerintah setelah periode panjang perwalian oleh Ratu Ayu Adimah (istri Sultan Sepuh Atmaja). Beliau menjadi penguasa kesultanan Kasepuhan pada tahun 1899 dengan gelar Sultan Sepuh Djamaluddin Aluda Tajularipin Rajanatadiningrat.
Ratu Ayu Pamerat meninggal pada tahun 1922, setelah itu Sultan Sepuh Aluda menikah lagi dengan Nyimas Rukiah.[3] Nyimas Rukiah meninggal pada tahun 1979[1]
Perkembangan Kesenian
Kesenian di Kasepuhan kemudian pertumbuhannya mulai baik ketika keraton Kasepuhan dipimpin oleh Sultan Sepuh Atmaja ( 1880 - 1899 ) dan Sultan Sepuh Aluda ( 1899 - 1942 ). Adapun ketika berlanjut kepada sultan ke - 12 yaitu Sultan Jayaningrat (Alexander Rajaningrat) (1942-1969) penyelenggaraan pertunjukan wayang Wong ini semakin menurun akibat penyediaan biayanya yang semakin menipis.[4]
Pada tahun 1886, pertunjukan wayang orang Cirebon yang dibawakan oleh para keturunan bangsawan kesultanan masih banyak diminati oleh masyarakat, namun hanya sedikit orang Eropa yang tertarik untuk menyaksikannya.[5]
Di zaman Sultan Sepuh Aluda, para Seniman wayang Wong tersebut kebanyakan berasal dari desa Mayung, Gegesik, Palimanan Slangit dan Suranenggala. Sebagai imbalan dari sultan kepada setiap seniman adalah pemberian tanah garapan, dan pemberian gelar kepada sejumlah dalang.[4]
Pertunjukan kesenian Eropa
Pada saat acara khitanan Pangeran Mohamad Jamaludin (Sultan Sepuh Aluda) di tahun 1889[5] diadakanlah pertunjukan tarian Eropa selepas pidato ucapan selamat yang dilakukan oleh Residen Cirebon dan Bupati Cirebon pada masa tersebut[5]
Pertunjukan kesenian Eropa kemudian menjadi hal yang lumrah pada setiap acara syukuran yang diadakan pada masa kepemimpinan Sultan Sepuh Aluda di kesultanan Kasepuhan[5]
Pada tahun 1899, saat pelantikan Pangeran Mohamad Jamaludin sebagai Sultan Sepuh, acaranya diisi oleh pertunjukan dansa dan kembang api.[5]
Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi atau pesta Muludan di kalangan kesultanan Kasepuhan baru dilakukan pada masa Sultan Sepuh Aluda (bertahta : 1889 - 1942). Pada masa itu peringatan Maulid Nabi dilakukan secara sederhana yakni diawali dengan Caosan (menerima para tamu undangan yang hadir) para tamu atau masyarakat ini datang dengan membawa barang pemberian, tanda bahwa mereka setia kepada kesultanan Kasepuhan. Acara kemudian dilanjutkan dengan dzikir dan salawat selama semalam sementara hidangan tersedia diatas piring-piring porselen[6]