Akar kata bahasa Proto-Indo-Eropa

Akar kata dari rekonstruksi bahasa Proto-Indo-Eropa (PIE) terdiri atas bagian sederhana dari kata yang membawa arti leksikal yang dikenal sebagai morfem. Akar kata biasanya memiliki arti verbal seperti "membawa" ataupun "berlari". Asal kata dalam bahasa tersebut tidak pernah berdiri sendiri. Perubahan komposisi suara total pada kata kerja, kata benda, dan kata sifat terbentuk akibat penambahan morfem lanjutan ke akar kata dan menyebabkan kemungkinan terjadinya perubahan vokal dalam akar kata dalam sebuah proses yang dikenal sebagai ablaut.

Akar kata terdiri atas vokal madya yang diawali dan diikuti oleh setidaknya satu konsonan untuk setiap vokal. Akan tetapi, pertemuan gugus konsonan dan susunan tertentu yang berbeda dari kebanyakan kata dapat terjadi dengan adanya beberapa hukum bacaan. Pengertian moderen mengenai hukum bacaan tersebut adalah bahwa konsonan dengan sonoritas tertinggi (*l, *r, *y, *n[a]) akan terletak paling dekat dengan vokal, sementara konsonan dengan sonoritas terendah seperti letupan terletak paling jauh dari vokal. Terdapat juga pengecualian hukun bacaan tersebut seperti gugus thorn.

Terkadang, akar kata baru terbentuk pada masa PIE ataupun turunan awalnya dengan proses yang beragam, seperti perpanjangan akar kata (penambahan suara pada akhir akar kata yang ada) ataupun dengan metatesis.

Susunan kata

Secara tipikal, akar kata yang ditambahkan dengan akhiran akan membentuk kata dasar, dan dengan penambahan imbuhan akhiran kata akan membentuk sebuah kata.[1]

Sebagai contoh, kata *bʰéreti "dia menanggung" dapat dipecah menjadi akar kata *bʰer- "menanggung", akhiran *-e- "aspek nirsempurna" dan akhiran kata *-ti "penanda waktu masa kini, orang ketiga tunggal".[2]

Imbuhan akhiran terkadang menghilang atau tidak ada sama sekali dari susunan kata, sehingga akhiran tersebut dilambangkan dengan akhiran nol.[3] Kata-kata yang memiliki akhiran nol biasanya disebut sebagai akar kata kerja dan akar kata benda. Contoh dari kata dengan susunan ini adalah *h₁és-mi / *h₁és-∅-mi "Saya".[4] Diluar struktur dasar ini, terdapat pula sisipan sengauan yang berfungsi sebagai penanda waktu masa sekarang dan pengulangan, sebuah awalan dengan jumlah fungsi grammatikal dan turunan yang banyak.[5]

Kata kerja terhingga

Akhiran kata kerja dan akhiran nol mengandung informasi mengenai aspek dan penanda dalam tata bahasa, meskipun kategori ketatabahasaan dari keduanya tidak diketahui secara jelas. Selain itu, hampir seluruh aspek ketatabahasaan bahasa tersebut masih menjadi perdebatan. Hanya sedikit dari aspek ketatabahasaan yang diakui secara umum seperti penanda nirsempurna (kini, duratif) dan aspek perfektif (aorist). Dua dari empat moda dalam tata bahasa ini (subjunctive dan optatif) yang terbentuk dari akhiran atau biasanya juga dapat terbentuk dari dua akhiran konsekutif, sebagai contoh *bʰér-e-e-ti > *bʰérēti "dia akan TP merasakannya", dengan *e pertama digunakan sebagai penanda ketatabahasaan sedangkan yang kedua merupakan penanda subjunctive.[6] Reduplikasi struktur ketatabahasaan dapat pula menandai sebuah kata memiliki tipe masa sekarang ataupun sempurna.[5]

Pucuk akhiran kata kerja memberikan informasi mengenai persona, nomina, dan suaea. Sementara moda imperatif dilambangkan oleh himpunan akhirannya sendiri.[7]

Kata benda

Kata benda biasanya diambil dari akar kata ataupun kata kerja dasar dengan penambahan akhiran ataupun dengan pengartian lainnya. (Lihat Morfologi dari kata kerja bahasa Proto-Indo-Eropa untuk beberapa contoh.) Hal ini dapat juga berlaku pada kata-kata yang biasanya diterjemahkan sebagai kata benda, sebagai contoh *ped-, dapat diartikan sebagai "menginjakkan" ataupun "kaki", tergantung tingkatan ablut dan pucuk akhiran dari kata tersebut. Beberapa kata dasar dapat berupa kata benda seperti *h₂egʷn-o- "domba", akan tetapi, kata-kata tersebut tidak diambil dari akar kata kerja manapun yang doketahui.[8] Dalam kasus manapun, makna dari sebuah kata benda ditunjukkan oleh kata dasarnya, baik dengan komposisi dari akar kata ditambah dengan akhiran maupun tidak. Komposisi struktural kata yang demikian menyebabkan pucuk kata masih dapat menampung makna kasus ketatabahasaan dan nomina.[9]

Kata sifat

Sama halnya dengan kata kerja, kata sifat juga diambil dari pemberian akhiran dari akar kata (yang biasanya berjenis kata kerja). Sebagai contoh, *ǵn̥h₁-tó-s "didapatkan" dari akar kata *ǵenh₁- "meraih". Hal yang sama pada kata benda juga terjadi untuk pucuk kata sifat.[10]

Nomina tak terhingga

Kata-kata dengan nomina tak terhingga berjenis kata benda verbal, dan seperti layaknya kata benda lain, kata-kata tersebut dibentuk dengan penambahan akhiran. Masih belum dapat dipastikan asal dari pembentukan ulang akhiran dengan nomina tak terhingga (seperti *-dʰye-, *-tu-, *-ti-, dan lainnya) terbentuk pada bahasa-bahasa saudari pada masa itu atau tidak, yang kemudian digunakan untuk mengekspresikan nomina tak terhingga pada suatu kata dalam bahasa PIE.[11]

Partisip

Partisip pada bahasa PIE berupa kata sifat verbal yang terbentuk dengan akhiran *-ent- (yang melambangkan unsur aktiva nirsempurna dan partisip aorist), *-wos- (partisip sempurna) dan *-mh₁no- atau *-m(e)no- (partisip mediopasif), diantara sekian akhiran lainnya.[12]

Bentuk akar kata

Dalam bentuk basisnya, sebuah akar kata bahasa Proto-Indo-Eropa terdiri atas satu vokal saja dan didahului serta dilanjutkan oleh konsonan. Dalam beberapa kasus yang sangat langka, akar kata hanya dapat ditentukan karakteristiknya oleh konsonannya, sedangkan vokalnya kemungkinan dapat berubah jika terfapat infleksi ataupun pengalihan kata. Maka, akar kata seperti *bʰer- juga dapat muncul sebagai *bʰor-, dengan vokal panjang *bʰēr- atau *bʰōr-, atau bahkan vokal yang ada berubah menjadi bentuk nirsilabis *bʰr- dalam penggunaan konteks tata bahasa yang berbeda. Proses ini dikenal sebagai ablaut, sedangkan bentuk lain dari kata yang sama dikenal sebagai tingkatan ablaut. Terdapat lima tingkatan ablaut yang terjadi pada bahasa Proto-Indo-Eropa, yaitu: tingkatan-e, tingkatan-o, pemanjangan e-, tingkatan-o, dan tingkatan nol yang sedikit ataupun tidak memiliki vokal sama sekali.[13]

Dalam pengertian linguistik, *e digunakan untuk melambangkan bentuk dasar dari vokal dengan banyak tingkatan ablaut yang dapat ditemui. Beberapa percobaan rekontruksi juga memasukkan akar kata dengan *a sebagai vokalnya, meskipun keberadaan *a sebagai sebuah vokal tersendiri masih diperdebatkan.[14][b] Vokal dihimpit oleh satu atau lebih konsonan pada kedua sisinya. Konsonan yang terletak sebelun vokal merupakan onset kata, sedangkan konsonan sesudahnya berperan sebagai koda.[15]

Onset dan koda harus memiliki setidaknya satu konsonan, hal ini menyebabkan sebuah akar kata tidak diperbolehkan untuk diawali ataupun diakhiri dengan vokal ablaut manapun. Dengan hukum struktural pada akar kata yang demikian, akar kata paling sederhana yang dapat dibentuk tersusun atas onset dan kedua dengan satu konsonan dikedua sisi kata. Meskipun begitu, akar kata yang umum dijumpai lebih cenderung memiliki komposisi paling sederhana yang dapat dibentuk oleh akar kata itu sendiri, sebagai contoh: *deh₃- "memberi", *bʰer- "menerima", *dʰeh₁- "meletakkan", *dʰew- "berlari", *h₁ed- "memakan", *h₂eḱ- "tajam", *ped- "merajut", *sed- "duduk", dan *wes- "memakai [pakaian]". Akar kata juga dapat memiliki struktur onset dan koda yang lebih kompleks dengan pemberian gugus konsonan (dua atau lebih konsonan), sebagai contoh: *dʰwes- "bernafas", *h₁rewdʰ- "red", *h₃reǵ- "lurus", *leyǵ- "membangun", *prews- "membeku", *srew- "mengalir", *swep- "tidur", dan *wleykʷ- "mencampur". Sejauh ini, konsonan terbanyak yang mungkin terdapat pada akar kata berjumlah lima dari total kedua sisi akar kata, sebagaimana di *strengʰ- "melilit".[15]

Para peneliti bahasa Proto-Indo-Eropa telah merekonstruksi sejumlah awalan dan akhiran serta kedua pucuk akar kata dengan vokal.[16] Kata-kata tersebut kemudian berkembang sebagai bentuk sendiri yang selalu tersusun atas vokal panjang (sebagai contoh *dʰē- "meletakkan", *bʰwā- "bertumbuh", *dō- "memberi"). Akan tetapi, tipe pemanjangan vokal tidak terjadi untuk akar kata dengan vokal inisial, sebagaimana dalam *ed- "makan", *aǵ- "mengemudikan", *od- "mencium". Penggunaan struktur seperti ini biasanya dapat terjadi karena adanya teori laringal. Teori tersebut menjelaskan bahwa jika kata yang direkonstruksi memiliki komponen konsonan laringal diawali oleh sebuah vokal (sebagai contoh: *dʰeh₁-, *bʰweh₂-, *deh₃-), akan menyebabkan pemanjangan vokal, sedangkan jika diikuti oleh vokal (sebagai contoh: *h₁ed-, *h₂eǵ-, *h₃ed-), akan menyebabkan vokal tersebut muncil dalam bentuk pendeknya. Teori ini juga membuat akar kata dengan bentuk demikian mengikuti hukum struktural yang ada.[17]

Hirerarki sonoritas

Saat koda ataupun onset dari sebuah akar kata mengandung sebuah gugus konsonan, maka konsonan yang ada harus diurutkan berdasarkan sonoritas yang dimilikinya. Hal tersebut membuat, vokal berperan sebagai sonoritas puncak karena terletak diantara onset dan koda. Sonoritas dalam onset sendiri diurutkan dari yang terendah ke yang tertinggi, sedangkan sonoritas koda diurutkan dari yang tertinggi ke terendah.

Akar kata bahasa Proto-Indo-Eropa mengelompokkan sonoritas konsonan kedalam tiga bagian:[18]

  • Konsonan sonoran nirbibir *l, *r, *y, *n menempati urutan paling tinggi dan dilambangkan sebagai *R.
  • Sonoran bibir *w, *m, dilambangkan sebagai *M.
  • Obstruen menempati urutan paling bawah dan dilambangkan sebagai *C. Selain itu, obstruen dapat dikategorikan lagi menjadi tiga subbagian, yakni:
  • Letupan (dikelompokkan lagi menjadi tiga jenis, yaitu: nirsuara *p *t *ḱ *k *kʷ, bersuara *b *d *ǵ *g *gʷ, dan teraspirasikan *bʰ *dʰ *ǵʰ *gʰ *gʷʰ), dilambangkan sebagai *P.
  • Desisan *s.
  • Laringal *h₁ *h₂ *h₃, dilambangkan sebagai *H.

Pengelompokan diatas hanya berlaku jika:[18]

  • Vokal yang ada harus memiliki sonoritas yang lebih tinggi daripada konsonan terjauh dalam gugus konsonan dari vokal itu sendiri. Hal ini menyebabkan konsonan dalam onset harus mengikuti urutan *CMR, dan *RMCRM untuk koda, sehingga akar kata secara keseluruhan memiliki bentuk penuh sebagai *CMReRMC. Akar kata dengan urutan sonoritas yang berbeda seperti **mter- ataupun **resl-, tidak diperbolehkan.
  • Hanya satu anggota dari setiap tingkatan sonoritas yang diperbolehkan untuk digunakan dalam sebuah onset atau koda. Sehingga, akar kata seperti **wmek-, **lekt-, dan **peyl- tidak diperbolehkan.

Konsonan laringal dapat juga terjadi dalam koda "sebelum" sebuah sonoran, sebagaimana didalam *peh₂w- "kecil".[18]

Gugus obstruen

Dalam akar kata, konsonan obstruen dapat digunakan ldbih dari sekali dalam onset ataupun koda. Seperti layaknya hirerarki sonoritas, hanya satu konsonan dari setiap pengelompokan konsonan berjenis obstruen yang boleh dimasukkan kedalam gugus konsonan. Sebagai contoh, sebuah gugus konsonan tidak diperbolehkan memiliki banyak konsonan laringal ataupun letupan.[18]

Terdapat aturan untuk pengurutan komponen obstruen dalam sebuah gugus konsonan. Pengurutan ini sedikit berbeda dan tidak mengikuti hirerarki sonoritas umum.

  • Jika sebuah konsonan onset diawali oleh *s, hanya letupan nirsuara yang dapat dimasukkan kedalam gugus konsonan onset.[19]
  • Konsonan laringal cenderung muncul sebelum atau sesudah obstruen manapun selain konsonan laringal yang lainnya. Sebagai contoh, *keh₂p- "membawa", *peth₂- "terbang", *h₂sews- "mengering", *sh₂ew- "menuang, hujan", *h₁ger- "bangun", dan *th₂ews- "terdiam".[2][15]

Dalam beberapa akar kata, terdapat sebuah fenomena yang disebut sebagai pergerakan-s terjadi. Fenomena tersebut menyebabkan turunan suatu dialek ataupun bahasa dapat memiliki fonem *s beserta fonem terkait, sedangkan dialek atau bahasa yang lain sangat jarang atau bahkan tidak sama sekali menggunakan gonem tersebut. Tidak diketahui secara pasti pola pergerakan-s ini sendiri. Dalam beberapa kata, fonem *s dan turunannya dapat dan tidak dapat ditemukan pada kata yang sama dalam bahasa yang sama.[15]

Penyelarasan lebih lanjut

Bahasa Proto-Indo-Eropa sangat erat kaitannya dengan penyelarasan lintas bahasa dengan penempatan ganda dari dua konsonan serupa dalam sebuah akar kata. Sehingga pada dasarnya, tidak ada akar kata yang diketahui memiliki dua letupan bersuara murni (**ged-) ataupun dua glida (**ler-). Namun, terdapat beberapa akar kata dengan dua konsonan geseran ataupun dua sengauan diletakkan pada kedua sisinya yang dapat dihasilkan dari rekonstruksi bahasa, walaupun jumlahnya sangat sedikit dan jarang sekali terjadi, sebagai contoh: *h₂eh₃- "membakar", *nem- "memberi, mengambil", dsb. Akan tetapi, tidak seperti aturan konsonan ganda diatas, konsonan letupan nirsuara dan bersuara yang teraspirasi justru malah sering terjadi. Hal tersebut dianggap sebagai sebuah pengecualian sekaligus penyumbang jumlah akar kata yang menggunakan komponen konsonan ganda terbanyak, sebagai contoh: *dʰegʷʰ- "membakar", *peth₂- menerbangkan"). Umumnya, akar kata dengan dua konsonan letupan bersuara yang teraspirasikan kemungkinan terjadi dua kali lebih banyak pada akar kata uji.[15][20]

Selain itu, sebuah aturan tambahan mengenai tata penempatan konsonan tidak memperbolehkan adanya akar kata yang komponen konsonannya hanya terdiri atas konsonan letup nirsuara dengan letupan bersuara teraspirasikan (**tebʰ-), kecuali jika akar kata tersebut terjadi setelah fonem *s sehingga membentuk sebuah gugusan inisial kata (e.g. *stebʰ- "kaku").[15] Dengan banyaknya akar kata berjenis *DʰeDʰ, beberapa ahli telah mengajukan teori penyebaran fonem sebagai imbas dari proses asimilasi suara yang sangat jarangan terjadi pada masa penuturan bahasa Pra-Proto-Indo-Eropa. Dalam proposal tersebut, hentian nirsuara mengalami asimilasi menjadi letupan bersuara teraspirasikan jika diikuti atau diawali oleh konsonan serupa pada akar kata yang sama.[20]

Arti leksikal

Arti yang dilambangkan oleh sebuah akar kata secara konvensional sama dengan kata kerja. Hal ini dikarenakan bahasa Proto-Indo-Eropa memiliki jumlah akar kata benda yang sangat sedikit, akar kata bahasa Proto-Indo-Eropa sangat bergantung pada infleksi verbal yang terjadi diantara mekanisme morfologikal dan fonologikal yang tersusun sangat baik. Arti yang dilambangkan olehnya tidak selalu dapat direkonstruksi secara langsung dikarenakan pergeseran semantik yang menyebabkan perbedaan dari arti dalam refleksum pada bahasa saudari turunan yang telah dimasukkan kedalam faktor uji.[21] Banyak kata benda dan kata sifatv yang diambil dari akar kata verbal via penambahan akhiran dan ablautisasi.[22]

Walaupun begitu, beberapa akar kata yang sejak awal tidak memiliki bentuk verbal primer sama sekali. Selain akar kata tersebut, terdapat sebuah akar kata yang memiliki arti sebagai layaknya kata sifat sekaligus menjadi akar kata bentuk non-verbal terpenting yang disebut sebagai akar kata Caland. Akar kata seperti ini secara umum membentuk makna sifat yang berbeda-beda tergantung dari komponen akhiran yang digunakan: kata sifat proterokinetik jika memiliki akhiran *-u-, kata sifat tematik jika diakhiri *-ró- dan juga menjadi kata dasar berkesinambungan jika diakhiri oleh *-i-. Contoh dari akar kata berjenis seperti ini antara lain *h₁rewdʰ- "merah", *h₂erǵ- "putih", *dʰewb- "dalam" dan *gʷreh₂- "berat".[23]

Akar kata verbal dapat berbentuk imperfektif ataupun perfektif. Untuk membentuk sebuah kata kerja dari aspek akar kata itu sendiri, akhiran kata kerja disambungkan secara langsung dengan akar kata ataupun dengan atau tidak dengan vokal tematik.[5] Aspek "lainnya", jika dibutuhkan, akan berubah menjadi apa yang dikenal sebagai kata dasar "terkarakterisasi",[24] sehingga kata dasar tersebut menjadi sedetil kata kerja bahasa Proto-Indo-Eropa. Kata dasar nirsempura sangat sering diturunkan secara berbeda dalam penurunan lain, akan tetapi dengan tidak adanya keterkaitan antara bentuk tertentu dan juga cabang bahasa Indo-Eropa yang sangat rumit, maka bisa diartikan bahwa banyak aspek yang pudar secara bersamaan sebelum bahasa Proto-Indo-Eropa bahkan mulai bercabang.[25]

Catatan

  1. ^ The Tanda bintang * digunakan untuk menandakan fonem yang tidak ditemukan secara langsung pada kata-kata uji, tetapi telah direkonstruksi dengan menggunakan dasar dari materi linguistik lainnya.
  2. ^ Lihat artikel Ablaut dalam bahasa IE: tingkatan-a.

Referensi

Daftar pustaka

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41