Aikido
Aikido (bahasa Jepang: 合気道, aikidō) adalah seni bela diri yang mempunyai akar pertumbuhan dan budaya dari Jepang. Aikido merupakan manifestasi dari modernisasi pemikiran Jepang dengan selimut budaya Jepang tradisional. Hal ini membuat seni beladiri yang dikembangkan oleh Morihei Ueshiba sekitar tahun 1800-an (植芝 盛平 Ueshiba Morihei) menjadi sangat diminati berbagai kalangan pada abad modern ini sebagai sebuah gaya hidup. Akar ilmu bela diri aikido terutama berasal dari sebuah tradisi bela diri kuno yang turun temurun hanya dimiliki oleh sebuah keluarga istana,[1] yaitu "Daito Ryu Aiki-Jujutsu (atau ju-jutsu)". Dalam tradisi lama "Jutsu" berarti sebuah "art" atau "seni", sehingga bentuk lama ini mempunyai pakem-nya sendiri sebagai sebuah tradisi dengan tatanan gerak tertentu. "Daito" adalah sebuah nama yang merujuk kepada nama sebuah istana, yaitu Daito. "Daito" merupakan istana milik putra keturunan Kaisar Seiwa bernama Minamoto Genji Yohimitsu. Yoshimitsu diwarisi ilmu ini oleh putra keenam Kaisar Seiwa yaitu Pangeran Teijun yang sangat menggemari ilmu beladiri. Morihei Ueshiba yang biasa disebut sebagai O-Sensei mempelajari ilmu "Aiki" ini dari guru pewaris ilmu ini yaitu "Sokaku Takeda". "Takeda" adalah sebuah nama keluarga yang tidak lain adalah nama lain dari keluarga "Minamoto". Dengan bakat yang begitu besar, Morihei Ueshiba telah menyebarkan muridnya ke seluruh dunia untuk memperkenalkan keindahan ilmu seni beladiri aikido ini. Saat ini, aikido telah berkembang sekurangnya ke 93 negara di Asia, Eropa, Amerika, Australia dan sebagian Afrika. SejarahAikido diformulasikan sejak akhir 1920-an sampai dengan 1930-an hingga pada bentuknya yang sekarang oleh Morihei Ueshiba (植芝 盛平 Ueshiba Morihei, 14 Desember 1883-26 April 1969, disebut juga sebagai o-sensei 大先生、翁先生 "guru besar").[2] Ueshiba memperkaya dan mengembangkan Aikido dengan berbagai koryu (seni beladiri/seni pedang lama)[3] selain "basis"-nya Daito ryu, menjadi suatu seni beladiri yang unik.[1] Morihei Ueshiba sebagai seorang murid merupakan murid yang berbakat dan mengabdi pada gurunya yaitu Sokaku Takeda. Sokaku Takeda memberi lisensi kelengkapan ilmunya kepada Morihei Ueshiba dalam bentuk "Mokuroku". Dengan lisensi tersebut Morihei Ueshiba mendirikan sekolah pertamanya dengan nama "Ueshiba Ryu Daito Aiki jutsu" yang kemudian berubah nama menjadi "Aiki Budo" dan akhirnya disempurnakan dengan nama "Aikido". Dojo pertama Aikido didirikannya di Tokyo dan hingga saat ini masih tetap ada dan bernama Aikikai Hombu Dojo, sebagai pusat pengembangan aikido di seluruh dunia. Ueshiba menginginkan Aikido tidak hanya sebagai sebuah seni beladiri, tetapi juga ekspresi falsafah pribadinya yang bersifat damai dan universal.[4] Seumur hidupnya, Ueshiba dan murid-muridnya telah menyebarkan Aikido dengan cara mendidik dan menciptakan praktisi beladiri ini di seluruh dunia. Ueshiba meninggal pada tanggal 26 April 1969 karena penyakit kanker,[5] namun Aikido tetap berkembang pesat setelah kematiannya. Etimologi dan filsafatAikido menekankan harmonisasi dan keselarasan antara energi ki (気, prana) individu dengan ki alam semesta. Kata "aikido" berasal dari tiga huruf kanji: Seni beladiri ini juga menekankan pada prinsip kelembutan dan bagaimana untuk mengasihi serta membimbing lawan.[6] Prinsip ini diterapkan pada gerakan-gerakannya yang tidak menangkis serangan lawan atau melawan kekuatan dengan kekuatan tetapi "mengarahkan" serangan lawan untuk kemudian menaklukkan lawan tanpa ada niat untuk mencederai lawan. TeknikBerbeda dengan beladiri pada umumnya yang lebih mengutamakan pada latihan kekuatan fisik dan kecepatan, Aikido lebih mendasarkan latihannya pada penguasaan diri dan kesempurnaan teknik. Teknik-teknik yang digunakan dalam Aikido kebanyakan berupa teknik elakan, kuncian, lemparan yang tampak sama dengan bantingan.[3] Di banyak perguruan aikido, teknik-teknik pukulan maupun tendangan dalam praktiknya jarang digunakan atau malah dihilangkan. Sebenarnya teknik pukulan dan tendangan di dalam aikido tidak dikenal sedemikian sempitnya, sehingga terdapat istilah "atemi", sebagai suatu cara untuk menggunakan segala kemungkinan seluas-luasnya dalam mendaya gunakan tubuh untuk memukul-menendang dan setaranya (termasuk menggunakan dahi, siku, lutut dan lainnya). Walaupun demikian, dengan berbagai alasan teknik atemi ini cenderung ditinggalkan atau dihilangkan oleh banyak perguruan aikido. Keunikan aikido adalah geraknya yang hampir tidak pernah mundur dalam mengatasi berbagai jenis serangan. Gerakannya cenderung melingkar dibandingkan lurus-lurus. Di dalam konsep gerak inilah kita akan banyak memahami secara nyata falsafah aikido dalam artian sebenarnya. Banyak orang tertarik belajar aikido dimulai karena ketertarikannya pada falsafahnya yang cukup tinggi. Tetapi, uniknya justru terletak pada kesinambungan pemahaman antara seorang praktisi dengan seorang filsuf. Sehingga, saran setiap guru aikido kepada mereka yang ingin mengetahui aikido secara cermat adalah dengan "latihan". Falsafah yang mendasari Aikido, yaitu kasih dan konsep mengenai ki, membuat Aikido menjadi suatu seni beladiri yang unik. Secara umum Aikido dapat digolongkan sebagai beladiri kuncian dan pergumulan (Inggris: grappling).[3] Aikido tidak mengenal sistem kompetisi atau pertandingan, seperti beladiri pada umumnya untuk tujuan pemasyarakatannya. Namun cara yang dipergunakan aikido untuk memasyarakatkan dirinya adalah dengan sistem embukai atau sejenis peragaan dalam seni gerak bela diri. Hingga saat ini Aikido juga memiliki banyak cabang "teknik" (Jepang: waza; Inggris: style) yang juga memperkaya teknik-teknik yang tidak meninggalkan teknik dasarnya.[3] lebih menekankan teknik-tekniknya kepada kecepatan dalam mengatasi serangan lawan (nage). Sistem tingkatan
Sistem tingkatan yang harus dilalui oleh seorang praktisi Aikido hampir sama dengan yang digunakan oleh seni beladiri asal Jepang lainnya, yaitu sistem Kyu (mudansha, tidak memiliki dan) untuk tingkat dasar dan Shodan (yūdansha, memiliki dan = ahli) untuk tingkat mahir. Praktisi yang berada di tingkat kyu 6 sampai kyu 4 menggunakan tanda berupa sabuk yang berwarna putih, sementara praktisi yang mencapai tingkatan kyu 3 sampai 1 menggunakan sabuk berwarna cokelat. Adapula dojo yang menerapkan sabuk kyu 6 sampai 1 tetap berwarna putih. Shodan adalah tingkatan yang selanjutnya; praktisi yang mencapai tingkatan ini ditandai dengan sabuk yang berwarna hitam serta aksesoris tambahan berupa celana panjang bernama hakama.[6] Celana seperti ini biasa dipakai oleh para samurai pada zaman dahulu. Aikido di Indonesia
Aikido di Indonesia secara organisasi telah diorganisir pertama kali oleh organisasi yang juga berbentuk yayasan, yaitu "Yayasan Indonesia Aikikai" atau "YIA" pada tahun 1984. Sedangkan menurut informasi lisan (penuturan), sejarah perkembangan aikido di Indonesia telah mulai berkembang sejak sekitar tahun 1970, bersamaan dengan kembalinya putra-putra Indonesia yang lulus sarjana dari Jepang (a.l: Sensei Jozef Poetiray, Sensei Mansyur Idham, Sensei Tansu Ibrahim, dll) yang disekolahkan Pemerintah RI sebagai akibat pampasan perang Jepang. Secara istilah, "Aikido Indonesia" pertama kali digunakan oleh Perguruan Aikido Indonesia di bawah naungan Yayasan "Keluarga Bela Diri Aikido Indonesia" yang biasanya dikenal dengan istilah umum "KBAI". Yayasan KBAI terbentuk secara resmi pada tahun 1994 di Jakarta dengan para pendirinya yang terdiri dari Ir. Muhammad Gazali, Drs. Muhammad Razif, dan Ir. Ferdiansyah. Perkembangan aikido dan bela diri impor lainnya dari Jepang sebenarnya tumbuh dalam kurun waktu yang kurang lebih sama. Tetapi seni beladiri kempo, karate, jujitsu dan judo menjadi lebih dahulu populer dibandingkan aikido pada masa itu, dan pada kenyataannya seni bela diri aikido baru mulai tumbuh sejak tahun 1990 di Indonesia. Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Aikido.
|