Usman Wanimbo
Usman Genongga Wanimbo, S.E., M.Si. (lahir 8 Januari 1969) adalah Bupati Tolikara dua periode yang menjabat pada periode 2012–2017[1] dan 2017–2022, dan Politisi Partai Demokrat.[2] Ia lahir pada tanggal 8 Januari 1969 dari pasangan Abobam Genongga dan Amelu Wenda di Kampung Kanggime, Lembah Toli (Provinsi Papua). Ketika lahir, orangtuanya memberi nama Yeria Genongga, tetapi dia mengganti namanya menjadi Usman Genongga Wanimbo ketika pindah sekolah dari Kanggime ke Wunim. Lulusan Magister pada Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar ini memiliki kepedulian yang besar terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua. Selain giat membangun infrastruktur fisik di daerahnya, sosok Bupati Tolikara berjiwa visioner ini melahirkan ide cemerlang bertajuk Pelayanan Gizi 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Dalam pelaksanaannya, pemberian makanan bergizi dan pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi membawa kegembiraan bagi seluruh masyarakat Tolikara dan diapresiasi banyak kalangan.[3] Gubernur Papua Lukas Enembe, SIP., MH., menegaskan dalam sebuah tulisannya bahwa melalui Pelayanan Gizi 1000 HPK, Usman G. Wanimbo telah membesarkan nama Papua sekaligus menginspirasi semua pemimpin dalam menerapkan model pembangunan yang tepat. Bahwa untuk memajukan Papua, pembangunan infrastruktur fisik perlu diimbangi dengan peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Langkah yang perlu dilakukan adalah menyiapkan generasi unggul Papua yang dimulai sejak masa kecil, bahkan sejak dalam kandungan. Kini di tengah kesibukkan sebagai pemimpin, ia terus giat mendampingi dan melayani warga masyarakat Kabupaten Tolikara sebagai bentuk pengabdian dan rasa cintanya terhadap dunia dan tanah airnya, tanah Papua. Pada periode pertama 2012 - 2017 kepemimpinannya sebagai Bupati Tolikara, Usman Genongga Wanimbo, SE., M.Si., telah mencapai presentasi yang patut kita banggakan. Dalam buku Memori Karya Bakti Usman G. Wanimbo, SE., M.Si., Bupati Tolikara 2012 - 2017,[4] kita bisa menemukan bentangan karya gemilang pembangunan dalam bidang pemerintahan, infrastruktur, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan berbagai bidang penting lainnya. Semuanya terlihat bagai memandang mosaik pembangunan terindah yang terlukis dari kepingan-kepingan kisah sukses di setiap derap kehidupan warga Papua, khususnya warga Tolikara. Setelah membawa banyak kemajuan dalam pembangunan, tokoh ulet dan berkharismatik ini juga mengantar Kabupaten Tolikara sebagai tanah damai. Konflik pasca Pemilu Kepala Daerah pada Februari 2012[5] dan Oktober 2017,[6] serta insiden Tolikara pada 17 Juli 2015[7] dapat diselesaikan secara damai. Vita est militia (Hidup adalah perjuangan) begitulah prinsip hidupnya. Berjuang melampaui keterbatasan untuk meraih sukses besar di depan dengan menjadi rahmat bagi semua orang. Kehidupan yang keras, bahkan kejam, hanya menjadi milik para pemenang yang berani dan tangguh melawan tembok penderitaan dan sekat-sekat ketidakadilan. Dan orang-orang yang sukses melewatinya, umumnya sukses menjadi pemimpin besar, dengan tetap menghargai masa lalunya. bahkan, sanggup mengubah masa lalunya itu untuk menolong orang lain dengan tindakan nyata. Dalam buku Panggilan Tuhan Membangun Tolikara Dalam Kasih,[8] kita dapat melihat sosok inspiratif seorang Usman Genongga Wanimbo, SE., M.Si., lelaki ulet dari Kampung Kutime yang kini menjadi Bupati Tolikara. Kepingan kisah hidupnya yang ditulis pada bagian awal buku menemukan maknanya di bagian akhir buku lewat sejumlah kebijakan pembangunan yang dilakukannya demi menolong dan menyelamatkan rakyat Tolikara dari ketertinggalan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, dan isolasi geografis. Dalam video liputan jurnalis Focus Tolikara,[9] Usman meninggalkan jejaknya di hati orang Papua dengan kerja dan karya-karyanya. Dalam berbagai kesempatan, Usman G. Wanimbo selalu mengingatkan kepada rakyatnya dalam kata-kata bijak: "Seluruh hidup dan bhaktiku kupersembahkan untukmu rakyatku di negeri tercinta. Saya mencintai seluruh rakyat Tolikara siapapun anda. Norrewi, o Nalenggon - Kalenggen, Lambunik Longonip, o. (Damai Wargaku, Sejahtera Rakyatku)". Kisah Hidup: Sang Pembawa Kegembiraan Baru Saat peristiwa kelahiran, kebahagian paling utama dari setiap orang tua adalah ketika bayi yang dinanti-nantikan akhirnya menyapa dunia dalam tangisan pertamanya. Kebahagian yang sama dirasakan pasangan Abobam Genongga dan Tabunigwe Wenda, ketika tangisan pertama seorang bayi laki-laki memecah kesunyian Klinik Wuri Distrik Kanggime, 8 Januari 1969. Meskipun bukan anak pertama namun di mata bapak Abobam Genongga dan mama Tabunigwe Wenda, kelahiran putra bungsu mereka itu tetap memiliki suatu keistimewaan tersendiri. Sang bayi itu menghapus air mata mama Tabunigwe yang tak kunjung mengering dan menggantikannya dengan sebuah senyum yang paling indah. Sebuah senyuman yang segera disambut tawa lucu tiga bocah Omanus Genongga (sulung meninggal tahun 1978), Imur Genongga (meninggal tahun 2013) dan Agustina Genongga (kembar). Betapa tidak, keterbatasan sarana kesehatan di tengah cuaca dingin daerah Pegunungan Papua menyebabkan kematian dua anak mereka saat masih bayi. Hati bapak Abobam sangat terpukul. Bahkan rasa sakitnya semakin tak tertahan melihat mama Tabunigwe tak henti meneteskan air mata setiap kali mengingat kepergian kedua buah rahimnya. Kenyataan itu membuat bapak Abobam dan mama Tabunigwe putus asa dan memutuskan untuk tidak mempunya anak lagi. Ada ketakutan tersendiri. Bayangkan kematian selalu menghantui setiap kali mereka memikirkan untuk mempunyai anak lagi. Lebih lagi saat itu, selain sibuk berkebun, kedua pasang yang selalu dekat dengan Tuhan ini harus pergi pulang antara Kampung Kutime dan Kanggime untuk mengikuti sekolah injil. Jarak dari Kutime ke Kanggime ditempuh dengan jalan kaki melewati gunung dan kali selama dua hingga tiga jam. kadang dari hari Senin sampai Sabtu mereka terpaksa menginap di Kanggime dan baru ke Kutime pada hari Sabtu sore. Dalam situasi demikian, waktu untuk mengurus anak-anak menjadi semakin sulit. Namun perlahan, hati kecil bapa Abobam dan mama Tabunigwe mulai berbisik untuk mempunyai seorang anak lagi. Paling tidak untuk menggantikan dua buah hati yang telah tiada. Mereka memutuskan untuk menyerahkan niat mereka itu ke dalam doa dan kepasrahan total kepada kehendak Tuhan. Akhirnya, Tuhan menganugerahkan mereka seorang putra bungsu yang lahir pada 8 Januari 1969. Seorang putra pembawa harapan dan kegembiraan baru memecah kesunyian malam lembag Kanggime. Putra pasangan penginjil itu kemudian diberi nama Yerianus Genongga dan dipanggil Yeria. Menurut cerita Agustina Genongga, kakak Usman G. Wanimbo bahwa saat lahir Yeria memiliki tubuh sangat kecil. Meskipun demikian, bapa dan mama tetap bahagia. Tidak ada ketakutan sedikitpun yang terpancar dari mata mereka. Bukan hanya bapa dan mama, semua keluarga besar Genongga dan Wenda ikut berbahagia. "Padahal lahir di daerah pedalaman dengan fasilitas kesehatan serba terbatas, bahaya kematian bisa saja menimpa terlebih kondisi Yeria sangat memprihatinkan. Namun kuasa Tuhan bekerja saat itu. Tidak ada satu pun yang cemas. Ada suatu kegembiraan tersendiri. Kegembiraan yang sulit diungkapkan oleh semua anggota keluarga saat Yeria lahir", kisah Agustina Genongga. Riwayat Pendidikan
Belajar Tulis, Baca dan Berhitung di Atas Batu Kali Toli menjadi saksi dari kisah hidup Yeria. Di Kali itu, Yeria memulai mengenal dan mengerti arti sebuah perjuangan hidup. Ketika mengenyam pendidikan di SD pada tahun 1978 hingga 1984, setiap hari Yeria harus bangun jam empat pagi. Dalam cuaca tidak menentu, Yeria dan teman-teman melewati perjalanan yang sangat jauh dan baru tiba di sekolah sekitar jam setengah delapan pagi. Demikian juga pulang sekolah. Tanpa sandal dan sepatu mereka menempuh perjalanan selama berjam-jam sebelum tiba di rumah. Mengingat tubuhnya yang sangat kecil, Yeria terpaksa harus digendong saat menyeberang kali Toli. Ketika hujan dan kali Toli banjir, Yeria dan teman-temannya harus berteduh di dua atau lubang batu. Jika hujan tak kunjung redah, Yeria dan kawan-kawannya terpaksa tidur di tengah hutan atau di gua. Mereka baru bisa berjalan kembali keesokan harinya saat hujan telah redah. Dalam situasi demikian Yeria tetap menjaga semangat untuk terus belajar. Ia selalu menggunakan batu sebagai media untuk belajar menulis, membaca dan berhitung. Waktu itu, buku dan pensil sangat sulit didapat, sehingga batu menjadi pilihan penting untuk belajar menulis, membaca dan berhitung.[8] Kepemimpinan dan Pengalaman Berorganisasi
Karir Politik
Buku dan Artikel
Award
Referensi
|