Thomas More
Sir Thomas More (/mɔːr/; 07 Februari 1478 – 06 Juli 1535), dihormati oleh umat Katolik sebagai Santo Thomas More (bahasa Latin: Thomas Morus),[1][2] adalah seorang pengacara, filsuf sosial, penulis, negarawan, dan humanis Renaisans ternama dari Inggris. Ia juga seorang anggota dewan penasihat Raja Henry VIII, dan Tuan Kanselir Tinggi Inggris dari Oktober 1529 sampai 16 Mei 1532.[3] Ia adalah penulis buku Utopia, yang dipublikasikan pada tahun 1516, mengenai sistem politik suatu negara pulau imajiner yang ideal. More menentang Reformasi Protestan, khususnya seputar teologi Martin Luther dan William Tyndale. Ia juga menentang pemisahan diri sang raja dari Gereja Katolik, menolak untuk mengakui dia sebagai Kepala Tertinggi Gereja Inggris dan anulasi perkawinannya dengan Catherine dari Aragon. Setelah menolak untuk mengikrarkan Sumpah Supremasi, More divonis bersalah atas tuduhan pengkhianatan dan dihukum penggal. Menjelang eksekusinya, ia dilaporkan mengucapkan kata-kata: "I die the king's good servant, and God's first" ("Aku mati sebagai hamba raja yang baik, dan terutama sebagai hamba Allah yang baik"). Paus Pius XI mengkanonisasi Thomas More sebagai martir pada tahun 1935. Paus Yohanes Paulus II menyatakan St. Thomas More sebagai "Pelindung surgawi para Negarawan dan Politikus" pada tahun 2000.[4] Sejak tahun 1980, Gereja Inggris mengenangnya secara liturgis sebagai martir Reformasi.[5] Uni Soviet menghormatinya karena sikap terhadap hak kepemilikan, yang menurut mereka berhaluan komunis, di dalam buku Utopia karyanya.[6][7][8] Kehidupan awal
Thomas More lahir pada tanggal 7 Februari 1478 di Milk Street, London, putra dari pasangan Sir John More,[9] seorang pengacara sukses yang kelak menjadi hakim, dan Agnes (née Graunger) istrinya. Ia adalah anak kedua dari enam bersaudara. More menempuh pendidikan di St Anthony's School, yang ketika itu dipandang sebagai salah satu sekolah terbaik di London.[10] Antara tahun 1490–1492, More melayani John Morton, Uskup Agung Canterbury dan Tuan Kanselir (Lord Chancellor) Inggris, sebagai seorang pelayan rumah tangga.[11] Morton dengan antusias mendukung "Pembelajaran Baru" (studi akademik yang kemudian dikenal sebagai "humanisme" atau "humanisme London"), dan sangat memperhatikan More muda. Karena yakin bahwa More memiliki potensi besar, Morton menempatkannya di Universitas Oxford (entah di St. Mary's Hall atau Canterbury College, keduanya sekarang sudah tidak ada).[12] More memulai studinya di Oxford pada tahun 1492, dan menerima pendidikan klasik. Ia belajar di bawah bimbingan Thomas Linacre dan William Grocyn sehingga menjadi mahir dalam bahasa Latin maupun Yunani. More meninggalkan Oxford setelah dua tahun saja di sana—karena desakan ayahnya—untuk memulai pelatihan hukum di New Inn, salah satu di antara Inns of Chancery, di London.[11][13] Pada tahun 1496, More menjadi salah seorang murid di Lincoln's Inn, salah satu di antara Inns of Court, sampai ia resmi menjadi advokat pada tahun 1502.[11] Kehidupan rohaniMenurut temannya, teolog Desiderius Erasmus dari Rotterdam, More pernah mempertimbangkan secara serius untuk meninggalkan kariernya di bidang hukum agar dapat menjadi seorang rahib.[14][15] More tinggal di dekat biara Kartusian di luar tembok kota London, dan turut serta dalam latihan rohani para rahib, antara tahun 1503 dan 1504. Meski ia sangat mengagumi kesalehan mereka, More akhirnya memutuskan untuk tetap menjadi seorang awam, mencalonkan diri dalam pemilihan Parlemen tahun 1504, dan menikah pada tahun berikutnya.[11] More memilih untuk mengejar suatu karier sekuler, namun ia tetap melakukan praktik-praktik asketis sepanjang sisa hidupnya di dunia ini, misalnya mengenakan sebuah cilice (busana kasar yang utamanya terbuat dari rambut hewan) untuk membalut kulit tubuhnya dan terkadang melakukan flagelasi.[11] Tradisi Ordo Ketiga Fransiskan menghormati Thomas More sebagai salah seorang anggota tarekat tersebut dalam kalender orang kudus mereka.[16] Kehidupan keluargaMore menikahi Jane Colt pada tahun 1505.[12] Ia lebih muda 5 tahun daripada suaminya, perilakunya tenang dan santun.[12] Erasmus melaporkan bahwa More ingin memberikan sang istri yang masih muda suatu pendidikan yang lebih baik daripada yang sebelumnya ia dapatkan di rumah, serta mengajari sang istri musik dan sastra.[12] Pasangan tersebut memiliki 4 anak sebelum Jane meninggal dunia pada tahun 1511: Margaret, Elizabeth, Cicely, dan John.[12] Tanpa mengikuti saran teman-temannya dan kebiasaan umum, dalam waktu tiga puluh hari kemudian More telah menikahi salah seorang dari sekian banyak wanita yang memenuhi syarat di antara lingkaran pertemanannya yang luas.[17] Ia tentu mengharapkan seorang ibu untuk mengasuh anak-anaknya yang masih kecil dan, sebagaimana pandangan pada zamannya yang menganggap perkawinan sebagai suatu "persatuan ekonomis",[18] ia memilih seorang janda kaya, Alice Harpur Middleton.[19] More tidak dipandang terburu-buru untuk menikah lagi demi pemenuhan kesenangan seksual, karena Alice lebih tua daripada dirinya, dan dalam pernikahan mereka kemungkinan tidak pernah terjadi konsumasi (persetubuhan).[18] Cepatnya pernikahan mereka terlaksana adalah sangat tidak biasa karena More perlu mendapatkan dispensasi atas pengumuman yang harus diumumkan sebelum menikah; namun, karena reputasi publiknya yang baik, ia dengan mudah memperolehnya.[17] Alice More tidak memiliki kepatuhan seperti yang ditunjukkan Jane; Andrew Ammonius, seorang teman More, mencela Alice dengan sebutan "hook-nosed harpy" ("harpi berhidung bengkok").[20] Bagaimanapun, Erasmus mengatakan bahwa pernikahan mereka bahagia.[12] More tidak memiliki anak dari pernikahannya yang kedua, dan ia membesarkan anak perempuan Alice dari pernikahan yang terdahulu layaknya anaknya sendiri. More juga menjadi wali atas dua orang gadis muda: Anne Cresacre yang kelak menikah dengan putranya, John More;[12] dan Margaret Giggs (belakangan dikenal sebagai Margaret Clement) yang kelak menjadi satu-satunya anggota keluarga More yang menyaksikan eksekusinya (Margaret meninggal tepat pada peringatan ke-35 eksekusi tersebut dan putrinya menikah dengan keponakan More, William Rastell). More adalah seorang ayah yang penuh kasih sayang, ia menulis surat kepada anak-anaknya setiap kali ia pergi untuk urusan legal ataupun pemerintahan, serta meminta mereka untuk sering menyuratinya.[12][21] More bersikeras untuk memberikan para putrinya pendidikan klasik yang sama seperti yang diterima putranya, suatu sikap yang sangat tidak lazim kala itu.[12] Putri sulung More, yaitu Margaret, mengundang banyak kekaguman karena pengetahuannya, terutama karena kefasihannya dalam bahasa Yunani dan Latin.[12] More menyampaikan kepada putrinya mengenai kebanggaannya atas pencapaian akademis sang putri pada bulan September 1522, setelah ia memperlihatkan kepada Uskup Exeter John Vesey sepucuk surat yang ditulis sang putri:
Keputusan More untuk mendidik para putrinya menjadi teladan bagi para keluarga bangsawan lainnya. Bahkan Erasmus menjadi jauh lebih menghargai lagi setelah ia menyaksikan pencapaian mereka.[12] Sebuah lukisan yang menggambarkan More dan keluarganya dilukis oleh Holbein, namun telah musnah akibat suatu peristiwa kebakaran pada abad ke-18. Cucu More menugaskan pembuatan salinan lukisan itu, dan dua versi di antaranya masih terlestarikan sampai saat ini. Awal karier politikMore pada tahun 1504 terpilih menjadi anggota Parlemen sebagai wakil dari Great Yarmouth, dan pada tahun 1510 mulai mewakili London.[22] Sejak tahun 1510, More menjabat sebagai salah seorang dari dua undersheriff Kota London, suatu posisi dengan tanggung jawab cukup besar yang melaluinya ia mendapatkan reputasi sebagai pelayan publik yang jujur dan efektif. More menjadi Master of Requests pada tahun 1514,[23] tahun yang sama dengan ditunjuknya ia sebagai seorang Privy Counsellor.[24] Setelah melaksanakan suatu misi diplomatik di Calais dan Bruges untuk Kaisar Romawi Suci Karl V, dengan mendampingi Uskup Agung York Kardinal Thomas Wolsey, More dianugerahi gelar kesatria dan ditunjuk menjadi asisten bendahara Exchequer pada tahun 1521.[24] Sebagai sekretaris dan penasihat pribadi Raja Henry VIII, pengaruh More bertambah besar karena tugas-tugas seperti menyambut para diplomat asing, menyusun dokumen-dokumen resmi, dan menjadi penghubung antara sang raja dan Tuan Kanselir Wolsey. More kemudian menjabat sebagai High Steward untuk Universitas Oxford dan Cambridge. Pada tahun 1523, More terpilih sebagai Knight of the Shire (anggota parlemen) untuk Middlesex dan, atas rekomendasi Wolsey, House of Commons (Dewan Rakyat) memilih More sebagai ketuanya.[24] Pada tahun 1525, More menjadi Kanselir Kadipaten Lancaster dengan tanggung jawab eksekutif dan yudisial atas banyak wilayah utara Inggris.[24] Jabatan kanselirSetelah Wolsey diturunkan dari jabatannya, More ditunjuk untuk menggantikannya sebagai Lord Chancellor (Tuan Kanselir) pada tahun 1529. Ia menangani kasus-kasus yang ada dengan tingkat kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kampanye menentang Reformasi ProtestanMore mendukung Gereja Katolik dan memandang Reformasi Protestan sebagai bidah, suatu ancaman bagi kesatuan Gereja maupun masyarakat. More berpegang pada teologi, argumentasi, dan hukum gerejawi dari Gereja, serta "mendengar seruan Luther untuk menghancurkan Gereja Katolik sebagai suatu seruan untuk berperang".[25] Tindakan-tindakan awalnya terhadap Reformasi Protestan misalnya membantu Wolsey mencegah pengimporan buku-buku Lutheran ke Inggris, memata-matai dan menyelidiki mereka yang dicurigai sebagai pendukung Protestan, khususnya para penerbit, serta menahan siapa pun[butuh rujukan] yang memiliki, membawa, atau menjual buku-buku terkait Reformasi Protestan. More menetapkan sanksi atas pendistribusian terjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Inggris hasil karya William Tyndale.[26] Pengalihbahasaan dalam Alkitab Tyndale yang dilakukan secara kontroversial atas sejumlah kata dipandang sesat dan provokatif oleh More; sebagai contoh, kata Yunani "presbyteros" tidak dialihbahasakan menjadi "priest" ("imam") namun digunakan istilah "senior" dan "elder" ("tua-tua" atau "pemimpin"), serta menggunakan istilah congregation (kongregasi/jemaat) dan bukan church (gereja).[27] More juga menunjukkan kalau sejumlah glossa marginal (catatan singkat pada tepi halaman) menantang ajaran Katolik.[28] Kala ini merupakan periode diterbitkannya kebanyakan polemik sastra karyanya. Terdapat sejumlah rumor yang beredar luas pada saat dan setelah masa hidup More di dunia ini seputar perlakuan buruk terhadap para penganut bidah selama ia menjabat sebagai Tuan Kanselir. John Foxe, seorang penulis polemik anti-Katolik yang "menempatkan penderitaan Protestan sebagai pengontrasan latar belakang... Antikristus",[29] berperan penting dalam pemublikasian tuduhan-tuduhan penyiksaan di dalam buku Book of Martyrs karyanya yang populer, mengklaim bahwa More sering kali secara pribadi menggunakan kekerasan atau penyiksaan saat menginterogasi para penganut bidah. Penulis-penulis modern seperti Brian Moynahan dan Michael Farris menyitir Foxe ketika mengulangi tuduhan-tuduhan tersebut.[30] Peter Ackroyd juga mencantumkan klaim-klaim dari Book of Martyrs karya Foxe dan sumber-sumber Protestan pasca-Reformasi yang lain, yang menuliskan bahwa More "mengikat para penganut bidah pada sebatang pohon dalam kebun di kediamannya di Chelsea dan mencambuk mereka", bahwa "ia menyaksikan saat 'orang-orang baru' ditempatkan di atas alat penyiksaan di Menara dan disiksa sampai mereka mengaku", dan bahwa "ia secara pribadi bertanggung jawab atas pembakaran sejumlah 'saudara' di Smithfield".[31] Richard Marius mencatat satu klaim serupa, yang menceritakan tentang James Bainham, dan menulis bahwa "kisah yang diceritakan Foxe mengenai pencambukan dan penyiksaan menggunakan alat dengan tangan More saat ini secara luas diragukan".[32] More sendiri membantah tuduhan-tuduhan tersebut:
More menulis dalam Apology (1533) karyanya bahwa ia hanya menerapkan hukuman fisik kepada dua orang: seorang anak yang dipukul dengan ranting di hadapan keluarganya karena kesesatan terkait Ekaristi, hukuman yang lazim dikenakan kepada anak-anak pada zaman itu, dan seorang pria "lemah pikiran" yang dicambuk karena kebiasaannya mengganggu kaum wanita yang sedang berdoa serta menyingkap rok mereka ke kepala.[33] Sepanjang masa jabatan More sebagai kanselir, terdapat enam orang yang dihukum bakar pada tiang karena bidah; mereka adalah Thomas Hitton, Thomas Bilney, Richard Bayfield, John Tewkesbery, Thomas Dusgate, dan James Bainham.[12] Moynahan mengklaim bahwa More berperan dalam hukuman bakar yang dikenakan pada Tyndale, karena agen-agen More telah lama mengejarnya, kendati hal tersebut terjadi lebih dari setahun setelah eksekusi dirinya sendiri.[34] Hukuman bakar pada tiang telah lama diberlakukan sebagai hukuman standar bagi penganut bidah; sekitar tiga puluh hukuman bakar telah dilaksanakan pada abad tersebut sebelum More diangkat sebagai Kanselir, dan hukuman semacam itu tetap digunakan oleh pihak Katolik maupun Protestan selama pergolakan agama pada dekade-dekade berikutnya.[35] Ackroyd menuliskan bahwa More setuju dengan hukuman bakar.[12] Marius, seorang akademisi Protestan, berpendapat bahwa More melakukan segala daya upaya untuk memberantas penganut-penganut bidah tetapi bukan More yang aktif secara pribadi dalam menghukum bakar mereka.[32] Di antara para komentator modern terdapat pandangan-pandangan berbeda seputar tindakan-tindakan keagamaan yang dilakukan More sebagai Kanselir. Sejumlah biograf, termasuk Ackroyd, memiliki suatu pandangan yang relatif toleran terkait kampanye More menentang Protestanisme dengan menempatkan tindakan-tindakannya di dalam iklim keagamaan yang tengah bergejolak pada waktu itu. Pihak lainnya seperti Richard Marius, seorang akademisi Amerika spesialis Reformasi Protestan, bersikap lebih kritis dengan meyakini bahwa tindakan-tindakan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap keyakinan-keyakinan humanis More, termasuk juga dukungan atas pemberantasan kaum Protestan yang menurut Marius giat dilakukan oleh More dan terdokumentasi dengan baik.[33] Kalangan Protestan lainnya memiliki suatu pandangan yang berbeda lagi. Pada tahun 1980, nama More dimasukkan ke dalam kalender Para Kudus dan Pahlawan Gereja Kristen dalam Gereja Inggris, kendati More adalah seorang penentang keras Reformasi Inggris yang melahirkan Gereja Inggris. Pemasukan namanya dilakukan bersamaan dengan pencantuman nama Uskup Yohanes Fisher, untuk diperingati setiap tanggal 6 Juli (tanggal eksekusi More) sebagai "Thomas More, Cendekiawan, dan Yohanes Fisher, Uskup Rochester, Martir-Martir Reformasi, 1535".[5] Paus Yohanes Paulus II memberikan penghormatan kepada More dengan menjadikannya santo pelindung para negarawan dan politikus pada bulan Oktober 2000, seraya menyatakan: "Dapat dikatakan bahwa ia memperlihatkan dengan satu cara luar biasa nilai dari suatu nurani moral... sekalipun dalam tindakan-tindakannya terhadap penganut-penganut bidah ia mencerminkan batas-batas budaya pada zamannya".[4][36] Pengunduran diriKetika konflik supremasi antara Kepausan dan Raja Henry VIII mencapai puncaknya, More tetap teguh mendukung supremasi Sri Paus sebagai Penerus Petrus, dan bukan supremasi Raja Inggris. Pemulihan hukum praemunire oleh Parlemen pada tahun 1529 mengakibatkan pendukungan secara terbuka atau resmi atas otoritas mana pun di luar kerajaan (misalnya Kepausan), yang mengklaim memiliki yurisdiksi hukum lebih tinggi daripada Raja Inggris, dianggap sebagai kejahatan.[37] Pada tahun 1530, More menolak untuk menandatangani surat yang dibuat para aristokrat dan pejabat gereja Inggris yang meminta Paus Klemens VII untuk membatalkan perkawinan Henry VIII dengan Catherine dari Aragon, serta berselisih paham dengan sang raja dalam hal undang-undang bidah. Pada tahun 1531, kerajaan mengeluarkan dekret yang mengharuskan kaum klerus untuk mengikrarkan sumpah yang mengakui Raja Inggris sebagai "Kepala Tertinggi" Gereja di Inggris. Para uskup yang hadir dalam Pertemuan Canterbury pada tahun 1532 setuju untuk menandatangani Sumpah tersebut karena berada di bawah ancaman praemunire dan hanya setelah dilakukan penambahan kata-kata: "sejauh dimungkinkan oleh hukum Kristus". Hal ini dipandang sebagai yang terakhir dalam proses Penyerahan Kaum Klerus.[38] Kardinal Yohanes Fisher dan beberapa klerikus menolak untuk menandatanganinya. Henry VIII menyingkirkan sebagian besar klerikus pendukung posisi kepausan dari posisi-posisi senior dalam Gereja di Inggris. More tetap menolak untuk menandatangani Sumpah Supremasi dan tidak memberikan dukungan atas pembatalan atau anulasi perkawinan Henry VIII dengan Catherine.[37] Bagaimanapun, More tidak secara terbuka menolak tindakan-tindakan sang raja dan ia menyimpan opini-opininya secara pribadi.[39] Pada tanggal 16 Mei 1532, More mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kanselir sehingga memberi keuntungan bagi sang raja terlepas dari penolakannya.[40] Keputusan More untuk mengundurkan diri disebabkan oleh keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan Gereja jemaah Inggris pada hari sebelumnya, yang terlaksana karena ancaman intens dari pihak kerajaan.[41] Dakwaan, pengadilan, dan eksekusiPada tahun 1533, More menolak menghadiri pemahkotaan Anne Boleyn sebagai Ratu Inggris. Secara teknis, hal tersebut bukan merupakan suatu tindakan pengkhianatan, karena More telah menulis surat kepada Raja Henry VIII dengan bahasa yang mungkin mengakui Anne sebagai ratu serta mengungkapkan doanya demi kebahagiaan sang raja dan kesejahteraan sang ratu yang baru.[42] Kendati demikian, penolakannya untuk hadir ditafsirkan secara luas sebagai penghinaan terhadap Anne, dan sang raja mengambil tindakan terhadapnya. Tak lama kemudian, More didakwa menerima suap, namun dakwaan terhadapnya dihentikan karena tidak terdapat bukti. Pada awal tahun 1534, Thomas Cromwell menuduh More memberikan nasihat dan wejangan kepada "Holy Maid of Kent", Elizabeth Barton, seorang biarawati yang pernah meramalkan kalau sang raja telah menghancurkan jiwanya sendiri dan akan segera berakhir karena telah menceraikan Ratu Catherine. Tuduhan tersebut dilayangkan sebulan setelah Barton mengaku bersalah, yang mungkin dilakukan karena tekanan dari pihak kerajaan,[43][44] dan dikatakan sebagai pengkhianatan terselubung.[45] Kendati bersangkut paut dengan Barton dipandang sebagai hal yang berbahaya, More sempat bertemu dengannya, dan terkesan dengan semangatnya. Namun, More bersikap arif dan memberitahunya untuk tidak turut campur dalam urusan negara. More dipanggil menghadap satu komite dalam Privy Counsel untuk menjawab tuduhan pengkhianatan ini dan, setelah ia menjawab dengan penuh rasa hormat, kasus tersebut sepertinya dihentikan.[46] Pada tanggal 13 April 1534, More diminta untuk hadir di hadapan suatu komisi dan bersumpah setia kepada Akta Suksesi parlementer. More mengakui hak Parlemen untuk menyatakan Anne Boleyn sebagai Ratu Inggris yang sah, kendati ia menolak "validitas rohani dari perkawinan kedua sang raja",[47] dan, karena berpegang teguh pada supremasi kepausan, ia dengan kukuh menolak untuk mengikrarkan sumpah supremasi raja terkait relasi antara kerajaan dengan Gereja di Inggris. Selain itu, More secara terbuka menolak untuk mengonfirmasikan anulasi Henry dari Catherine. Serentak dengan penolakan More, Uskup Rochester Yohanes Fisher juga menolak sumpah tersebut. Sumpah yang dimaksud berbunyi:[48]
Selain menolak untuk mendukung supremasi maupun anulasi sang raja, More menolak untuk menandatangani Sumpah Suksesi tahun 1534 yang menegaskan peran Anne sebagai ratu dan hak dari keturunan mereka sebagai penerus takhta kerajaan. Akhir hidup More di dunia ini tampak tersurat.[49][50] Sementara ia tidak berargumen seputar konsep dasar suksesi yang tercantum dalam Akta Suksesi, bagian pendahuluan Sumpah Suksesi menyangkal wewenang Sri Paus.[39][51][52] Para seterunya memiliki cukup bukti agar Raja Henry VIII menangkapnya dengan alasan pengkhianatan. Empat hari kemudian, sang raja memenjarakan More di Menara London. Di sana More menyusun suatu renungan rohani berjudul A Dialogue of Comfort against Tribulation. Selagi More dipenjarakan di menara tersebut, Thomas Cromwell mengunjunginya beberapa kali, mendesak More untuk mengikrarkan sumpah, yang senantiasa ia tolak. Tuduhan pengkhianatan terhadap negara yang dilayangkan kepada More berkenaan dengan pelanggaran undang-undang perihal supremasi sang raja (keheningan jahat) dan berkomplot dengan Uskup Yohanes Fisher dalam hal ini (konspirasi jahat) serta, menurut beberapa sumber, karena menyatakan bahwa Parlemen tidak memiliki hak untuk mempermaklumkan supremasi sang raja atas Gereja jemaah Inggris. Satu kelompok akademisi meyakini bahwa para hakim menolak dua tuduhan pertama (tindakan-tindakan jahat) dan hanya mengadili More untuk tuduhan yang terakhir disebutkan, namun akademisi lainya sangat tidak sependapat.[37] Terlepas dari tuduhan-tuduhan spesifik tersebut, dakwaan terkait pelanggaran terhadap Akta Pengkhianatan 1534 menyatakan bahwa adalah pengkhianatan tindakan berbicara melawan supremasi raja:[53]
Pengadilan More dilangsungkan pada tanggal 1 Juli 1535, di hadapan majelis hakim yang termasuk Tuan Kanselir yang baru, Sir Thomas Audley, serta sejumlah kerabat Anne Boleyn: Thomas Boleyn ayahnya, George Boleyn adiknya, dan pamannya. More, dengan mengandalkan preseden hukum dan pepatah "qui tacet consentire videtur" ("orang yang tetap diam tampaknya menyetujui"[55]), mengerti bahwa ia tidak dapat dinyatakan bersalah selama ia tidak secara eksplisit menyangkal kalau sang raja adalah Kepala Tertinggi Gereja Inggris, dan karenanya ia menolak untuk menjawab semua pertanyaan seputar pendapatnya mengenai persoalan itu.[56] Thomas Cromwell, ketika itu merupakan orang yang paling berpengaruh di antara para penasihat Henry VIII, mendatangkan Solicitor General Richard Rich untuk bersaksi bahwa di hadapannya More telah menyangkal kalau sang raja adalah kepala Gereja yang sah. More menggambarkan kesaksian tersebut sangat meragukan. Dua orang saksi, Richard Southwell dan Mr. Palmer, membantah telah mendengar rincian percakapan memberatkan yang dilaporkan Rich tersebut, sebagaimana ditunjukkan oleh More sendiri:
Namun, dewan juri menyatakan bahwa More bersalah dalam waktu lima belas menit saja. Setelah keputusan juri disampaikan dan sebelum pelaksanaan hukumannya, More berbicara secara terbuka mengenai keyakinannya bahwa "tidak ada manusia duniawi yang dapat menjadi kepala kerohanian" (mengambil alih peran Sri Paus). Menurut laporan William Roper, More mengajukan pembelaan bahwa Undang-Undang Supremasi bertentangan dengan Magna Carta, hukum Gereja, dan hukum Inggris, dalam upayanya membatalkan seluruh dakwaan terhadapnya.[37] Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara digantung, dikeluarkan isi perutnya, dan dipotong-potong (hukuman yang lazim diterapkan bagi para pengkhianat yang bukan bangsawan), tetapi sang raja mengubahnya menjadi eksekusi dengan pemenggalan kepala.[58] Eksekusi More dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 1535. Ketika ia menapaki tangga ke atas panggung eksekusi, dengan rangkanya yang tampak sedemikian rapuh sehingga terlihat seperti akan runtuh,[59][60] More banyak disitir mengatakan humornya kepada salah seorang petugas, "I pray you, master Lieutenant, see me safe up and [for] my coming down, let me shift for my self" ("Saya mohon kepadamu, Tuan Letnan, bantu saya naik dengan selamat, dan ketika saya turun, biarkan saya sendiri");[61] dan setelah berada di atas panggung tersebut More menyatakan bahwa ia meninggal dunia sebagai "the king's good servant, and God's first" ("hamba raja yang baik, dan terutama sebagai hamba Allah yang baik").[62][63][64] Setelah More selesai mendaraskan Miserere (Mazmur 51)[65][66] sambil berlutut, algojo yang akan melaksanakan eksekusi dikabarkan meminta maaf kepada More, lalu More bangkit dengan riang hati, menciumnya, dan memberinya pengampunan.[67][68][69][70] RelikuiKomentar lain yang diyakini disampaikan More kepada algojonya adalah bahwa janggutnya sama sekali tidak bersalah atas kejahatan apa pun, dan tidak sepatutnya terkena kapak; ia kemudian mengatur posisi janggut More sedemikian rupa agar tidak sampai terpotong.[71] More meminta supaya Margaret Clement (née Giggs) putri angkatnya diberikan jenazahnya yang tanpa kepala untuk dikuburkan.[72] Margaret adalah satu-satunya anggota keluarga More yang menyaksikan eksekusinya. More dimakamkan di Menara London, di kapel St Peter ad Vincula dalam satu kubur tak bertanda. Kepalanya ditancapkan di atas sebuah tombak untuk dipertontonkan kepada publik di Jembatan London selama satu bulan, sesuai kebiasaan kala itu bagi pengkhianat yang dieksekusi. Margaret Roper, putri kandung More, kemudian berhasil menyelamatkan kepala yang terpenggal tersebut.[73] Diyakini bahwa kepala More sekarang tersimpan di ruang penguburan Roper di Gereja Anglikan St. Dunstan's, Canterbury,[74] kemungkinan bersama dengan jenazah Margaret dan keluarga suaminya.[75] Beberapa pihak mengklaim bahwa kepala More dikuburkan di dalam makam yang didirikan untuk More di Chelsea Old Church.[76] Di antara relikui lainnya yang masih terlestarikan terdapat cilice (busana kasar yang utamanya terbuat dari rambut hewan) yang dikenakan More selama bertahun-tahun, yang diserahkan oleh Margaret Clement agar dapat disimpan dengan aman.[77] Cilice More telah lama disimpan oleh komunitas biarawati Agustinian yang hingga tahun 1983 mendiami Abbotskerswell Priory, Devon. Beberapa sumber, termasuk satu sumber tahun 2004, mengklaim bahwa relikui tersebut kemudian berada di Church of Our Lady Queen of Martyrs, and St Ignatius di lahan keluarga Weld di Chideock, Dorset.[78][79] Laporan terbaru menunjukkan bahwa relikui tersebut sekarang tersimpan di Biara Buckfast , dekat Buckfastleigh di Devon.[80] Karya keilmuan dan sastraUtopiaKarya tulis More yang paling terkenal dan dipandang paling kontroversial adalah Utopia, sebuah novel yang ditulis dalam bahasa Latin. Karyanya itu diterbitkan oleh teolog Erasmus di Leuven pada tahun 1516, namun baru diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di tanah kelahirannya pada tahun 1551 (16 tahun seteleh eksekusinya), dan yang paling sering dikutip adalah terjemahan tahun 1684. More (juga merupakan nama salah satu tokoh dalam bukunya) dan sang narator/musafir, yaitu Raphael Hythlodaeus (nama yang menyiratkan Rafael sang malaikat penyembuh, dan 'penutur omong kosong', makna nama belakangnya yang dari bahasa Yunani), membahas penyakit-penyakit modern di Antwerpen. Selain itu, Utopia juga menggambarkan pengaturan politik di antara rakyat suatu negara pulau imajiner, Utopia (permainan kata Yunani 'ou-topos' [tempat yang tidak ada] dan 'eu-topos' [tempat yang baik]), serta Pieter Gillis dan Hieronymus van Busleyden. Edisi asli Utopia mengandung 'alfabet Utopis' yang simetris, namun dihilangkan dalam edisi-edisi selanjutnya, yang kemungkinan merupakan salah satu upaya awal penciptaan kriptografi atau juga pendahulu stenografi. Utopia mengontraskan kehidupan sosial yang kontroversial di negara-negara Eropa dengan pengaturan sosial selayaknya, yang tertata sempurna, di Pulau Utopia dan daerah sekitarnya (Tallstoria, Nolandia, dan Aircastle). Di Pulau Utopia, tidak ada pengacara karena kesederhanaan hukum dan karena pertemuan-pertemuan sosial dilakukan secara terbuka (mendorong para pesertanya untuk berperilaku baik), kepemilikan bersama menggantikan hak milik pribadi, kaum pria dan wanita menerima pendidikan yang setara, serta adanya toleransi beragama yang nyaris sempurna (kecuali bagi kaum ateis, yang dipandang rendah kendati diperbolehkan). More mungkin menggunakan komunalisme monastik sebagai model, dan bukan komunalisme biblika dalam Kisah Para Rasul, walaupun konsep-konsep lain seperti legalisasi eutanasia tetap jauh dari ajaran Gereja. Hythlodaeus menegaskan bahwa orang yang menolak untuk percaya pada suatu tuhan ataupun kehidupan setelah kematian tidak akan pernah dapat dipercaya, karena orang tersebut tidak akan mengakui adanya otoritas ataupun prinsip apa saja di luar dirinya sendiri. Beberapa pihak menafsirkan pesan utama novelnya sebagai kebutuhan sosial akan tatanan dan disiplin, bukan akan kebebasan. Hythlodaeus, yang meyakini bahwa para filsuf tidak seharusnya terlibat dalam politik, membahas konflik terakhir karakter More antara keyakinan-keyakinan humanistiknya dengan tugas-tugasnya sebagai hamba atau pelayan Raja Utopos, menunjukkan bahwa suatu hari moralitas tersebut akan bertentangan dengan realitas politik. Utopia memunculkan satu genre sastra, fiksi utopis dan distopis, yang menampilkan masyarakat ideal atau kota sempurna, ataupun kebalikannya. Karya-karya awal yang mendapat pengaruh dari Utopia misalnya New Atlantis karya Francis Bacon, Erewhon karya Samuel Butler, dan Candide karya Voltaire. Kendati Utopianisme memadukan konsep-konsep klasik masyarakat sempurna (Plato dan Aristoteles) dengan kecakapan retoris Romawi (bdk. Cicero, Quintilian, orasi epideiktik), genre Renaisans ini berlanjut memasuki Abad Pencerahan dan terlestarikan dalam fiksi ilmiah modern. Polemik religiPada tahun 1520, reformis Martin Luther memublikasikan tiga karyanya secara berturut-turut dalam waktu singkat: An den christlichen Adel deutscher Nation (Kepada Bangsawan Kristen dari Negara Jerman, Agustus), Von der babylonischen Gefangenschaft der Kirche (Mengenai Pembuangan Gereja ke Babel, Oktober), dan Von der Freiheit eines Christenmenschen (Tentang Kebebasan Seorang Kristen, November).[12] Dalam buku-bukunya, Luther mengemukakan ajarannya tentang keselamatan melalui rahmat atau anugerah semata, menolak sejumlah praktik Katolik, dan menyerang hal-hal yang dianggapnya sebagai ekses serta penyalahgunaan di dalam Gereja Katolik.[12] Pada tahun 1521, Henry VIII secara resmi menanggapi kritik Luther dengan Assertio Septem Sacramentorum, yang diyakini telah ditulisnya dengan bantuan More. Paus Leo X menganugerahkan sang raja Inggris dengan gelar "Fidei defensor" ("Pembela Iman") karena karya tulisnya yang dipandang memerangi ajaran sesat Luther.[12] Martin Luther kemudian menyerang Henry VIII dengan menulis Contra Henricum Regem Anglie (Melawan Henry, Raja Inggris, 1522), memanggilnya dengan sebutan "babi, bodoh, dan pembohong".[12] Atas perintah sang raja, More menyusun satu bantahan: Responsio ad Lutherum yang dipublikasikan pada akhir tahun 1523. Dalam Responsio, More membela supremasi kepausan, sakramen-sakramen, dan tradisi Gereja lainnya. More, kendati dipandang sebagai pribadi yang karakternya jauh lebih tenang,[81] mendeskripsikan Luther sebagai "kera, pemabuk, dan frater kecil yang mengerikan", di antara julukan lainnya.[12] Menulis dengan pseudonim Gulielmus Rosseus,[24] More memberitahu Luther bahwa:
Perkataannya itu diikuti dengan semacam permintaan maaf kepada para pembaca, sementara Luther mungkin tidak pernah meminta maaf atas perkataannya.[82] Seorang profesor humaniora Universitas Harvard bernama Stephen Greenblatt berpendapat, "More berbicara atas nama rajanya dan menggunakan idiom seterunya; Luther berbicara atas nama dirinya sendiri dan ekspresi skatologisnya jauh melebihi semua yang dapat dihimpun More dalam hal kuantitas, intensitas, dan daya cipta. Apabila bagi More skatologi umumnya mengekspresikan suatu ketidaksetujuan komunal, bagi Luther, skatologi mengekspresikan suatu amarah personal yang mendalam."[83] Konfrontasinya dengan Luther dianggap sebagai penegasan konservatisme teologis More. Ia kemudian menghindari segala indikasi kritik seputar otoritas Gereja.[12] Pada tahun 1528, More memublikasikan polemik religi lainnya, A Dialogue Concerning Heresies, yang menegaskan bahwa Gereja Katolik adalah satu-satunya gereja sejati, yang didirikan oleh Kristus dan para Rasul, serta menegaskan keabsahan otoritasnya, tradisi-tradisi dan praktik-praktiknya.[12] Pada tahun 1529, beredarnya pamflet Supplication for the Beggars karya Simon Fish mendorong More untuk menanggapinya dengan menulis The Supplication of Souls. Karya More tersebut diterbitkan dalam dua buku, buku pertama membahas persoalan sosial dan ekonomi yang diajukan oleh Fish, buku kedua mempertahankan ajaran tentang purgatorium. Pada tahun 1531, setahun setelah wafatnya ayah More, William Tyndale memublikasikan An Answer to Sir Thomas More’s Dialogue sebagai tanggapan terhadap Dialogue Concerning Heresies karya More. More menanggapinya dengan menulis Confutation of Tyndale’s Answer, yang memuat setengah juta kata dan dipandang sebagai polemik religi terpanjang yang pernah ditulis dalam bahasa Inggris. Confutation merupakan suatu dialog imajiner antara More dan Tyndale, yang di dalamnya More menanggapi semua kritik Tyndale secara satu per satu seputar ritus dan ajaran Katolik.[12] More, yang menghargai struktur, tradisi, dan tatanan dalam masyarakat sebagai pengamanan terhadap tirani dan kekeliruan, dengan penuh semangat meyakini bahwa Lutheranisme dan Reformasi Protestan pada umumnya berbahaya, tidak hanya terhadap iman Katolik tetapi juga terhadap stabilitas masyarakat secara keseluruhan.[12] KorespondensiKebanyakan humanis ternama adalah penulis surat yang produktif, tidak terkecuali Thomas More. Namun, sebagaimana dalam kasus Erasmus dari Rotterdam temannya, hanya sebagian kecil korespondensinya yang terlestarikan hingga saat ini (yaitu sekitar 280 surat). Termasuk di dalamnya adalah segala sesuatu mulai dari surat-surat pribadi hingga korespondensi resmi pemerintahan (kebanyakan dalam bahasa Inggris), surat-surat kepada sesamanya cendekiawan humanis (dalam bahasa Latin), beberapa risalah literer, puisi-puisi, surat-surat pembuka (beberapa di antaranya fiksi) untuk sejumlah karyanya sendiri, surat-surat untuk anak-anaknya dan para tutor mereka (dalam bahasa Latin), dan apa yang disebut "prison-letters" (dalam bahasa Inggris) yang berupa surat-menyurat dengan Margaret putri tertuanya saat More dipenjara di Menara London sembari menantikan eksekusinya.[25] More juga terlibat dalam sejumlah kontroversi sastra, terutama dengan seorang penyair Prancis bernama Germain de Brie yang sebagian disebabkan oleh kritiknya terhadap para pemimpin Inggris, kemudian memuncak dengan dipublikasikannya satire Antimorus (1519) oleh de Brie. Erasmus campur tangan dan mengakhiri perselisihan tersebut.[28] More juga menulis karya-karya yang lebih rohaniah, misalnya: A Treatise on the Passion (alias Treatise on the Passion of Christ), A Treatise to Receive the Blessed Body (alias Holy Body Treaty), dan De Tristitia Christi (alias The Agony of Christ). De Tristitia Christi berisi tafsir mengenai penderitaan Kristus di Taman Getsemani, merupakan karya utama More yang terakhir, yang ditulisnya ketika dipenjarakan di Menara London sambil menantikan eksekusinya. Naskah terakhir ini terselamatkan dari penyitaan yang diperintahkan oleh Henry VIII, diwariskan oleh Margaret putrinya kepada pihak Spanyol melalui Frater Pedro de Soto, bapa pengakuan Kaisar Karl V. Teman More yang bernama Juan Luis Vives menerimanya di Valencia, tempat naskah tersebut tersimpan hingga sekarang dalam koleksi Museum Real Colegio Seminario del Corpus Christi. KanonisasiGereja KatolikPaus Leo XIII membeatifikasi Thomas More, Yohanes Fisher, dan 52 Martir Inggris lainnya pada tanggal 29 Desember 1886. Paus Pius XI mengkanonisasi Beato More dan Beato Fisher pada tanggal 19 Mei 1935, dan pesta peringatan Santo Thomas More ditetapkan untuk dirayakan setiap tanggal 9 Juli. Sejak tahun 1970, dalam Kalender Roma Umum ditetapkan bahwa St. Thomas More bersama dengan St. Yohanes Fisher dirayakan setiap tanggal 22 Juni (tanggal eksekusi St. Fisher). Pada tanggal 31 Oktober 2000, Paus Yohanes Paulus II menyatakan More sebagai "Pelindung surgawi para Negarawan dan Politikus".[4] Katholische Junge Gemeinde, organisasi kaum muda Katolik Jerman, juga menjadikan St. Thomas More sebagai pelindungnya.[84] Komuni AnglikanPada tahun 1980, kendati More dan Fisher menentang Reformasi Inggris, mereka bersama-sama dicantumkan sebagai para martir reformasi di dalam kalender "Para Kudus dan Pahlawan Gereja Kristen" yang digunakan Gereja Inggris, untuk diperingati setiap tanggal 6 Juli (tanggal eksekusi More) sebagai "Thomas More, Cendekiawan, dan Yohanes Fisher, Uskup Rochester, Martir-Martir Reformasi, 1535".[5] Nama More juga tercantum di dalam kalender orang kudus dari beberapa gereja lainnya dalam Komuni Anglikan, misalnya:
Yang tidak mencantumkan nama More dalam kalendernya misalnya Gereja Episkopal di Amerika Serikat, Gereja Episkopal Skotlandia, dan Gereja Anglikan Hong Kong. PeninggalanKeteguhan serta keberanian More mempertahankan keyakinan imannya, dan martabat yang diperlihatkannya selama ia dipenjara, diadili, dan dieksekusi, banyak memberikan pengaruh pada reputasi More pasca wafatnya, terutama di kalangan umat Katolik Roma. Erasmus temannya membela karakter More dengan ungkapan "lebih murni daripada setiap butiran salju", dan mendeskripsikan kejeniusannya dengan ungkapan "yang tidak pernah dimiliki Inggris [sebelumnya] dan tidak akan pernah lagi dimilikinya".[85] Setelah mengetahui hal ihwal eksekusi More, Kaisar Karl V mengatakan: "Seandainya kita mempunyai hamba seperti dirinya, kita akan lebih suka kehilangan kota terbaik dalam wilayah kekuasaan kita daripada penasihat berharga seperti dirinya."[86] G. K. Chesterton, seorang konver Katolik Roma dari Gereja Inggris, mengatakan bahwa More "dapat diperhitungkan sebagai orang Inggris terbesar, atau paling tidak tokoh historis terbesar dalam sejarah Inggris."[87] Sejarawan Hugh Trevor-Roper menyebut More sebagai "orang Inggris terbesar pertama yang rasanya kita ketahui, yang paling kudus di antara para humanis, yang paling insani di antara para kudus, manusia universal dalam kebangunan utara kita yang acuh tak acuh."[88] Jonathan Swift, seorang klerikus Anglikan, menuliskan bahwa More adalah "seorang pribadi dengan kebajikan terbesar yang pernah dihasilkan kerajaan ini".[89][90][91] Terdapat sejumlah pihak yang menganggap Samuel Johnson sebagai penulis kutipan itu, kendati perkataan tersebut tidak ditemukan dalam tulisan-tulisannya ataupun laporan James Boswell.[92][93] John Donne, seorang penyair metafisik yang juga dihormati sebagai orang kudus oleh umat Anglikan, adalah cucu dari keponakan More.[94] Para akademisi Katolik Roma berpendapat bahwa More menggunakan ironi dalam buku Utopia karyanya, dan bahwa ia tetap seorang Kristen ortodoks sampai akhir hidupnya di dunia ini. Namun, seorang teoretikus Marxis bernama Karl Kautsky mengganggap buku tersebut sebagai suatu analisis yang tajam atas apa yang dipandangnya sebagai eksploitasi sosial dan ekonomi pada Eropa pra-modern. Karenanya Kautsky menganggap bahwa More memiliki peranan dalam memengaruhi perkembangan awal gagasan-gagasan sosialis.[95] Komunisme, sosialisme, dan perlawanan terhadap komunismeSetelah dipuji "sebagai seorang pahlawan Komunis oleh Karl Marx, Friedrich Engels, dan Karl Kautsky" karena apa yang mereka anggap sebagai sikap komunis terhadap hak kepemilikan di dalam Utopia karyanya,[6] nama Thomas More dicantumkan di urutan kesembilan dari atas[7] pada Tugu Peringatan Kebebasan Moskwa (juga dikenal sebagai Obelisk Pemikir-Pemikir Revolusioner) dalam era Komunisme Soviet,[8] sebagai salah seorang pemikir paling berpengaruh "yang mempromosikan pembebasan umat manusia dari penindasan, kesewenang-wenangan, dan eksploitasi".[7] Monumen tersebut didirikan pada tahun 1918 di Taman Aleksandrovsky dekat Kremlin atas saran Lenin.[6][7][8] Monumen itu kemudian dibongkar pada tanggal 2 Juli 2013, dalam masa jabatan Vladimir Putin yang ketiga sebagai Presiden Rusia pasca-Komunis.[8] Utopia juga mengilhami kaum sosialis seperti William Morris.[96] Banyak pihak yang melihat sosialisme ataupun komunisme More sebagai sesuatu yang murni satiris.[96] Pada tahun 1888, selagi memuji komunisme More, Karl Kautsky mengklaim bahwa para ekonom dan sejarawan "linglung" sering kali melihat nama Utopia (yang berarti "tempat yang tidak ada") sebagai "petunjuk halus oleh More bahwa ia sendiri memandang komunismenya sebagai suatu mimpi yang tidak dapat dipraktikkan".[97] Aleksandr Solzhenitsyn, penulis anti-Komunis pemenang Hadiah Nobel dari Rusia yang juga korban selamat dan sejarawan kamp-kamp penjara Soviet, berpendapat bahwa komunisme Soviet membutuhkan perbudakan dan kerja paksa untuk mempertahankan keberadaannya, dan ini telah "diprediksi sejak dari Thomas More, kakek buyut sosialisme, dalam Utopia karyanya".[98] Pada tahun 2008, More diperankan di atas panggung di Hong Kong sebagai simbol alegoris kubu prodemokrasi yang menentang Komunisme Tiongkok dalam suatu versi modifikasi dan terjemahan dari drama A Man for All Seasons karya Robert Bolt.[99] Karya-karyaCatatan: Referensi "CW" (Complete Works) mengacu pada edisi yang bersangkutan dalam Yale Edition of the Complete Works of St. Thomas More (New Haven and London, 1963–1997) Diterbitkan selama More hidup (dengan tanggal publikasi)
Diterbitkan setelah More wafat (dengan kemungkinan tanggal penyusunan)
Penerjemahan
Lihat pula
Catatan
Biografi
Historiografi
Sumber primer
Pranala luarWikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: Thomas More. Wikisumber memiliki karya asli dari atau mengenai:
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Thomas More.
|