The Age of ReasonThe Age of Reason; Being an Investigation of True and Fabulous Theology adalah sebuah karya yang ditulis oleh Thomas Paine, seorang aktivis politik Amerika dan Inggris. Karya ini mengikuti tradisi deisme Britania abad ke-18, dengan sekaligus menantang kebenaran Agama terorganisir dan Kitab Suci. The Age of Reason awalnya berupa pamflet-pamflet tak terjilid yang diterbitkan dalam tiga bagian pada tahun 1794, 1795, dan 1807. Pada masanya, karya ini meraih penjualan terbaik di Amerika Serikat, dan menyebabkan kebangkitan sejenak pemahaman Deistik. Sedangkan di Britania Raya karya ini ditanggapi dengan kebencian yang besar, sebagian besarnya dikarenakan takut bilamana karya ini akan meningkatkan radikalisme politik yang sebelumnya telah dipicu oleh Revolusi Prancis. The Age of Reason menyajikan argumen-argumen umum Deisitik; beberapa di antaranya adalah bagaimana karya ini menyoroti apa yang dianggap Paine sebagai tindakan korup oleh Gereja Kristen dan kritiknya terhadap upaya Gereja yang ingin memperoleh kekuasan politik. Paine menyokong penggunaan nalar ketimbang mengikuti apa yang dianggap sebagai wahyu-wahyu Ilahi, penolakan cerita-cerita mengenai keajaiban yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh di dalam Kitab Suci atau mukjizat, dan memandang Kitab Suci sebagai suatu karya sastra karangan manusia dan bukan sebagai suatu teks yang berasal dari Tuhan. The Age of Reason menggalakkan teologi alam, di mana suatu kebenaran relijius dicari dengan penggunaan nalar dan pengetahuan tentang alam ketimbang mengikuti apa yang tertulis di dalam kitab-kitab suci. Sebagian besar argumen Paine telah lama beredar di kalangan elit berpendidikan. Namun, dengan menyajikannya dalam suatu gaya yang memikat dan blak-blakan, ia membuat pandangan deisme menjadi menarik dan terbuka bagi khalayak luas. Buku ini juga tidak mahal, menjadikannya terjangkau oleh sejumlah besar pembeli. Karena khawatir akan penyebaran dari apa yang mereka pandang berpotensi sebagai gagasan-gagasan revolusioner, pemerintah Britania mengadili para penerbit dan penjual buku yang berupaya untuk menerbitkan dan menyebarkannya. Namun demikian, karya Paine sempat mengilhami dan mengarahkan banyak pemikir bebas. Konteks sejarahKonteks intelektual: Deisme Britania abad ke-18Buku Paine mengikuti tradisi deisme Britania awal abad ke-18. Para deis ini, walaupun memiliki cara pandang sendiri, meyakini beberapa hal yang sama, dan hal-hal tersebut diutarakan dalam pamflet The Age of Reason. Hal paling penting yang menyatukan para deis adalah ajakan "penyelidikan rasional bebas" terhadap berbagai subjek, termasuk agama. Dengan mengatakan bahwa Kekristenan awal didasarkan pada kebebasan berkeyakinan, mereka menyerukan toleransi agama dan penghentian penganiayaan berdasarkan agama. Mereka juga meminta agar perdebatan didasarkan pada nalar dan rasionalitas. Para deis memiliki cara pandang Newton, dan mereka yakin bahwa semua hal di alam semesta, termasuk Tuhan, harus mematuhi hukum alam. Menurut mereka, tanpa konsep hukum alam, penjelasan tentang cara kerja alam akan jatuh menjadi irasionalitas semata. Karena keyakinan ini, mereka meragukan keberadaan mukjizat. Para deis menentang catatan tentang mukjizat di kitab suci karena tidak cukup untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Para deis juga bersikeras bahwa Tuhan sebagai sebab pertama atau penggerak utama telah menciptakan dan merancang alam semesta dengan hukum alam sebagai bagian dari rencananya. Mereka meyakini bahwa Tuhan tidak mengubah rencananya dengan menghentikan hukum alam agar dapat turut campur dalam masalah manusia (mukjizat). Lebih lagi, para deis menentang klaim bahwa hanya ada satu kepercayaan yang benar; agama hanya bisa menjadi "sederhana, nyata, lumrah, dan universal" bila agama tersebut merupakan hasil logis dari Tuhan yang penuh kebajikan. Maka dari itu, mereka membedakan "agama diwahyukan" (yang mereka tolak) seperti Kekristenan, dan "agama alam", yaitu serangkaian kepercayaan universal yang berasal dari dunia alam yang menunjukkan keberadaan Tuhan (maka mereka bukan ateis).[1] Meski beberapa deis memercayai wahyu, sebagian besar berargumen bahwa karena wahyu hanya diturunkan pada beberapa orang atau bahkan hanya satu orang, kemampuan menjelaskannya cenderung terbatas. Lebih lagi, banyak yang merasa bahwa wahyu Kristen kontradiktif. Menurut para penulis tersebut, wahyu dapat memperkuat bukti keberadaan Tuhan yang tampak jelas dalam ciptaannya, tetapi lebih sering melahirkan tahayul di antara masyarakat. Sebagian besar deis menyatakan bahwa pendeta dengan sengaja mengubah Kekristenan demi kepentingan mereka sendiri dengan mendukung kepercayaan terhadap wahyu, ritual yang tidak perlu, dan doktrin yang tidak logis dan berbahaya (tuduhan tersebut biasa disebut penipuan imam atau "priestcraft"). Salah satu contoh terburuk adalah doktrin dosa asal. Dengan meyakinkan orang bahwa mereka perlu bantuan pendeta agar dosanya dapat diampuni, para deis menekankan bahwa pemimpin agama telah memperbudak masyarakat. Akibatnya, para deis biasanya memandang diri mereka sebagai pembebas intelektual.[2] Konteks politik: Revolusi PrancisKetika Bagian I The Age of Reason diterbitkan pada tahun 1794, banyak penduduk Britania dan Prancis yang kecewa dengan Revolusi Prancis. Pemerintahan Teror dimulai, Louis XVI dan Marie Antoinette dihukum mati, dan Britania berperang melawan Prancis. Beberapa tokoh radikal Britania yang masih mendukung Revolusi Prancis dicurigai oleh rekan sebangsa mereka. The Age of Reason merupakan bagian dari pergerakan reformasi politik Britania pada tahap akhir yang lebih radikal dan secara terbuka mendukung republikanisme dan ateisme (walaupun Paine bukan seorang ateis, tetapi seorang deis), seperti yang dicontohkan oleh beberapa teks seperti Political Justice (1793) karya William Godwin. Suara-suara moderat sendiri telah sirna: Richard Price, pendeta yang berkhotbah tentang kebebasan politik sehingga memicu ditulisnya Reflections on the Revolution in France (1790) karya Edmund Burke, meninggal dunia pada tahun 1791, dan Joseph Priestley terpaksa melarikan diri ke Amerika setelah massa pendukung Gereja-dan-Negara membakar rumah dan gerejanya.[3] Pemerintahan konservatif, yang dikepalai oleh William Pitt, menanggapi radikalisasi ini dengan menangkap dan mengadili beberapa reformis atas tuduhan libel hasutan dan pengkhianatan. Setelah pengadilan dan terjadinya serangan terhadap George III, kaum konservatif menetapkan Seditious Meetings Act (Undang-Undang Pertemuan yang Menghasut) dan Treasonable Practices Act (Undang-Undang Praktik Pengkhianatan). Undang-undang tersebut melarang kebebasan berkumpul untuk kelompok-kelompok radikal seperti London Corresponding Society (LCS) dan menganjurkan pendakwaan kaum radikal karena membuat pernyataan yang "memfitnah dan menghasut". Karena takut ditangkap dan kecewa dengan Revolusi Prancis, banyak pendukung reformasi yang menjauhi pergerakan ini. LCS, yang sebelumnya menyatukan orang-orang Kristen yang memisahkan diri dari Gereja Inggris dan reformis politik, terpecah belah ketika Francis Place dan pemimpin lain membantu Paine menerbitkan The Age of Reason; anggota organisasi yang lebih religius mengundurkan diri dan LCS kehilangan sekitar seperlima anggotanya.[4] Sejarah penerbitanPada Desember 1792, Rights of Man bagian II karya Paine dianggap sebagai hasutan di Britania dan ia terpaksa melarikan diri ke Prancis agar tidak ditangkap. Karena kecewa dengan Revolusi Prancis yang mengarah ke sekularisme dan ateisme, ia menulis Bagian I The Age of Reason pada tahun 1792 dan 1793:
Meskipun Paine menulis The Age of Reason untuk orang Prancis, ia mendedikasikannya untuk penduduk Amerika Serikat, menunjukkan ikatannya dengan revolusioner Amerika.[6] Tidak jelas kapan Paine menyusun Bagian I meskipun ia menyatakan di pembukaan Bagian II bahwa:
Menurut Edward Davidson dan William Scheick, kemungkinan ia menulis Bagian I pada akhir tahun 1793,[7] namun David Hawke memperkirakan bagian tersebut disusun pada awal tahun 1793.[8] Masih belum jelas apakah Bagian I edisi Prancis juga diterbitkan pada tahun 1793.[7] François Lanthenas, yang menerjemahkan The Age of Reason ke bahasa Prancis pada tahun 1794, menulis bahwa buku tersebut diterbitkan di Prancis pada tahun 1793, tetapi tidak ada buku semacam itu yang ditemukan.[9] Barlow menerbitkan edisi Inggris pertama The Age of Reason, Part I pada tahun 1794 dengan harga tiga pence. Sementara itu, Paine, yang dianggap terlalu moderat oleh sayap Jakobin yang berpengaruh di antara para revolusioner Prancis, dipenjarakan selama sepuluh bulan di Prancis. Ia berhasil lolos dari hukuman guillotine karena kebetulan: tanda hukuman mati dipasang dengan tidak benar di pintu selnya.[10] Ketika James Monroe, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Amerika untuk Prancis, berhasil mengatur pelepasan Paine pada tahun 1794,[11] Paine langsung menulis Bagian II The Age of Reason, meskipun kesehatannya kurang baik. Bagian II diterbitkan pertama kali dalam edisi bajakan oleh H.D. Symonds di London pada Oktober 1795. Pada tahun 1796, Daniel Isaac Eaton menerbitkan Bagian I dan II, dan menjualnya dengan harga satu shilling dan enam pence. (Eaton nantinya terpaksa melarikan diri ke Amerika setelah didakwa membuat libel hasutan karena menerbitkan karya radikal)[12] Paine sendiri mendanai pengiriman 15.000 karyanya ke Amerika. Nantinya, Francis Place dan Thomas Williams berkolaborasi menerbitkan edisi yang terjual sebanyak 2.000 salinan. Williams juga menerbitkan edisinya sendiri, tetapi pemerintah Britania mendakwanya dan menyita pamflet-pamfletnya.[13] Pada akhir tahun 1790-an, Paine melarikan diri dari Prancis ke Amerika Serikat, dan di situ ia menulis Bagian III The Age of Reason: An Examination of the Passages in the New Testament, Quoted from the Old and Called Prophecies Concerning Jesus Christ. Karena takut akan tindakan balasan, Thomas Jefferson memintanya untuk tidak menerbitkannya pada tahun 1802; lima tahun kemudian, Paine memutuskan untuk menerbitkannya meskipun ia tahu akibatnya.[7] Setelah Thomas Williams dijatuhi hukuman kerja paksa selama satu tahun karena menerbitkan The Age of Reason pada tahun 1797, tidak ada edisi pamflet yang dijual secara terbuka di Britania hingga tahun 1818, ketika Richard Carlile memasukkannya dalam edisi karya lengkap Paine. Carlile menetapkan harga sebesar satu shilling dan enam pence, dan 1.000 salinan terjual dalam waktu satu bulan. Ia kemudian menerbitkan edisi kedua sebanyak 3.000 salinan. Seperti Williams, ia ditangkap karena libel hasutan dan penistaan. Penangkapan yang terkait dengan penerbitan The Age of Reason di Britania berlanjut selama tiga puluh tahun setelah perilisan awalnya dan melibatkan beberapa penerbit dan juga lebih dari seratus penjual buku.[14] Struktur dan argumen utamaThe Age of Reason dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian I, Paine menguraikan argumen-argumen utama dan keyakinan pribadinya. Pada bagian II dan III, ia menganalisis beberapa bagian kitab suci untuk menunjukkan bahwa kitab tersebut bukan wahyu dari Tuhan. KeyakinanPada permulaan Bagian I Age of Reason, Paine menekankan keyakinan pribadinya:
Keyakinan Paine merangkum tema utama dalam pamfletnya: kepercayaan akan pencipta; keraguan akan klaim-klaim supernatural (di sini "kehidupan setelah kematian", dan dalam teks berikutnya "mukjizat"); keyakinan bahwa kebajikan berasal dari pertimbangan akan orang lain daripada diri sendiri; penentangan institusi agama yang korup; dan dukungan terhadap kebebasan berkeyakinan.[16] Nalar dan wahyuPaine memulai The Age of Reason dengan menentang wahyu. Menurutnya, wahyu hanya dapat dipastikan oleh orang yang menerima pesan tersebut dan maka dari itu bukan bukti yang kuat. Paine menolak nubuat dan mukjizat dengan menulis: "wahyu hanya untuk orang pertama, dan hanya sesuatu yang pernah didengar orang yang lain, dan maka dari itu mereka tidak harus memercayainya".[17] Ia juga menekankan bahwa wahyu Kristen tampaknya telah diubah dan disesuaikan dengan keadaan politik saat ini. Setelah mengajak pembaca untuk menggunakan nalar daripada memercayai wahyu, Paine menyatakan bahwa satu-satunya bukti keberadaan Tuhan yang dapat dipercaya, tidak berubah, dan universal adalah alam itu sendiri. Kitab Suci Para Deis sebaiknya bukan kitab buatan manusia seperti kitab suci, tetapi buatan Tuhan, yaitu ciptaan itu sendiri.[18] Paine juga menyatakan bahwa peraturan logika dan standar bukti yang digunakan untuk teks sekuler juga harus diterapkan untuk kitab suci. Pada Bagian II, ia melakukan hal ini dan menunjukkan kontradiksi yang ada dalam kitab suci.[19] Analisis kitab suci PainePaine menyatakan bahwa ia tidak akan menggunakan sumber di luar alkitab untuk mengembangkan kritikannya, tetapi akan menggunakan kitab suci itu sendiri. Ia mempertanyakan kesucian kitab suci dan menganalisisnya seperti orang lain menganalisis buku lain. Misalnya, dalam analisis Kitab Amsal, ia menyatakan bahwa isinya "tidak setajam pepatah orang Spanyol, dan tidak lebih bijak dan ekonomis daripada Franklin".[20] Setelah mendeskripsikan alkitab sebagai "mitologi yang menakjubkan", Paine mempertanyakan fakta bahwa kitab tersebut diwahyukan kepada penulisnya dan tidak yakin bahwa penulis aslinya dapat diketahui (misalnya, ia menolak gagasan bahwa Musa menulis Pentateukh).
Dengan menggunakan metode yang tidak umum dalam bidang keilmuan kitab suci hingga abad ke-19, Paine menguji konsistensi internal Alkitab dan mempertanyakan keakuratan historisnya, sehingga menyimpulkan bahwa buku tersebut tidak diilhami oleh Tuhan. Paine juga menyatakan bahwa Perjanjian Lama pastilah salah karena menggambarkan Tuhan yang lalim. "Sejarah kejahatan" dalam Perjanjian Lama membuat Paine yakin bahwa kitab tersebut hanyalah mitos lain yang dikarang oleh manusia.[22] Ia menyayangkan orang-orang yang mudah percaya: "Karena dibiasakan dengan takhayul, secara umum orang-orang tidak tahu seberapa banyak kejahatan yang ada dalam teks yang dibuat seolah seperti kata-kata Tuhan ini." Misalnya, dalam Kitab Bilangan 31:13–47, Musa memerintahkan pembantaian ribuan laki-laki dan perempuan dan mendukung pemerkosaan ribuan perempuan, atas perintah Tuhan.[23] Akibatnya, Paine menyebut kitab suci sebagai "buku kebohongan, kejahatan, dan penistaan; karena penistaan terbesar adalah menganggap kejahatan manusia sebagai perintah yang maha kuasa!"[24] Agama dan negaraPaine juga menyerang institusi agama, menuduh para pendeta haus akan kekuasaan dan kekayaan, serta mengkritik penentangan Gereja terhadap sains. Ia menyatakan sejarah Kekristenan sebagai sejarah korupsi dan opresi[25] dan mengkritik tindakan gereja yang lalim seperti ia mengkritik pemerintah dalam Rights of Man dan Common Sense, serta menyatakan bahwa "teori Kristen tidak lebih dari pemujaan berhala mitologis zaman dahulu, yang disesuaikan dengan kepentingan kekuasaan dan pendapatan."[26] Serangan semacam ini membedakan buku Paine dari karya deistik lain, yang jarang menentang hierarki sosial dan politik.[8] Paine menekankan bahwa gereja dan negara adalah institusi korup tunggal yang tidak memedulikan kepentingan rakyat - keduanya harus diubah:
Seperti yang ditulis oleh Jon Mee "Paine meyakini . . . revolusi agama adalah akibat wajar, dan bahkan prasyarat, revolusi politik yang berhasil."[28] Menurut Davidson dan Scheick, Paine menguraikan visi "masa kebebasan intelektual, ketika nalar mengalahkan takhayul, ketika kebebasan manusia akan menggantikan penipuan imam dan kerajaan, yang merupakan efek sekunder dari legenda bodoh dan takhayul religius yang diatur secara politik."[29] Para ahli menyebut visi ini "milenialisme sekuler" Paine dan tema ini dapat ditemui di semua karyanya—misalnya, dalam Rights of Man, ia mengakhiri buku tersebut dengan menyatakan "Dari apa yang kita bisa lihat sekarang, tidak ada reformasi dalam dunia politik yang patut dianggap tidak mungkin. Ini adalah masa revolusi, ketika semuanya dicari."[30] Paine "mentransformasi visi milenial Protestan akan kekuasaan Kritus di Bumi menjadi gambaran utopia yang sekuler", menekankan kemungkinan "kemajuan" dan "kesempurnaan manusia" yang dapat dicapai tanpa bantuan Tuhan.[31] Sumber gagasanWalaupun Paine sering berkata bahwa ia tidak banyak membaca, tulisannya tidak menunjukkan hal tersebut;[32] gagasan dalam The Age of Reason berakar dari tradisi David Hume, Spinoza, dan Voltaire. Karena Hume pernah melakukan "serangan moral terhadap Kekristenan" yang sama dengan yang dipopulerkan Paine, para ahli menyimpulkan bahwa Paine mungkin membaca karya Hume atau paling tidak pernah mendengarnya di lingkar penerbit Joseph Johnson.[33] Paine kemungkinan tertarik dengan deskripsi Hume bahwa agama adalah "sumber kemalangan pada masyarakat" yang "membuat manusia menjadi terpecah, ambisius, dan tidak toleran."[34] Namun, karya yang mungkin lebih memengaruhi Paine adalah Tractatus Theologico-Politicus (1678) karya Spinoza. Paine mungkin berkenalan dengan gagasan Spinoza melalui karya-karya deis abad ke-18 lainnya, terutama Conyers Middleton.[35] Paine juga kemungkinan mengetahui karya Voltaire atau intelektual deis Prancis lainnya. Walaupun tradisi filsafat tersebut tampak memengaruhi The Age of Reason, gagasan Paine kemungkinan banyak bergantung pada deis-deis Inggris pada awal abad ke-18, seperti Peter Annet.[36] John Toland pernah menganjurkan penggunaan nalar untuk menafsirkan kitab suci, Matthew Tindal pernah menentang wahyu, Middleton mendeskripsikan kitab suci sebagai mitologi dan mempertanyakan keberadaan mukjizat, Thomas Morgan memperdebatkan klaim-klaim Perjanjian Lama, Thomas Woolston meragukan ketepercayaan mukjizat, dan Thomas Chubb pernah menyatakan bahwa Kekristenan tidak memiliki moralitas. Semua argumen tersebut muncul di The Age of Reason, walaupun segamblang itu.[37] Retorika dan gayaSeperti karya-karya Paine lainnya, satu hal yang membuat The Age of Reason istimewa adalah gaya linguistiknya. Menurut Eric Foner, karya Paine "membentuk bahasa politik baru" yang dirancang untuk membawa politik ke masyarakat dengan menggunakan gaya yang "jelas, sederhana, dan mudah.[38] Paine menguraikan "visi baru—citra utopia suatu masyarakat republikan yang egalitarian" dan gaya bahasanya mencerminkan idealisme ini.[38] Ia mencetuskan istilah "hak-hak manusia", "abad nalar", "abad revolusi", dan "masa yang menguji jiwa manusia."[39] Foner juga menyatakan bahwa The Age of Reason Paine membuat deisme memiliki "gaya anti-Kristen yang baru, agresif, dan eksplisit".[40] Ia melakukannya dengan menggunakan bahasa yang vulgar (yaitu "rendah" atau "populer"), gaya yang kurang menghormati, dan bahkan retorika religius. Dalam surat yang ditulis untuk Elihu Palmer, salah satu pengikut Paine yang paling loyal di Amerika, Paine mendeskripsikan sebagian dari filsafat retorikanya:
Retorika Paine banyak menarik perhatian; pernyataan-pernyataannya yang "ringkas dan tajam" mampu "menghubungkan kelas pekerja dengan budaya kelas menengah" dan banyak dikutip orang.[42] Salah satu hal yang membuat gaya Paine dikenang adalah penggunaan repetisi dan pertanyaan retorika yang efektif[42] ditambah dengan banyaknya "anekdot, ironi, parodi, satir, kebingungan yang dibuat-buat, masalah rakyat, kosakata konkret, dan . . . penggunaan akal sehat."[43] Gaya konversasional Paine menarik pembaca ke teksnya. Penggunaan kata "kita" menghasilkan "ilusi bahwa ia dan pembaca bersama-sama membentuk sebuah argumen."[44] Maka dengan menekankan keberadaan pembaca dan membiarkan gambaran dan argumen hanya dibentuk sebagian, Paine mengajak pembacanya untuk menyelesaikannya sendiri.[45] Bahasa "vulgar"Salah satu gaya Paine yang paling khas dalam pamflet The Age of Reason adalah kevulgarannya. Pada abad ke-18, "kevulgaran" dikaitkan dengan kelas menengah dan bawah dan tidak dengan tindakan cabul; maka, ketika kritikus menyerang gaya vulgarnya, pertentangan yang terjadi terkait dengan aksesibilitas kelas, bukan perkataan yang tidak senonoh. Misalnya, Paine mendeskripsikan peristiwa dalam Kejadian 3 seperti ini:
Gaya kurang menghormati yang dikombinasikan dengan gaya vulgar membedakan karya ini dari karya sebelumnya. Gaya ini membawa "deisme keluar dari tangan aristokrasi dan intelektual dan [membawanya] ke rakyat".[47] Retorika Paine terhadap rakyat menarik perhatian, tetapi juga mengundang kritik karena ia mencemooh kitab suci. Uskup Richard Watson, yang terpaksa menyampaikan pesan kepada pemirsa baru ini dalam tanggapannya terhadap Paine, An Apology for the Bible: "Dengan sengaja saya akan menulis ini dan surat-surat berikutnya dengan gaya populer; dengan harapan agar dapat dibaca dengan teliti oleh kelompok pembaca tersebut, yang tampaknya dipertimbangkan secara khusus oleh karya Anda, dan yang paling mungkin dirugikan olehnya."[48] Namun bukan hanya gaya yang dikhawatirkan oleh Watson dengan lainnya, tetapi juga murahnya harga buku Paine. Dalam satu pengadilan terkait dengan dakwaan penghasutan pada awal tahun 1790-an, Jaksa Agung (Attorney-General) mencoba melarang Thomas Cooper menerbitkan tanggapannya terhadap Reflections on the Revolution in France karya Burke karena "meskipun tidak ada pengecualian untuk pamfletnya ketika berada di tangan kelas atas, pemerintah tidak akan memperbolehkannya beredar dengan harga yang akan memastikan penyebarannya dalam masyarakat."[49] Kekhawatiran yang sama mendorong penangkapan mereka yang mencetak, menerbitkan, dan menyebarkan The Age of Reason. Gaya yang kurang menghormatiGaya Paine tidak hanya "vulgar", tetapi juga kurang menghormati. Misalnya, ia pernah mengatakan bahwa ia menolak gagasan bahwa Musa adalah penulis Kejadian, "Kisah Hawa dan ular, dan Nuh dengan bahteranya, jatuh pada tingkatan yang sama dengan kisah-kisah Arab, tanpa menghibur sama sekali."[50] Meskipun banyak deis yang menggunakan cemoohan untuk menyerang alkitab dan Kekristenan, mereka cenderung menggunakan humor intelektual dan bukan humor luas yang digunakan Paine. Para Deis dari kelas menengah (dan bukan elit terdidik) adalah kelompok yang memulai cemoohan yang dipopulerkan oleh Paine.[51] Gaya "cemoohan" Paine inilah yang membuat marah para gerejawan. Seperti yang dikatakan ahli deisme John Redwood: "abad nalar mungkin lebih jelas dan cukup disebut abad cemoohan, karena cemoohan, dan bukan nalar, yang membahayakan gereja."[52] Apology karya Watson sendiri secara langsung menyerang gaya cemoohan Paine:
Pengaruh keagamaanLatar belakang Quaker paine membuatnya condong pada pemikiran deisme, tetapi juga menempatkannya pada tradisi para pengingkar religius. Paine mengakui bahwa latar belakang Quakernya memengaruhi keraguannya, tetapi penghormatan Quaker terhadap berbicara apa adanya (suatu nilai yang diungkapkan secara eksplisit dan implisit dalam The Age of Reason) sangat memengaruhi tulisan-tulisannya. writing even more. Seperti yang diutarakan oleh sejarawan E. P. Thompson, Paine "mencemooh otoritas alkitab dengan argumen yang dapat dipahami oleh pekerja batu bara atau perempuan pedesaan."[54] Caranya mendeskripsikan kisah kelahiran Yesus mendemistifikasi bahasa alkitab dan berupaya menunjukkan bahwa Maria adalah perempuan tak beruntung yang lain: hal tersebut merupakan "kisah perempuan muda yang bertunangan untuk menikah, dan saat bertunangan ia, bila dikatakan secara gamblang dilacurkan oleh roh".[55] Naratif konversi Quaker juga memengaruhi gaya penulisan The Age of Reason; menurut Davidson dan Scheick, "pernyataan tujuan sebagai pembuka, rasa inspirasi batin yang bergairah, pernyataan keyakinan, dan maksud untuk menginstruksikan orang lain" mirip dengan cara kaum Quaker Amerika membuat pengakuan pribadi.[56] Paine memanfaatkan beberapa retorika keagamaan selain yang terkait dengan Quakerisme, terutama bahasa milenial yang dialamatkan untuk pembaca kelas bawahnya. Dengan mengklaim bahwa bahasa religius yang sebenarnya itu universal, Paine menggunakan tradisi retorika Kristen untuk menjatuhkan hierarki agama itu sendiri.[57] Tulisan Paine yang mirip khotbah merupakan salah satu hal yang paling mudah dikenali. Sacvan Bercovitch, seorang ahli khotbah, menyatakan bahwa tulisan Paine mirip dengan jeremiad atau "khotbah politik". Ia meyakini bahwa Paine menggunakan tradisi Puritan yang "menyatukan teologi dengan politik dan politik dengan perkembangan kerajaan Tuhan".[58] Paine mungkin menggunakan gaya ini karena ia mungkin pernah menjadi pengkhotbah Methodis, walaupun hal ini tak dapat diverifikasi.[59] Tanggapan dan dampakThe Age of Reason memicu kemarahan sebagian besar pembaca dan kritik, meskipun intensitas kemarahan tersebut berbeda-beda. Terdapat empat faktor utama yang menyebabkan hal ini: Paine menyatakan bahwa alkitab bukan teks yang suci dan terwahyukan; ia berargumen bahwa Kekristenan dibuat oleh manusia; kemampuannya menggerakan banyak pembaca menakuti para penguasa; dan gayanya yang kurang menghormati dan satirikal menyinggung banyak orang beriman.[29][60] BritaniaAge of Reason memicu kemarahan di Britania sehingga pemerintah menangkap orang-orang yang terkait dan melancarkan perang pamflet. Sekitar 50 tanggapan beredar antara tahun 1795 dan 1799 dan bantahan masih ditulis hingga tahun 1812. Banyak yang menanggapi kritik Paine atas kitab suci pada Bagian II (ketika Thomas Williams ditangkap karena mencetak Bagian II, jelas bahwa penyebarannya melebihi Bagian I).[61] Walaupun para kritikus menanggapi analisis alkitab Paine, mereka biasanya tidak menyerang argumennya. Mereka malahan menganjurkan untuk membaca alkitab secara harfiah, menyatakan bahwa sejarah alkitab merupakan bukti keabsahannya, dan melancarkan serangan ad hominem terhadap Paine dengan menggambarkannya sebagai "musuh pemikiran yang benar dan moralitas orang yang sopan dan tercerahkan".[62] Pengingkar Inggris seperti Joseph Priestley yang mendukung argumen Paine dalam Rights of Man menolak argumen yang disajikan dalam The Age of Reason. Bahkan Analytical Review yang liberal meragukan klaim Paine dan berusaha menjauhkan diri dari buku tersebut. Deisme Paine dianggap terlalu radikal bagi para reformis moderat dan mereka takut dinodai oleh ekstremisme.[63] Meskipun banyak yang menentang The Age of Reason, beberapa ahli menyatakan bahwa The Ruins yang deistik karya Constantin Volney (terjemahan dari bahasa Prancis muncul di surat kabar radikal seperti Pig's Meat Thomas Spence dan Politics for the People Daniel Isaac Eaton) lebih berpengaruh daripada The Age of Reason.[64] Menurut David Bindman, The Ruins "lebih populer di Inggris daripada Rights of Man."[65] Namun, seorang pendeta mengeluh bahwa "kejahatan yang muncul dari penyebaran publikasi yang merugikan semacam itu [seperti The Age of Reason] lebih besar daripada hak suara terbatas dan parlemen setiap tujuh tahun" (pergerakan reformasi populer lainnya).[66] Setelah Richard Carlile diadili pada tahun 1818 karena menerbitkan The Age of Reason, teks Paine menjadi "penghasut anti kitab suci semua kelas bawah pada abad ke-19".[67] Walaupun buku tersebut banyak terjual sebelum pengadilan, begitu Carlile ditangkap, 4.000 salinan terjual dalam beberapa bulan.[68] Dalam pengadilan itu sendiri, yang menyebabkan kehebohan media, Carlile membaca seluruh The Age of Reason agar dapat masuk ke catatan pengadilan, sehingga akan menyebar lebih luas. Antara tahun 1818 hingga 1822, Carlile mengklaim telah "mengedarkan hampir 20.000 salinan Age of Reason".[69] Seperti pada tahun 1790-an, gaya bahasa yang digunakan dalam pamflet ini membuat marah para penguasa pada tahun 1818. Joss Marsh yang menyelidiki penistaan agama pada abad ke-19 menekankan bahwa "dalam pengadilan-pengadilan ini bahasa Inggris direkonfigurasi menjadi "menghina" dan "sangat buruk". Perjuangan "Age of Reason" hampir kandas ketika kata "biasa", "kasar", "umum", dan "vulgar" memperoleh makna peyoratif."[70] Carlile dituduh melakukan penistaan agama dan dihukum satu tahun penjara, tetapi diperpanjang menjadi enam tahun karena ia menolak segala "persyaratan hukum" jika ia dibebaskan.[71] Retorika baru Paine mendominasi jurnalisme radikal abad ke-19, terutama karya para pemikir bebas Chartis dan Owenit. Dampaknya dapat dilihat dalam majalah radikal Thomas Wooler The Black Dwarf, koran dan jurnal Richard Carlile, karya radikal William Cobbett, majalah Penny Papers dan Poor Man's Guardian Henry Hetherington, karya Chartis William Lovett, koran dan buku George Holyoake tentang Owenisme, dan New Reformer karya pemikir bebas Charles Bradlaugh.[72] Satu abad setelah penerbitan The Age of Reason, retorika Paine masih digunakan: "Bible Handbook (1888) karya George William Foote . . . secara sistematis menyerang pasal dan ayat agar dapat menunjukkan "Kontradiksi", "Absurditas", "Kekejaman", dan "Kecabulan", dengan cara yang sama dengan Age of Reason."[73] Selain itu, seperti Paine, majalah The Freethinker (didirikan pada tahun 1881 oleh George Foote) menyatakan bahwa "absurditas iman" dapat "dihabisi dengan tawa".[74] Di Britania, tradisi pemikir bebas meneruskan jejak Paine. PrancisThe Age of Reason, walaupun ditulis untuk orang Prancis, hampir tidak memengaruhi para revolusioner Prancis. Paine menulis bahwa "rakyat Prancis sedang mengarah pada ateisme dan saya telah memastikan agar karya ini diterjemahkan ke bahasa mereka untuk menghentikan mereka dari hal tersebut dan mengarahkan mereka pada bagian pertama . . . keyakinan setiap orang yang punya keyakinan - "Saya percaya Tuhan."[75] Argumen Paine sudah umum dan dapat diakses oleh rakyat Prancis; maka dari itu, argumen tersebut sudah ditolak.[76] Saat masih berada di Prancis, Paine membentuk Gereja Teofilantrofi dengan lima keluarga lainnya; agama sipil ini memiliki dogma utama bahwa manusia harus menyembah kebijaksanaan dan kebajikan Tuhan dan meniru atribut ilahi tersebut sebisa mungkin. Gereja ini tidak memiliki pendeta, dan khotbah tradisional diganti menjadi ceramah ilmiah atau homili tentang ajaran para filsuf. Agama ini merayakan empat festival yang menghormati Santo Vinsensius a Paulo, George Washington, Socrates, dan Rousseau.[77] Samuel Adams menjelaskan tujuan gereja ini ketika ia menulis bahwa Paine bermaksud "memperbaharui zaman dengan menanamkan ketakutan dan kecintaan akan Tuhan dan filantrofi universal pada pemikiran para pemuda."[78] Namun, gereja ini ditutup pada tahun 1801 ketika Napoleon membuat konkordat dengan Vatikan.[79] Amerika SerikatDi Amerika Serikat, The Age of Reason awalnya menyebabkan "kebangkitan" deistik, tetapi kemudian diserang dan segera dilupakan. Paine dicerca sehingga ia dijuluki "ateis kecil yang menjijikan" oleh Theodore Roosevelt lebih dari seratus tahun kemudian.[80] Pada akhir abad ke-18, Amerika merupakan ladang yang subur bagi argumen Paine. Ethan Allen menerbitkan karya Amerika pertama yang mendukung deisme, Oracles of Reason (1784), walaupun deisme cenderung menjadi pegangan para elit terpelajar. Tokoh seperti Benjamin Franklin dan Thomas Jefferson mendukung deisme, meskipun pada saat yang sama menyatakan bahwa agama dapat digunakan sebagai "kontrol sosial".[81] Baru ketika karya Paine diterbitkan deisme menjangkau kelas menengah dan bawah di Amerika. Sebagian public cenderung menerima karena mereka mendukung gagasan sekuler Revolusi Prancis.[82] The Age of Reason diterbitkan hingga edisi ketujuhbelas dan terjual sebanyak ribuan salinan di Amerika Serikat.[83] Elihu Palmer dan pengikut Paine yang paling loyal di Amerika menggalakkan deisme di seluruh negeri. Palmer menerbitkan karya yang akan menjadi "kitab suci deisme Amerika", yaitu The Principles of Nature.[84] Ia juga mendirikan perkumpulan deistik dari Maine ke Georgia, membangun Kuil Nalar di seluruh negeri, dan mendirikan dua koran deistik yang menerbitkan tujuh belas esai yang ditulis Paine.[85] Foner menyatakan bahwa "The Age of Reason menjadi karya deis paling populer yang pernah ditulis. . . . Sebelum Paine orang dapat menjadi Kristen dan deis; kini pandangan tersebut dipertahankan lagi."[40] Paine menyajikan deisme untuk banyak orang dan, seperti di Britania, elit yang terpelajar takut bahwa materi tersebut dapat berdampak buruk. Ketakutan mereka mendorong munculnya balasan.[86] Segera setelah kebangkitan deistik ini, Gerakan Kebangunan Rohani Kedua dimulai. George Spater menjelaskan bahwa "rasa muak yang dirasakan karena Age of Reason karya Paine dan pemikiran anti-religius lainnya begitu besar sehingga revolusi balasan besar berlangsung di Amerika sebelum akhir abad kedelapanbelas." Pada tahun 1796, semua pelajar di Harvard diberikan salinan bantahan The Age of Reason karya Uskup Watson.[87] Pada tahun 1815, Parson Weems, novelis dan moralis Amerika, menerbitkan God's Revenge Against Adultery, dan dalam kisah tersebut salah satu tokoh utamanya mengalami kejatuhan karena membaca Age of Reason.[88] Tulisan Paine membuat anak muda itu berani mengumpat kitab suci hingga ia melempar jauh-jauh alkitab keluarganya dan membaca Age of Reason demi kesenangan.[88] Paine tidak dapat menerbitkan The Age of Reason bagian III di Amerika hingga tahun 1807 karena adanya antipati terhadap Paine. Setelah dipuji beberapa tahun sebelumnya sebagai pahlawan Revolusi Amerika, Paine kini dikecam di media dan diberi beberapa julukan yang kurang baik.[89] Sementara itu, John Adams memandang Age of Reason karya Paine bukan sebagai lambang Abad Pencerahan, tetapi sebagai "pengkhianatan" abad tersebut.[90] Meskipun terus diserang, kepercayaan Paine tidak goyah; ketika ia hampir meninggal, seorang perempuan mengunjunginya dan mengklaim bahawa Tuhan memerintahkan kepadanya untuk menyelamatkan Paine. Paine menolaknya dengan cara yang sama dalam The Age of Reason: "pooh, pooh, itu tidak benar. Anda tidak dikirim dengan pesan kurang ajar semacam itu . . . Pshaw, Ia tidak akan mengirim perempuan tua yang bodoh dan jelek seperti kamu dengan pesan-Nya."[91] The Age of Reason diabaikan setelah tahun 1820, kecuali oleh kelompok radikal di Britania dan pemikir bebas di Amerika, seperti Robert G. Ingersoll[92] dan pendukung penghapusan perbudakan Moncure Daniel Conway, yang menyunting karya Paine dan menulis buku biografi pertama tentang Paine yang diberi penilaian baik oleh The New York Times.[93] Setelah penerbitan The Origin of Species karya Charles Darwin pada tahun 1859, banyak orang yang berhenti membaca alkitab secara harfiah, sehingga gagasan Paine mulai menguat.[94] Seperti yang diungkapkan oleh Mark Twain, "Sebelum Perang Saudara hanya orang berani yang mengaku pernah membaca Age of Reason..Saya .. membacanya dengan ketakutan dan keengganan, tetapi mengagumi keberaniannya dan kekuatannya yang gemilang." Kritik Paine terhadap gereja, monarki, dan aristokrasi tampak jelas dalam A Connecticut Yankee in King Arthur's Court (1889) karya Twain.[95] Tulisan Paine masih diterbitkan hari ini, sehingga menjadikannya salah satu teks religius dari abad ke-18 yang masih tersedia secara luas.[96] Pesannya masih menggema, seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Christopher Hitchens bahwa "jika hak manusia hendak ditegakkan pada masa kegelapan, kita membutuhkan abad nalar." Bukunya pada tahun 2006 mengenai Rights of Man diakhiri dengan klaim bahwa "suatu waktu . . . ketika hak dan nalar diserang secara terbuka dan tersembunyi, kehidupan dan tulisan Thomas Paine akan tetap menjadi bagian dari gudang senjata yang akan kita butuhkan."[97] Catatan kaki
Daftar pustaka
Beberapa cetakan modern The Age of Reason
Pranala luarWikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
|