Suwarsih Djojopuspito
Suwarsih Djojopuspito (Ejaan Van Ophuijsen: Soewarsih Djojopoespito; 20 April 1912 – 24 Agustus 1977)[1] adalah seorang penulis Indonesia dari suku Sunda yang menulis novel dalam 3 bahasa, yaitu bahasa Sunda, bahasa Belanda, dan bahasa Indonesia.[2][3] Latar Belakang dan PendidikanSuwarsih lahir pada 20 April 1912 di Cibatok, Bogor dan memiliki nama kecil Tjitjih. Ia berasal dari keluarga yang sederhana. Ayahnya, Raden Bagoes Noersaid Djajasapoetra, berasal dari Cirebon. Walaupun buta huruf namun ayahnya mampu menjadi dalang wayang kulit dalam 3 bahasa (Jawa, Sunda, dan Indonesia). Ia dan kakak perempuannya, Nining, sama-sama bersekolah di Kartini School yang didirikan oleh Van Devanter di Bogor. Sekolah tersebut merupakan Sekolah Dasar selama tujuh tahun khusus perempuan dan setingkat dengan HIS. Suwarsih bersekolah di sana selama 1919-1926. Ia kemudian meneruskan dengan beasiswa ke MULO, Sekolah Menengah Pertama di zaman Belanda, pada 1926-1929 di Bogor. Setelah itu, ia juga mendapatkan beasiswa penuh berupa pembayaran uang sekolah dan penyediaan asrama untuk bersekolah di Europeesche Kweekschool di Surabaya pada 1929-1932. Europeesche Kweekschool merupakan sekolah guru Belanda saat itu. Ketika Suwarsih bersekolah di sana, hanya ada 2 orang pribumi dari 28 murid. BiografiMasa Kebangkitan Nasional (1928-1942)Setelah lulus pada tahun 1932, Suwarsih pindah ke Purwakarta dan mendapat kesempatan menjadi guru di sana. Setahun setelahnya, ia menikah dengan Sugondo Djojopuspito di Cibadak dan pindah ke Bandung. Di sana, Suwarsih menjadi guru di Perguruan Tamansiswa Bandung, di mana Sugondo menjadi kepala sekolahnya. Meskipun memiliki ijazah sebagai guru sekolah Belanda dan memiliki kesempatan untuk mengajar di sekolah Belanda namun ia lebih memilih bekerja di perguruan pribumi. Ia juga aktif dalam Perkoempoelan Perempoean Soenda sebagai anggota. Kakaknya, yang bernama Suwarni, menikah dengan A.K.Pringgodigdo. Pada 1934, suami Suwarsih terkena larangan mengajar (Onderwijs Verbod) oleh Pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Gubernur General Bonifacius Cornelis de Jonge. Namun kemudian pada 1935 larangan ini dicabut oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun yang sama, Suwarsih mendirikan sekolah Loka Siswa, namun sekolah tersebut terpaksa harus ditutup karena tidak ada murid. Ketika suaminya diterima bekerja sebagai guru di Tamansiswa Semarang pada 1936, Suwarsih pun ikut pindah ke kota tersebut dan bekerja di sekolah Drs. Sigit. Kemudian pada tahun 1938, ia pindah ke Bandung dan mengajar di Pergoeroean Soenda. Ketika keadaan Eropa genting, menjelang Perang Dunia II, maka pada tahun 1940 Soewarsih pindah ke Batavia mengisi lowongan guru yang ditinggal pergi orang Balanda. Ia menjadi guru di GOSVO (Gouvernement Opleiding School voor Vak Onderwijzeressen Paser Baroe Batavia - Sekolah Guru Kepandaian Putri Negeri Pasar Baru Batavia - sekarang SMKN 27 Pasar Baru). Seperti diketahui pada waktu itu hanya ada 2 SGKP, yang lain adalah OSVO Soerabaia. Ia juga dipercaya oleh kenalannya yang pulang ke Eropa untuk menjaga rumah di daerah elite Menteng (Tjioedjoengweg, sekarang Jl. Teluk Betung belakang HI). Masa Pendudukan Jepang (1943-1945)Pada zaman pendudukan Pemerintah Dai Nippon hampir semua bangsa Indonesia bekerja di Pemerintah Dai Nippon, dia bekerja sebagai guru pada Sekolah Dasar Dai-ichi Menteng, dan juga pindah rumah ke Jl. Serang (sekarang Jl. Samsurijal) titipan orang Belanda yang pulang ke Eropa akibat penjajahan Jepang. Masa Revolusi Fisik (1945-1949)Pada masa revolusi fisik berhubung berpindah-pindah tempat tinggal dari Jakarta, Cirebon, Purworejo, dan Yogyakarta, maka tidak sempat menulis novel, karena mengikuti suami yang Anggota BP-KNIP [4] di Jakarta dan Purworejo. Tahun 1948 menetap di Yogyakarta ikut suami Sugondo Djojopuspito ketika BP-KNIP pindah ke Yogyakarta, kemudian suaminya diangkat menjadi Menteri Pembangunan Masyarkat pada Kabinet dr. Abdul Halim pada tahun 1949 Masa Kemerdekaan setelah RIS (setelah 1950)Awalnya pada tahun 1951 ia menjadi guru SGKP Lempuyangan Yogyakarta, kemudian berhenti menjadi guru tahun 1953 setelah ke Amsterdam, karena mendapat undangan dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk tinggal di Amsterdam selama 6 bulan atas biaya Pemerintah Kerajaan Belanda (tinggal di rumah kontrakan bilangan Kijzerkracht). Ketika kembali ke Indonesia, ia mulai kegiatan menulis atau menterjemahkan buku-buku (dari bahasa Prancis, Belanda, Jerman, maupun Inggris karena mahir berbahasa tersebut), yaitu untuk menambah keuangan keluarga (pensiun suami sebagai bekas Menteri sangat kecil). Banyak novel ditulis pada masa ini. Senang Main Piano dan MenyanyiSeperti halnya dengan Ibu Sud belajar biola dan Amir Pasaribu belajar piano, yang berkesempatan belajar musik di Hogere Kweek School (HKS - Sekolah Guru Atas) Bandung, maka Ny. Soewarsih juga belajar piano di Eropeesche Kweekschool Surabaya, dan juga senang menyanyi. Anak-anaknya semua kemudian diajarkan piano juga. Pada waktu menidurkan anak bungsunya, ia suka menyanyikan Wiegenlied Ciptaan W.A. Mozart dengan terjemahan Tidurlah Putra Bunda. Teks lagu itu adalah:
Kematian dan PenghargaanSuwarsih wafat pada 24 Agustus 1977 serta mendapat kehormatan dimakamkan di Pemakamam Tamansiswa Taman Wijayabrata di Celeban, Umbulharjo - Yogyakarta. Dalam rangka hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-68, maka Pemerintah telah menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma pada tanggal 14 Agustus 2013 di Istana Negara oleh Presiden SBY kepada ahli warisnya.[5][6] Karya NovelKarya Novel yang telah diterbitkanHanya 1 roman dibuat sebelum kemerdekaan (1938), karena dia hanya bisa berbahasa Sunda dan Belanda, sedangkan yang lain seteleh RIS (1949)setelah bisa berbahasa Indonesia [1]
Artikel yang pernah ditulisLihat Levensbericht Jaarboek van de Maatschappij der Nederlandse Letterkunde te Leiden 1978-1979.
Artikel yang tidak diterbitkan
Ulasan penulis Belanda
Keluarga
Referensi
Pranala luar
|