Kerajaan Iha
Kerajaan Iha adalah sebuah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Saparua, Maluku. Di Pulau Saparua, sampai pada masa penjajahan Belanda ada dua kerajaan yang terkenal yaitu Iha dan Honimoa (Siri Sori). Kedua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh ini sempat dikenal sebagai sapanolua artinya "dua sampan" atau "dua perahu". Yang dimaksudkan ialah pulau Saparua mempunyai dua Jazirah yang besar yang di atasnya berkuasa dua orang raja dengan tanahnya yang sangat luas itu yaitu di sebelah utara (Jazirah Hatawano) Raja Iha dengan kerajaannya dan di sebelah tenggara Raja Honimoa dengan Kerajaannya. Sebelum datangnya Portugis dan Belanda, Kerajaan Iha terletak di antara Negeri Kulur sampai dengan perbatasan Negeri Ullath yang dahulunya berbatas dengan Kerajaan Honimoa. [1]Kerajaan Iha terlibat dalam sebuah perlawanan melawan kolonial Belanda pada tahun 1632–1652 yang disebut Perang Iha II.[2] Perang ini sendiri mengakibatkan kerajaan Iha kehilangan sebagian besar daerah dan rakyatnya sehingga kemudian mengalami kemunduran. Penaklukan IhaPerang antara Kerajaan Iha dan Belanda berlangsung sekitar 20 tahun. Belanda, dengan peralatan tempur modern dan armada perang yang terus bertambah, selalu siap menyerang. Sebaliknya, masyarakat Iha hanya mengandalkan peralatan tradisional dan semangat cinta tanah air untuk bertahan. Setelah gagal menundukkan Iha melalui peperangan langsung, Belanda menggunakan strategi lain. Mereka mencoba menarik dukungan dari amano-amano (negeri) yang berada di bawah pemerintahan Kerajaan Iha Beberapa amano yang terlibat di antaranya adalah Ullath, Tuhaha, Paperu, dan Nolloth. Dengan berhasilnya Belanda membujuk beberapa amano menjadi sekutu, pertahanan Kerajaan Iha mulai melemah. Dukungan ini memberi keuntungan besar bagi Belanda, karena mereka dapat mengetahui jalur-jalur rahasia menuju pusat pemerintahan Kerajaan Iha di puncak Gunung Amaiha. Setelah mendapat dukungan dari sejumlah kapitan dan raja setempat, De Vlamingh merancang strategi baru. Serangan kali ini banyak melibatkan pasukan rakyat yang dipimpin oleh kapitan dari setiap amano. Salah satu taktik yang digunakan adalah menyandera Raja Lawaranta dari Paperu untuk memaksa Kapitan Kamalau Tarapa membantu Belanda melawan pasukan Kerajaan Iha yang dipimpin oleh Kapitan Hatibe Pati. Pada saat yang sama, sekutu Belanda dari amano Tuhaha, yang dipimpin Kapitan Sasabone, juga siap menyerang. Puncaknya terjadi pada tada tanggal 5 September 1652, ketika Arnold de Vlamingh memimpin dalam pertempuran di petuanan Italili (sekarang negeri Itawaka) berhasil mengalahkan Kapitan Hatibe Pati dengan bantuan kaki-tangannya. Sehingga sampai sekarang tempat wafatnya kapitan Hatibe Pati disebut dengan istilah air potang-potang dalam dialektika masyarakat setempat. Selain pada kekalahan kapitan Hatibe Pati, kekalahan yang lain diperoleh kerajaan Iha ialah tumbangnya Masjid di puncak gunung Amaiha akibat 29 tembakan senjata yang terbuat dari tulang rahang babi.[3] Pasca Runtuhnya IhaRuntuhnya Kerajaan Iha pada 1652 menyebabkan penduduknya terpecah menjadi tiga negeri berbeda:
Untuk menghargai sekutu-sekutu yang membantu Belanda menaklukkan Kerajaan Iha, Gubernur Arnold de Vlamingh membagi tanah-tanah bekas kerajaan Iha, sebagaimana tercatat dalam buku hariannya (16 Mei 1653):
Kebijakan pembagian tanah ini mempertegas dominasi Belanda dan sekutunya serta menjadi strategi politik untuk melemahkan sisa-sisa kekuatan Kerajaan Iha.[4] Lihat JugaReferensi
|