Imam diosesan

Imam diosesan (disebut juga sebagai imam diosis atau projo) adalah imam dalam Gereja Katolik yang terikat secara langsung dengan sebuah keuskupan. Para imam diosesan berbeda dengan imam tarekat yang merupakan anggota dari tarekat atau kongregasi tertentu. Para imam diosesan umumnya ditulis dengan Reverendus Dominus.

Lingkup Tugas

Gereja dalam suatu wilayah Keuskupan dipimpin oleh Uskup. Uskup adalah penganti Para Rasul, yang menjadi pimpinan tunggal dalam penggembalaan umat setempat. Uskup menjalankan tugas kegembalaannya dibantu oleh para Imam.

Di Indonesia sejak abad 18 yang bekerja dalam karya Gereja adalah Imam-imam pendatang dari luar negri (misionaris) yang tergabung dalam ikatan Ordo atau Tarekat atau Kongregasi. Mereka bukan orang-orangnya Uskup, bukan bawahannya Uskup secara langsung. Mereka adalah orang-orang Ordo/Tarekat yang membantu uskup setempat. Uskup setiap kali harus meminta kepada Kepala Ordo/Tarekat/Kongregasi, apakah mereka bersedia mengutus anggotanya untuk membantunya. Jika tidak diberikan atau tenaga yang telah diutus ditarik kembali maka Uskup tidak bisa berbuat apa-apa.

Seiring dengan berkembangnya Gereja di Indonesia maka muncullah imam-imam pribumi yang ingin mempersembahkan hidupnya untuk Gereja, ada yang mendaftarkan diri secara langsung kepada Uskup untuk menjadi pekerja milik keuskupan.

Itulah sebabnya mereka disebut Imam Diosis (Imam Keuskupan) Mereka juga ditugaskan dalam karya Paroki. Imam Diosis juga berkecimpung dalam karya sosial, pendidikan, kepemudaan, pembinaan rohani, penyuluh pertanian, dosen, wartawan, pastor tentara, pemimpin retret, pastor pramuka, ketua yayasan pendidikan, dan lain-lain. Singkatnya bekerja dibidang-bidang yang juga merupakan tugas dan tanggungjawab Uskup.

Janji dan spiritualitas

Seorang calon diakon, termasuk para calon imam diosesan, mengucapkan tiga janji di depan uskup penahbisnya, yaitu janji selibat, janji untuk berdoa, dan janji untuk taat kepada uskup. Dalam hal ini, para calon imam diosesan berjanji taat pada uskupnya (dan juga para penggantinya). Berbeda dengan para imam tarekat yang mengucapkan kaul, para imam diosesan tidak mengikrarkan kaul. Para imam diosesan juga tidak terikat pada suatu spiritualitas yang bersifat spesifik.[1]

Imam diosesan di Indonesia

Tahun 1936, Mgr. Petrus Johannes Willekens, Vikaris Apostolik Batavia (Jakarta), berpendapat bila Gereja mau berakar kuat di Indonesia, perlulah dibentuk pasukan imam-imam asli (pribumi).

Tanggal 15 Agustus 1936 dibuka Seminari Tinggi Projo Indonesia pertama di Muntilan. Dalam perkembangannya Seminari ini berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Baru sepuluh tahun kemudian mempunyai rumah yang tetap, yakni dipinggir Kali Code. Dalam waktu 15 tahun rumah tersebut tidak mampu menampung penghuni yang semakin banyak. Sejak tahun 1968, Seminari Agung Santo Paulus, Keuskupan Agung Semarang menempati gedung baru di Kentungan, 6 km di utara Yogyakarta. Di sinilah para calon imam baik dari pulau Jawa maupun luar Jawa mengembangkan dirinya untuk menjadi seorang imam.

Tahun 1977, atas prakarsa Uskup Surabaya, Malang dan Denpasar, didirikan Seminari Tinggi Projo "Giovanni" di Malang.

Referensi

  1. ^ Wibowo, Gregorius Hertanto Dwi (Juni 2021). "Imam, Pastor, Romo, Diosesan dan Imam Tarekat: Apa bedanya?". Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng. Diakses tanggal 18 Januari 2021. 

Pranala luar