BendaharaBendahara (Jawi: بنداهارا) adalah jabatan penyelenggara pemerintahan di kerajaan-kerajaan Melayu klasik, setara dengan jabatan mangkubumi atau wazir, sebelum diintervensi oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-19. Bendahara diangkat oleh sultan dan merupakan suatu jabatan yang diwariskan turun-temurun. Lazimnya bendahara adalah kerabat sultan, dan berasal dari nasab yang sama. Jabatan ini masih digunakan di negara Brunei Darussalam, dengan gelar Pengiran Bendahara. Tugas dan tanggung jawab bendaharaJabatan yang paling sebanding dengan bendahara adalah jabatan wazir[1][2] di kerajaan-kerajaan Islam. Selaku penghulu segenap kaum bangsawan di dalam wilayah kerajaan, bendahara mengemban sejumlah tanggung jawab khusus. Bendahara merupakan tulang punggung kesultanan Melayu. Di masa silam, para bendahara Malaka dan Johor mengemban berbagai tugas dan tanggung jawab, namun yang paling utama adalah:
Kesempurnaan pemerintahan seorang sultan bertumpu pada kebijaksanaan bendaharanya. Bendahara senantiasa bermusyawarah dengan kaum bangsawan sebelum mengambil keputusan. Musyawarah ini dilakukan demi kebaikan seluruh rakyat, terutama bilamana timbul permasalahan-permasalahan di dalam negeri. Ruang lingkup tanggung jawab bendahara jauh lebih besar dibanding wazir atau perdana menteri pada zaman modern. Campur tangan Inggris dan Belanda dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri-negeri Melayu, serta kemerdekaan negara Malaysia dan Indonesia mengakibatkan jabatan bendahara merosot menjadi sebuah gelar simbolis belaka. Di zaman modern, jabatan bendahara lazimnya disamakan dengan jabatan perdana menteri.[3] Meskipun tugas dan tanggung jawab seorang bendahara agak mirip dengan yang diemban seorang perdana menteri, kedua jabatan ini tidak dapat disetarakan. Salah satu perbedaan yang sangat jelas adalah bobot kewenangan yang dimiliki kedua jabatan ini. Pada masa lampau, lazimnya bendahara adalah pejabat negara tertinggi di bawah sultan. Meskipun bendahara yang menyelenggarakan pemerintahan negara, kewenangan tertinggi tetap berada di tangan sultan. Sultan tidak berkewajiban mempertanggungjawabkan kewenangannya kepada bendahara maupun kepada pihak-pihak lain. Sultan-sultan Melayu di masa lampau berkuasa secara mutlak, bukan sekadar kepala monarki konstitusional sebagaimana Yang Dipertuan Agung di negara Malaysia sekarang ini, di mana kekuasaan politik efektif berada di tangan Perdana Menteri Malaysia. SejarahMeskipun belum jelas bilamana gelar ini pertama kali dipergunakan, pemerintahan Kesultanan Malaka pernah dikelola oleh sejumlah bendahara yang sangat berwibawa. Bendahara Malaka yang termasyhur adalah Tun Perak. Pada masa jabatan Tun Perak, yang meliputi masa pemerintahan beberapa sultan, Malaka mencapai puncak kejayaannya menjelang akhir abad ke-15. Menurut Sulalatus Salatin dan Hikayat Hang Tuah, Tun Perak secara diam-diam menyelamatkan nyawa Hang Tuah, seorang laksamana yang telah diperintahkan untuk dibunuh oleh Sultan Malaka. Pada 1612, Bendahara Tun Sri Lanang dari Kesultanan Johor menerima amanat Sultan Johor, Alauddin Riaayat Syah, untuk menghimpun dan menyusun sejarah Melayu ke dalam bentuk pustaka. Kitab yang dihasilkannya diberi judul Sulalatus Salatin (silsilah raja-raja) dan di kemudian hari juga lazim disebut Sejarah Melayu. Kitab ini merupakan sebuah mahakarya sastra Melayu. Pada 1699, Bendahara Johor, Abdul Jalil, naik takhta menjadi Sultan Abdul Jalil IV setelah Sultan Mahmud Syah II mangkat terbunuh tanpa meninggalkan waris. Setelah Sultan Abdul Jalil IV naik takhta, negeri Pahang dianugerahkan sebagai Tanah Kurnia (tanah ulayat pribadi) kepada Bendahara Johor. Bendahara Tun Abbas dan anak cucunya turun-temurun memerintah atas negeri Pahang sampai akhirnya Tun Mutahir dilengserkan dari tampuk pemerintahan Pahang dalam sebuah perang saudara pada 1863. Kesultanan Terengganu yang ada saat ini didirikan oleh Sultan Terengganu, Zainal Abidin I, pada 1708. Sutan Zainal Abidin I adalah putra Tun Habib Abdul Majid, Bendahara Johor pada abad ke-17. Bendahara Malaka dan Johor
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis, Kesultanan Malaka digantikan oleh Kesultanan Johor.
Bendahara-bendahara berikut ini tersingkir dari istana setelah Laksamana Paduka Tuan berkuasa:
Setelah Sultan Abdul Jalil IV naik takhta, Bendahara Johor dianugerahi negeri Pahang sebagai tanah ulayat pribadi. Oleh karena itu, untuk seterusnya para bendahara Johor digelari Bendahara di Pahang. Para bendahara ini juga digelari "Raja Bendahara" karena kedudukan mereka selaku penguasa Pahang, negeri jajahan Kesultanan Johor. Bendahara di Pahang
Tun Mutahir adalah Raja Bendahara Pahang yang terakhir. Ia dimakzulkan oleh adiknya sendiri, Wan Ahmad, yang kelak ditabalkan menjadi Sultan Pahang selepas pembagian wilayah Kesultanan Johor. Lihat pulaSumber
|