Bahasa Sunda Priangan
Bahasa Sunda Priangan (BSP,[a] BSL,[b] atau BSS[c]) atau dialek Priangan[4] adalah sebuah set varietas bahasa Sunda yang dituturkan di wilayah eks-Keresidenan Parahyangan. Dialek Priangan merupakan varietas bahasa yang paling banyak dituturkan di antara bentuk-bentuk bahasa Sunda lainnya dan dalam perkembangannya kemudian ditetapkan sebagai bentuk baku bahasa Sunda. Oleh karena itu, dialek ini digunakan dalam berbagai hal, mulai dari literatur seperti buku, majalah atau surat kabar, juga digunakan dalam hal komersial dan dalam lingkungan pemerintahan. Dialek ini juga diajarkan sebagai pengajaran bahasa Sunda standar di seluruh instansi pendidikan di wilayah Provinsi Jawa Barat. SejarahSebagai salah satu wilayah jajahan pemerintah Kolonial Belanda yang cukup penting, wilayah Priangan/Parahyangan terutama di pusat pemerintahannya di Bandung merupakan wilayah di mana budaya Sunda berkembang, termasuk dalam hal bahasa, keberadaan bahasa Sunda di wilayah ini kekuatannya semakin meningkat dan dianggap pamor, apalagi pemerintah Kolonial Belanda kemudian melakukan pembakuan bahasa Sunda dengan berdasar kepada dialek-dialek yang dipertuturkan di wilayah Bandung dan sekitarnya pada tahun 1872, bahasa ini kemudian distandarisasi menjadi bahasa baku (bahasa Sunda: lulugu) dan digunakan di lingkungan pemerintahan dan kaum menak pribumi. Bahasa Sunda dialek Bandung ini kemudian hidup subur di wilayah Priangan (kabupaten Sukabumi, kota Sukabumi, kabupaten Cianjur, Bandung Raya, kabupaten Garut, kabupaten Sumedang, kabupaten dan kota Tasikmalaya, kabupaten Ciamis, kabupaten Pangandaran dan kota Banjar) sehingga dikenal juga sebagai bahasa Sunda dialek Priangan. Bahasa Sunda Priangan terbagi menjadi empat dialek, Bandung, Garut, Sumedang, dan Tasikmalaya. Lingkup penggunaanSeperti yang telah disinggung sebelumnya, bahasa Sunda dialek Priangan ini berawal dari ragam bahasa Sunda yang dipertuturkan di wilayah Bandung, sebagai pusat kekuasaan pada masa itu, Bandung dianggap sebagai wilayah percontohan sehingga hal ini pun berdampak terhadap bahasa yang kemudian secara lambat laun dialek Priangan ini menyebar ke wilayah lain di luar Bandung, seperti Garut, Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Purwakarta, dan Sumedang, Pangandaran, serta Ciamis. Walaupun begitu, tiap wilayah tetap memiliki beberapa perbedaan terutama dalam keragaman kosakata, seperti contohnya di wilayah Ciamis, ada beberapa kosakata khas yang tidak dikenali dalam bahasa Sunda di wilayah lainnya, hal ini menyebabkan, terkadang bahasa Sunda yang dipertuturkan di wilayah Ciamis dianggap sebagai dialek tersendiri yang berbeda dengan dialek Priangan. Bahasa Sunda Priangan sendiri secara geografis terbagi menjadi dua, yakni klaster dialek Pegunungan dan Pesisir Selatan. Bahasa Sunda yang digunakan di Pangandaran misalnya, sangat berbeda dengan bahasa Sunda yang digunakan di Bandung dan sekitarnya.[5] Pengaruh bahasa asingSebagai bahasa baku, tentunya dialek priangan tidak lepas dari serapan bahasa-bahasa asing dalam perkembangannya. Umumnya dialek ini banyak menyerap dari bahasa-bahasa seperti Arab, Melayu, Inggris, Belanda, Sanskerta, dan sebagainya.[6] Pengaruh Arab
Pengaruh Melayu
Pengaruh Belanda
Pengaruh Sanskerta
Metode penulisanSebagai bentuk bahasa yang paling sering digunakan dalam karya sastra, setidaknya semenjak adanya pembakuan bahasa Sunda, dialek Priangan setidaknya mengenal beberapa huruf yang digunakan dalam penulisan, huruf-huruf tersebut diantaranya adalah: Lihat pulaRujukanKeteranganCatatan Kaki
Pustaka
Pranala luar
|