Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk Perlindungan terhadap whistleblower pada tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan apa yang menjadi hambatan atau kendala perlindungan terhadap whistleblower oleh LPSK Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Di Indonesia bentuk perlindungan yang diberikan kepada whistleblower berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yaitu, perlindungan:  Perlindungan Secara Fisik dan Psikis (Pasal 5); Melindungi whistleblower dari serangan ancaman terhadap dirinya    maupun keluarganya baik secara fisik maupun psikis. Perlindungan Hukum (Pasal 10); Perlindungan hukum dapat berupa kekebalan yang diberikan kepada pelapor dan saksi untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut secara pidana sepanjang yang bersangkutan memberikan kesaksian atau laporan dengan itikad baik. Dan apabila whistleblower dituntut balik oleh terlapor maka tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputuskan pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu pengurangan hukuman juga dapat diberikan kepada whistleblower. 2. Dalam memberikan perlindungan terhadap whistleblower (pelapor tindak pidana), seringkali Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mengalami beberapa hambatan atau kendala. secara umum terdapat beberapa permasalahan yang diidentifikasi sebagai titik kelemahan Undang-Undang perlindungan Saksi dan Korban.   Diantaranya yaitu, Kendala Terhadap Peraturan Perundang-undangan, Kendala Kelembagaan, serta Kendala Kerjasama antar Lembaga.Kata kunci: Perlindungan WhistleBlower,  Tindak Pidana Korupsi,   Perlindungan Saksi dan Korban.