Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia lebih difokuskan pada proses peradilan pidana. Proses tersebut bermula dari tahap penyidikan, pembuktian, penuntutan hingga vonis hakim di pengadilan. Pembuktian adalah tahapan yang sangat esensial baik kepada terdakwa maupun penuntut umum. Dikatakan demikian karena ketika terjadi silang sengkarut pendapat antara terdakwa dan penuntut umum maka pembuktianlah yang akan menjadi rujukan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dalam pembuktian dikenal beberap teori yakni teori positif, teori conviction intme, teori conviction rasionee dan teori negatif. Teori negatif ini digunakan dalam Pasal 183 KUHAP. Teori-teori tersebut menekankan bahwa beban pembuktian tindak pidana adalah ada pada penuntut umum. Hal ini selaras denga asas actori incumbit onus probandi atinya siapa yang menuntut maka dia yang membuktikan. Dalam perkembangannya peraturan anti korupsi Indonesia memperkenalkan pembalikan pembuktian, khusus pada gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12B jo Pasal 37. Selain itu dalam peraturan anti korupsi juga memperluas episentrum alat bukti petunjuk dalam KUHAP. Perluasan ini sasarannya adalah untuk memudahkan penyidikan dan pembuktian tindak pidana korupsi. Pembalikan pembuktian juga diadopsi dalam peraturan anti pencucian uang. Bahkan dalam peraturan a quo mengenalkan prinsip pembalikan pembuktian murni, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 77 jo Pasal 78. Jadi pembuktian yang awalnya hanya menjadi domain jaksa (beban pembuktian konvensional) kemudian mengalami pergeseran (shifting) kepada terdakwa (pembalikan beban pembuktian – reversal of burden of proof). Prinsip pembalikan pembuktian pada dasarnya terbagi dua yakni pembalikan pembuktian murni (absolut) yang dikenalkan dalam tindak pidana pencucian uang dan pembalikan pembuktian bersifat terbatas dan berimbang yang dikenalkan dalam tindak pidana korupsi.