Keberadaan aktifitas yajna khususnya di Bali, selain berperan sebagai suatu rutinitas spiritual keagamaan, juga berperan sebagai identitas keagamaan budaya dan tradisi. Suatu realita nyata yang terlihat di lapangan adalah pesatnya perkembangan tekhnologi era modern yang seolah melaju tanpa henti. Namun uniknya meski demikian pesat perkembangan tekhnologi, eksestensi budaya khususnya yajna di Bali tetap mampu bertahan bahkan bersinergi dengan perkembanganyang terjadi di masyarakat. Hari raya Galungan sebagai hari pawedalan jagat, sehingga wajib memuja Ida Sang Hyang Widi atas terciptanya alam semesta beserta isinya, dan mengucapkan rasa terima kasih dengan ketulusan hati dan penuh kesucian atas kemurahan yang telah diberikan. Pada hari ini juga para dewa turun ke dunia termasuk juga para pitara yang merupakan leluhur kita. Dalam rangkaian hari raya Galungan mulai dirayakan pada hari Minggu Pahing Dungulan yang disebut Panyekeban. Biasanya umat Hindu mulai memproses buah-buahan yang masih mentah terutama pisang yang masih mentah agar matang pada saat hari Galungan tiba. Pada hari Senin Pon Dungulan dinamakan Panyajan pada waktu itu umat Hindu biasanya membuat berbagai macam kue atau jaja sebagai sesajen persembahan kepada para dewa pada hari raya Galungan. Kemudian pada hari Selasa Wage Dungulan dinamakan Panampahan. Barulah kemudian pada Rabu Kliwon Dungulan puncaknya hari suci Galungan, setelah Galungan dikenal hari manis Galungan. Desa Beringkit Belayu merupakan salah satu wilayah yang memiliki tradisi yang cukup unik pada hari raya Galungan tepatnya pada hari Panampahan Galungan yaitu tradisi Mebanten Tebasan. Tradisi Mebanten Tebasan ini merupakan suatu aktivitas keagamaan yang bersifat kearifan lokal. Adapun fungsi tradisi Mebanten Tebasan yaitu Fungsi Meningkatkan Sradha dan Bhakti, Fungsi Sosial, Fungsi Pelestarian Budaya dan Fungsi Media Pendidikan.Kata Kunci: Fungsi, Tradisi Mabanten Tebasan