Watualang (bahasa Jawa: ꦮꦠꦸꦲꦭꦁ, translit. Watualang) adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Asal usul
Nama Watualang berasal dari kata Watu dan alang/malang. Di aliran Sungai Bengawan Solo, Watualang sebelah utara daerah kuburan Nggupit terdapat sebuah batu berukuran lebar 1 m yang membelah sungai (malang) yang menghubungkan tepi sungai sebelah selatan dengan sebelah utara (desa Pitu). Oleh sebab itu bernama Watualang yang artinya batu yang melintang.
Dusun
Desa Watualang terbagi menjadi 8 dusun yaitu:
- Krajan Utara
- Krajan Selatan
- Gemarang Timur
- Gemarang Barat
- Bogoharjo
- Ngadirojo
- Purworejo
- Bogoharjo
Aset
Desa Watualang dengan wilayah yang luas sebenarnya memiliki aset yang cukup bagus. Sungai Bengawan Solo yang melewati desa Watualang juga menjadi aset yang bagus jika bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Desa Watualang memiliki pasar Krempyeng yang terletak di pusat desa Watualang. Apalagi pada tahun 2008 terminal Kertonegoro dibangun di Banyakan, hal ini sangat menguntungkan warga desa Watualang.
Bengawan solo merupakan aset yang tak ternilai harganya walaupun suka banjir, dengan adanya pompanisasi tepian bengawan solo yang dahulu tidak menghasilkan sekarang menjadi lahan yang subur dan bisa dipanen 3 kali dalam setahun.
Desa Watualang berada di jalur ekonomi Jakarta Surabaya yang tak pernah sepi selama 24 jam sehingga hal ini merupakan potensi masyarakat watualang untuk meningkatkan ekonominya memiliki lahan persawahan yang luas se-Kecamatan Ngawi.
Tokoh dan Legenda
Kyai Purnomo
Sesepuh dan ulama besar desa Watualang, wafat dibunuh oleh bangsa Belanda sesudah kemerdekaan 45. Mempunyai penerus yaitu Kyai Haji Rusydi - Ketua Majelis Dewan Syuro Kabupaten Ngawi.
Legenda Bu Gito Sari
Nama Gito Sari sebenarnya masih menjadi pertanyaan kebenarannya, tetapi ini adalah warisan budaya yang hendaknya kita jaga, bukan untuk diyakini, tetapi untuk diketahui bahwa kita punya cerita rakyat yang bisa diceritakan untuk anak cucu.
Menurut legenda Gito Sari merupakan anak dari seorang Tumenggung (Bupati). Singkat cerita ia menolak dijodohkan orang tuanya dan bertapa bersama pengawalnya. Banyak perbedaan pendapat mengenai hal ini, tetapi legenda ini pantas untuk dipentaskan di acara memperingati HUT RI
Referensi
Templat:Ngawi-stub