Teologi Pastoral adalah sebuah cabang ilmu teologis yang berfokus pada perspektif penggembalaan pada semua kegiatan dan fungsi Gereja dan pendeta, kemudian menarik kesimpulan teologis dari pengamatan yang dilakukan.[1] Sejak zaman Reformasi Protestan, istilah "Pastoral" dipakai dalam dua pengertian. Pertama, "Pastoral" sebagai kata sifat dari "Pastor".[2] Karena Pastor melaksanakan penggembalaan, maka istilah Pastoral dalam konteks ini berarti sama dengan penggembalaan itu sendiri.[2] Pemahaman yang kedua adalah Pastoral sebagai studi tentang penggembalaan itu sendiri.[2]
Sejarah
Penggunaan istilah "Teologi Pastoral" dalam Protestanisme baru muncul pada abad ke-18.[2] Bahkan, Teologi Pastoral belum diakui sebagai suatu disiplin ilmu baru muncul pada tahun 1830 melalui buku yang ditulis oleh Klaus Harms di Jerman, sementara di Amerika sendiri baru muncul pada tahun 1847.[2] Pada masa-masa awal ini, Teologi Pastoral dimaknai sebagai upaya penerapan teologi ke dalam praktik.[2]
Sebenarnya, ide-ide mengenai Teologi Pastoral sendiri sudah muncul sejak sebelumnya, sebagaimana sebelumnya dihubungkan dengan istilah Seelsorge (penyembuhan dan pemeliharaan jiwa-jiwa) walaupun sebenarnya keduanya tidak identik.[2]Zwingli pernah menuliskan suatu risalah mengenai gembala yang benar dan yang salah.[2] Selain Zwingli, Martin Bucer juga menulis mengenai pelayanan terhadap jemaat dalam protestanisme serta membaginya dalam lima kategori.[2] Bahkan, Martin Luther sendiri membuat banyak tulisan yang berhubungan dengan pemeliharaan jiwa (Seelsorge) tersebut.[2]
Pada abad ke-17, Richard Baxter menulis sebuah buku untuk para pendeta dengan judul "The Reformed Pastor" yang menganjurkan sistem pelayanan ke rumah-rumah jemaat.[2] Dalam buku ini, ia mengkritisi perasaan tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang pendeta kepada jemaatnya.[2] Ia menuntut adanya persiapan yang serius dari para pendeta sebelum melakukan pelayanan penggembalaan.[2] Walaupun demikian, ia tidak memandang penting teori dan berpendapat bahwa kemampuan praktis untuk melihat bermacam-macam kebutuhan lebih penting.[2]
Mendekati awal abad ke-19, buku-buku mengenai petunjuk praktis untuk pendeta mulai bermunculan dan menekankan hal-hal seperti kebijaksanaan, pengetahuan, kesalehan, doa, dan penyangkalan diri dalam diri pendeta.[2] Selain itu, seorang pendeta juga dituntut untuk sering mengunjungi jemaatnya.[2] Studi Teologi Pastoral secara khusus baru dimulai di Jerman pada abad ke-19, tetapi baru disusun secara sistematis oleh Inggris dan Amerika sekitar tahun 1873 dengan mengembangkan Teologi Praktika, sebuah bagian studi Teologi yang dipandang Friedrich Schleiermacher sebagai bidang studi yang lebih luas dibandingkan Teologi Pastoral.[2] Di awal abad 19 ini juga mulai muncul berbagai pandangan mengenai cakupan Teologi Pastoral, misalnya W.G.T. Shedd yang memandang Teologi Pastoral sebagai studi atas perkunjungan, pengajaran, kehidupan pribadi, doa, dan akal budi dari pendeta[3] dan Van Oosterzee yang memandang Teologi Pastoral sebagai studi Poimenika, yaitu sebagai teori pelayanan pastoral.[4]
Freidrich Schleiermacher mengorganisasi kembali studi teologi pada masanya menjadi tiga bagian besar, yaitu Filsafat, Historis, dan Praktika sebagai bidang ilmi yang diakui di samping Teologi Sistematika dan Teologi Historis di universitas-universitas Jerman.Teologi pastoral dalam sudut pandang Schleiermacher termasuk ke dalam lingkup teologi praktika.[2] Dalam salah satu karyanya, Schleiermacher mengatakan bahwa teologi tanpa pelayanan terhadap jemaat akan kehilangan karakter teologisnya,[6] dan oleh karena itu, teologi secara keseluruhan bersifat pastoral.[2] Pelayanan pastoral juga tidak terbatas pada jemaat suatu gereja saja, tetapi juga kepada individu-individu yang belum menjadi anggota jemaat.[2] Bagi Schleiermacher, fokus teologi pastoral adalah memperhatikan kesejahteraan orang-orang dan juga penataan gereja.[2]
Seward Hiltner berpendapat bahwa Teologi Pastoral dihasilkan dari penyelidikan dari sudut pandang penggembalaan.[2] Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa Teologi Pastoral adalah sebuah cabang ilmu teologi dan memiliki kedudukan yang sama seperti cabang-cabang ilmu teologi lainnya, seperti Teologi Biblika dan Dogmatika.[2] Teologi Pastoral juga tidak berpusat pada logika, melainkan pada aktivitas yang dilakukannya.[2] Selain itu, Teologi Pastoral memiliki prinsip-prinsip yang disusun atas dasar penggembalaan.[2] Karena sifatnya sebagai suatu disiplin ilmu, Teologi Pastoral juga memiliki patokan-patokan serta metode-metode dalam pelaksanaannya.[2]
Selain hal-hal di atas, Hiltner juga menekankan beberapa poin berikut:[2]
Teologi Pastoral bukan hanya sekadar praktik.
Teologi Pastoral bukan merupakan sebuah teori yang diterapkan.
Teologi Pastoral bukanlah teori dari segala fungsi dan kegiatan pastor serta gereja.
Teologi Pastoral bukanlah penghubung antara bidang studi teologi dan kegiatan serta fungsi gereja dan pendeta.
Hiltner berpendapat bahwa mereka yang dapat terlibat dalam penggembalaan tidak hanya terbatas pada jabatan pendeta saja, tetapi juga jemaat.[2] Walaupun demikian, pendeta tetap memiliki kewajiban yang lebih besar dibandingkan dengan jemaat.[2]
Pandangan Tjaard G. Hommes tidak jauh berbeda dengan Hiltner yang menyatakan bahwa teologi pastoral dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan teologis dan disimpulkan dengan jawaban-jawaban teologis juga.[2] Selain itu, Hommes juga menyatakan bahwa teologi pastoral dapat dipahami sebagai sebuah sarana untuk memberitakan firman dan kehadiran Allah di dunia sebagaimana teologi pastoral tersebut dilakukan dalam pelayanan-pelayanan terhadap jemaat.[2] Perhatian utama dari teologi pastoral adalah melihat, merefleksikan, memahami, dan menunjuk pada Allah dan tindakan-tindakan Allah dalam dunia ini.[2]
Menurut Hommes, teologi pastoral melayani pelayanan gereja dengan hasil studinya atas tindakan, strategi, prioritas, program, fungsi, serta pemahaman dari pelayanan tersebut.[2] Selain itu, teologi pastoral juga menyediakan pedoman dan perspektif bagi tindakan pada masa depan serta memberikan pedoman untuk mengevaluasi tindakan-tindakan tersebut.[2] Oleh karena itu, teologi pastoral tidak dapat terlepas dari pelayanan pastoral.[2]
Anton Boisen adalah seorang pendiri gerakan pendidikan pastoral klinis di Amerika dan memiliki pengaruh penting bagi pemikiran Seward Hiltner pada masa mendatang.[2] Dari pengalamannya sendiri sebagai seorang pasien sakit jiwa, Boisen merasa bahwa bentuk penyakit jiwa lebih banyak berupa masalah-masalah religius dibandingkan masalah medis.[2] Masalah ini juga tidak dapat disembuhkan bila belum dipahami dengan baik.[7] Menurutnya, teologi seharusnya memiliki nilai pastoral dan terapis bagi pasien yang mencari pemahaman dan makna dari pengalamannya.[2] Oleh karena itu, teologi yang berguna secara pastoral seharusnya tidak hanya mempelajari teks-teks tertulis namun juga pengalaman hidup dari orang-orang yang bergumul dengan masalah-masalah religius.[2] Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, teologi pastoral tidak dapat dipahami melalui studi teks saja, tetapi juga dengan studi klinis terhadap kisah hidup seseorang.[2] Metode studi yang ia tawarkan untuk teologi pastoral klinis adalah dengan metode studi kasus agar penyelidik dapat mempelajari kisah hidup seseorang, tetapi juga melibatkan pencarian teologis dari sisi penyelidik..[2]
Eduard Thurneysen adalah seorang teolog yang memiliki konsep dialektikKarl Barth.[2] Dalam pandangan ini, ia berpandangan bahwa Allah berada sangat jauh dengan manusia, dan satu-satunya cara untuk menjembatani ini adalah dengan pewartaan Injil.[2] Oleh karena itu, teologi pastoral menurut Thurneysen adalah pewartaan Injil secara pribadi.[2]