Teknologi biomedis secara umum mengacu pada aplikasi ilmu teknik dan prinsip teknologi dalam sistem biologis dan makhluk hidup. Biasanya istilah "biomedis" mengacu pada prinsip yang terkait pada kesehatan manusia, dan istilah "bioteknologi" mengacu pada aplikasi medis, lingkungan, dan pertanian.
Teknologi biomedis melibatkan atau tersusun atas bidang ilmu berikut ini:
Abstraksi
Teknologi Biomedis mulai diadopsi dalam sistem pendidikan tinggi kita mulai dua dekade terakhir. Absensi bidang tersebut (50 tahun sejak berdirinya republik ini) diyakini menjadi penyebab utama permasalahan teknologi biomedis; rendahnya produksi alat kesehatan dalam negeri dan hingga lemahnya dukungan pemerintah dalam pengembangan bidang ini. Oleh karenanya, pembenahan sistem pendidikan Teknologi Biomedis merupakan prioritas utama dan menjadi solusi jangka panjang pembangunan industri biomedis di tanah air.
Keywords: teknologi biomedis, biomedical engineering, universitas, elektromedis
Latar Belakang
Biomedical Engineering atau lebih dikenal dengan teknologi kedokteran merupakan salah satu komponen penting dalam sistem kesehatan publik. Tidak mengherankan jika kemajuan sistem kesehatan publik sebuah negara ditentukan seberapa canggih teknologi kedokteran yang dipergunakan. Di Indonesia, meski teknologi kedokteran sudah dikenal luas dan telah menjadi bagian integral dalam sistem kesehatan publik kita, sebagai sebuah disiplin keilmuan Teknologi Biomedis ‘baru’ diadopsi dalam sistem pendidikan tinggi kita dalam dua dekade terakhir.
Tulisan ini ini membahas tentang teknologi biomedis secara umum; sejarah singkat, ruang lingkup, keberadaannya dalam dunia akademis Indonesia serta pengaruhnya terhadap pengembangan industri biomedis nasional. Permasalahan alat kesehatan sebagai bagian dari teknologi biomedis yang bersentuhan langsung dengan kepentingan publik juga akan dibahas berikut tawaran solusinya. Pada bagian akhir, kesimpulan serta rekomendasi akan diberikan untuk kemajuan dunia teknologi Biomedis di tanah air.
Pengenalan Teknologi Biomedis
Di Indonesia, Biomedical Engineering dikenal setidaknya dengan 3 nama yang berbeda; Teknik Biomedis, Teknologi Biomedika (TB) atau Teknologi Kedokteran. Meski istilah tersebut memiliki arti harfiah dan penekanan yang berbeda, tetapi ketiganya sering digunakan secara bergantian (interchangebly) untuk mengacu pada hal yang sama.
Menurut National Institute of Heath (1997), Biomedical Engineering merupakan penerapan prinsip-prinsip dan konsep rekayasa pada dunia kedokteran; yang menyangkut diagnosa, pengawasan dan terapi. Bidang ini merupakan melting-pot dari berbagai cabang keilmuan; rekayasa/teknik, biologi, fisika, kimia dan tentunya kedokteran. Menurut perbedaan titik beratnya, TB dibagi menjadi beberapa sub-divisi antara lain:[1]
a. Biomekanik, mempelajari struktur dan fungsi organ biologis dari sudut pandang mekanika (gerak, bentuk dan sifat). Orthopedik merupakan bagian dari Biomekanik yang khusus mempelajari sistem gerak; otot, ligament dan persendian.
b. Biomaterial, mempelajari tentang bahan/material yang akan digunakan/bersentuhan pada organ biologis.
c. Bioinstrument, mempelajari tentang rekayasa (konsep, design dan manufacturing) alat kedokteran secara umum. Biointrument merupakan bagian dari Teknologi Biomedis yang bersentuhan langsung dengan klinis/publik.
d. Bioimaging, merupakan bagian dari penting bioinstrumen dengan fokus utama pada bidang teknologi pencitraan (image) medis seperti: Magnetic Resonance Imaging (MRI), Computed Tomography (CT) Scan.
e. Bioteknologi, mempelajari tentang peningkatan peran guna organ biologis untuk kepentingan lainnya. Tissue Engineering dan Mutasi Genetika merupakan dua cabang Bioteknologi yang telah banyak dikenal publik.
Dari sub-divisi di atas, terminologi ‘Teknologi Biomedis’ melingkupi domain yang jauh lebih besar daripada ‘hanya’ Bioinstrument dan Bio-imaging. Namun dalam bahasa populer–dan demikian pula dalam tulisan ini–istilah Teknologi Biomedis juga mengacu pada Bio-instrument.
Sejarah Teknologi Biomedis
Sejarah Teknologi Biomedis telah dimulai sekurang-kurangnya sejak 3,000 tahun yang lalu. Klaim tersebut didasarkan pada penemuan prostesis (alat pengganti organ) kayu pada sebuah mumi yang berumur 3,000 tahun di Thebes, Yunani. Pada tahun 1816, Fisikawan Prancis Rene Laennec menggunakan gulungan koran untuk mendengarkan detak jantung pasien–untuk menghindari cara yg lazim ketika itu; menempelkan telinga pada dada seorang pasien. Ia kemudian menyempurnakan idenya dengan untuk membuat alat yang kita kenal sebagai stetoskop ("History of Biomedical Engineering," 2013).
Pada abad modern, sejarah TB dimulai sekitar 200 tahun yang lalu. Ketika itu, tepatnya pada tahun 1848, melalui publikasinya yang terkenal “Ueber de tierische Elektrizitaet”, Dubois Reyomnd dan rekannya Herman von Helmholtz mengidentifikasi prinsip tahanan dan arus listrik lemah pada otot dan nervous system katak–yang kemudian dikenal dengan electrophysiology. Milestone penemuan teknologi biomedis terjadi pada penghujung abad 19, ketika serangkaian peralatan medis diciptakan dalam selang waktu yang berdekatan; Spygmomanomemeter (1881) oleh Samuel Segfried Karl von Basch, Sinar X (1885) oleh Wilhem Rontgen, serta Electrocardiograph (ECG, 1885) oleh Willem Einhoven. Tren ini berlanjut pada awal abad ke 20 dengan beberapa penemuan alat medis yang masih digunakan sampai sekarang; ginjal buatan (artificial kydney) oleh Abel, Rountree dan Turner (1913), haemodialisis oleh (1924).
Perang Dunia I dan II–yang melibatkan lebih dari 60 negara dari 5 benua - mempunyai peran yang signifikan dalam penyemaian bidang ini ke berbagai belahan dunia. Hal ini dikarenakan tingginya permintaan kebutuhan prostesis (pengantian organ–umumnya kaki dan tangan) dari para tentara yang cacat sebagai akibat perang. Jumlah laboratorium, bengkel maupun lembaga riset yang mulai tertarik mengembangkan penelitian dibidang ini pun semakin banyak, baik untuk bidang orthopedik, prosthesis maupun bidang terkait lainnya. Dari sekian banyak lembaga riset tersebut, satu-satunya institusi yang menawarkan bidang teknologi biomedis secara formal adalah the Oswalt Institute for Physics in Medicine yand didirikan oleh Fredrich Dessauer pada tahun 1921 di Jerman ("History of Biomedical Engineering," 2013). Dalam perjalanannya, institusi ini berubah nama menjadi Max Plank Institute fur Biophysik. Setelah perang dunia kedua berakhir, TB mulai diperkenalkan pada sistem pendidikan di Amerika; Drexel Univeristy (1959), Case Western Reserve University (1968), North Western University (1969), MIT and Harvard University (1970) dan Illinouis University (1973) hingga Boston University (1973) (Abu-Faraj, 2008). Dengan diperkenalkannya Biomedical Engineering ke dalam sistem pendidikan formal tersebut terbukti efektif pada penciptaan prosthesis dan penemuan alat-alat kedokteran modern yang kita warisi saat ini: pacemakers, CT Scan (1972), MRI (1972), coclear implant (1978), artificial heart (1982), prosthetics arms (2009) dan sebagainya.
Teknologi Biomedis dalam Pendidikan Tinggi di Indonesia
Teknologi Biomedis (TB) mulai diperkenalkan ke dalam sistem pendidikan Amerika di akhir tahun 50-an. Semenjak itu, perkembangan TB sangat pesat bukan hanya di Amerika, tetapi juga di berbagai institusi pendidikan papan atas di hampir seluruh dunia (Harris, Bransford, & Brophy, 2002). Di Indonesia, eksistensi bidang ini sebagai sebagai sebuah disiplin keilmuan baru dimulai setidaknya sejak 1967, ketika Kementrian Kesehatan mendirikan Akademi Teknik Rontgen (ATRO), saat ini berubah nama menjadi Politeknik Kesehatakan Jakarta II di Jakarta("Sejarah Teknik Elektromedik," 2015). Tujuan utama didirikannya sekolah tinggi ini adalah untuk menyediakan dukungan teknis[2]–dalam hal ini pemeliharaan peralatan medis yang tersebar di seluruh rumah sakit di Indonesia.
Di tingkat Universitas (yang berada di bawah di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), TB mulai diperkenalkan pada tahun 1998. Institute Teknologi Bandung (ITB) merupakan institusi di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pertama yang menawarkan TB sebagai konsentrasi studi pasca sarjana (S2) di bawah jurusan Teknik Elektronika ("Bidang Keilmuan KK," 2015). Tidak lama berselang–tepatnya pada tahun 2000–sebuah Universitas swasta, Swiss Germany University (SGU) berdiri di Serpong, Tangerang dan menawarkan jurusan Biomedical Engineering pada tingkat sarjana (S1). Pada tahun 2007, Universitas Indonesia membuka jurusan yang sama, Pasca Sarjana Teknologi Biomedis.
Pada tahun 2008, Universitas Airlangga, Surabaya membuka program studi S1 Teknobiomedik setelah terlebih dahulu membuka jalur S2 Teknobiomedik. Hal ini pun mengukuhkan UNAIR sebagai universitas negeri pertama yang membuka jalur sarjana. Pada tahun ini pula, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) memperkenalkan jurusan Teknik Biomedika sebagai jurusan mandiri pada level strata 1 (undergraduate)–merupakan jurusan sarjana Teknik Biomedika yang pertama di Indonesia ("ITS Buka Jurusan Biomedical Engineering Pertama di Indonesia," 2007). Di ITB, teknik biomedis dikelola oleh Kelompok Keahlian Biomedical Engineering (KK-BME) dan menjadi bagian dari Sekolah Tinggi Teknik Elektro dan Informatika (STEI ITB)("Bidang Keilmuan KK," 2015). Selain itu, beberapa universitas besar sedang dalam proses pengembangan–dalam tahap persiapan maupun telah menawarkan TB sebagai konsentrasi studi ataupun pada jenjang S2; Univeritas Gadjah Mada menawarkan konsentrasi studi Biomedical Engineering dengan titik berat Biomaterial. Ke depan, jumlah universitas yang manawarkan TB sebagai jurusan mandiri diyakini akan terus meningkat.
Jika dilihat dari trend di atas, terlihat bahwa periode tahun 2000-an merupakan turning point bagi ‘diterimanya’ TB sebagai disiplin ilmu yang potensial pada perguruan tinggi ‘umum’[3]. Sebagaimana halnya yang terjadi di Jerman dan Amerika bahwa universitas mempunyai peran vital dalam pengembangan bidang TB, perkenalan TB pada pendidikan tinggi di Indonesia diharapkan mampu memberikan peran substantif pada perkembangan industri TB di tanah air. Namun demikian, perlu adanya kesatuan pandangan dan koordinasi arah riset antar universitas, yang masih sporadis dan tumpang tindih.
Permasalahan Teknologi Biomedis di Indonesia
Sebagai negara yang berpenduduk lebih dari 250juta, terbesar ke-5 dunia (dan pertama di Asia Tenggara) dengan demografi penduduk yang tersebar pada daerah kepulauan, Indonesia memiliki julah rumah sakit yang terbanyak dia Asia Tenggara (sebanyak 2,435 pada tahun 2014 (Statistical Yearbook of Indonesia 2011, BPS–Statistics Indonesia, 2011). Kebutuhan alat kesehatan Indonesia juga yang paling besar di kawasan ini. Data tentang besarnya pembelanjaan alat kesehatan sangat beragam–mulai dari 30T pada tahun 2013 (Markets, 2015), hingga yang bahkan 100T/tahun (Pandjaitan, 2012). Jika mengacu pada data WHO 2011 bahwa sebagian besar alat yang ada berasal dari hibah dengan nilai nominal yang tidak terdokumentasi secara sentral, tidak mengherankan bahwa total pembelanjaan alat kesehatan dalam negeri mencapai hampir 100T lebih di setiap tahunnya. Dari data tahun 2012, ketergantungan kita pada import lima negara produsen; Jerman, Belanda, Jepang, Amerika dan Austria yang mencapai 94.4% (Markets, 2015). Pembelanjaan dalam negeri tidak hanya terbatas pada alat kesehatan dengan teknologi canggih, tetapi juga pada consumable product seperti jarum suntik, kantong darah serta peralatan dengan teknologi rumah tangga seperti inkubator.
Meski pembelanjaan alat kesehatan tergolong eskalatif, tetapi hingga kini dukungan pemerintahan (regulasi makro) terhadap kemajuan industri biomedis dalam negeri masih jauh dari memadai. Jika dibandingkan dengan negara tetangga, misalnya, Singapura telah memulai pembangunan industri TB sejak akhir era 70-an dengan mendatangkan Beecham Industries. Tidak hanya itu, pada tahun 2000, pemerintah Singapura mengumumkan titik berat pembangunan Biomedisnya dengan dengan mengundang investor dari berbagai belahan dunia; Novartis, Roche and Amgen ("Siting a Biomanufacturing Facility in Singapore," 2013). Hal yang sama dilakukan pemerintah Amerika Serikat dengan melibatkan Withaker Foundation untuk mengkampanyekan sekaligus mendukung pembangunan teknik biomedisnya pada awal tahun 70-an ("History of Biomedical Engineering," 2013).
Tidak hanya produktivitas dan dukungan kebijakan pemerintah yang rendah, bidang TB pun sangat rentan terhadap korupsi. Namun demikian, korupsi di bidang ini tidak mudah diketahui publik. Kecuali korupsi alat kesehatan (alkes) di Tangsel yang terungkap lebih dikarenakan politik dinasti daripada objek korupsinya, sangat sedikit catatan korupsi alkes yang dapat diketahui publik. Mari kita amati kembali catatan korupsi bidang ini pada masa lampau.
Pasca desentralisasi, tercatat ‘hanya’ ada lima kasus korupsi yang terungkap ke publik. Pada tahun 2006, kasus korupsi alkes wabah flue burung yang melibatkan terdakwa Soetedjo Yuwono, Sekretaris Menko Kesra yang saat itu dijabat oleh Aburiza Bakrie. Tahun berikutnya, korupsi alkes melibatkan terpidana Ratna Dewi Umar–juga pada kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) flu burung dengan kerugian negara 50.477 milliar rupiah. Kasus ini pula menyeret dua mantan menteri Kesehatan; Siti Fadillah Supari dan Endang Rahayu Setyaningsih. Masih pada tahun 2007, korupsi alkes lainnya melibatkan mantan Kepala Pusat Penanggulan Krisis Kemenkes, Rustam Syarifuddin Pakaya dengan kerugian negara 2,47 miliar, kasus alat bantu Belajar Rumah Sakit (2009). Pada tahun 2010, dugaan korupsi alat kesehatan tak bertuan ‘merambah’ ke Bangli, Bali. Dan, yang teranyar adalah korupsi alat kesehatan di RS International Universitas Udayana, Bali (2015).
Dari berbagai kasus korupsi di atas, ditemukan beberapa permasalahan yang lebih teknis seperti:
Permainan Regulasi
Secara konten, peraturan saat ini alkes saat ini; Peraturan Menteri Kesehatan No 1189 dan 1190 tahun 2010 masing-masing mengatur tentang Sertifikat Produksi dan ijin Edar Alat Kesehatan, menyatakan bahwa distribusi alat kesehatan harus seijin Menteri dengan usia minimal pelaku usaha minimal 2 tahun), sudah memadai. Namun dalam penerapannya, masih terdapat celah pengaturan peserta pemenang lelang. Sebagaimana modus operandi korupsi pengadaan barang umum, pemenang lelang alat kesehatan juga ditentukan secara transaksional dan mengabaikan aturan yang baku.
Standardisasi
Meski standardisasi alkes telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan yang sama (No 1189 dan 1190 tahun 2010), ‘permainan standardisasi’ ini masih terjadi. Celakanya, tolok ukur ‘standard’ yang menyangkut keamanan bahkan keselamatan pasien pun bisa dipermainkan. Sebagai contoh kasus pengadaan sterilisasi rumah sakit yang ditentukan melalui tender oleh Kemenkes 2010, dianulir oleh departemen yang sama pada tahun berikutnya, karena ketidaklayakan kualitas.
Ketiadaan Lembaga Kontrol
Inkompetensi regulator semakin diperparah dengan dengan ketiadaan lembaga kontrol baik pemerintah maupun non-pemerintah yang menguasai bidang ini. Adanya profesi elektromedis, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) No 371/MENKES/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Teknisi Elektromedis–dirancang untuk menjalankan fungsi teknis pemeliharaan dan perbaikan peralatan medis. Secara teknis, para tenaga elektromedis sulit melakukan fungsi diluar togas pokoknya. Dengan tidak berimbangnya rasio jumlah tenaga dengan alat yang harus ditangani, penyelesaian semua tugas pokok merupakan hal utama. Secara hierarki, profesi ini memiliki kedudukan yang tidak setara - merupakan pendukung kinerja paramedis.
Struktur organisasi dan Kompetensi
Permasalahan lain adalah menyangkut struktur organisasi serta kompetensi yang bermuara pada optimalisasi tugas. Meski tanggung jawab penentuan distribusi dan ijin edar alkes ada pada menteri Kesehatan, secara teknis, pelimpahan penentuan standar kualitas produk dilakukan oleh Direktoral Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dengan kewenangan ‘hanya’ mengatur hal teknis yang berkaitan dengan pengadaan dan pengawasan. Selain itu, cakupan bidang kerja Dirjen ini mencakup dua hal yang berbeda; bidang farmasi dan alat kedokteran. Bukan hanya pada terbatasnya wewenang dan luasnya cakupan bidang kerja, secara kompetensi para pejabat pada bidang ini seharusnya memiliki kualifikasi teknologi biomedis. Dari struktur yang saat ini ada (Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan), pejabat Dirjen selalu dari kalangan klinis; baik dokter maupun apoteker. Hal ini bisa difahami karena fungsi tugas dengan cakupan yang berbeda dan harus menangani bidang diluar kompetensinya sehingga ‘wajar’ jika pembangunan bidang TB selama ini tidak optimal.
Solusi
Peran dunia pendidikan dalam pembangunan bangsa merupakan aksioma. Pada bidang teknologi medis, di semua negara produsen alat kesehatan terbesar selalu didukung oleh istitusi pendidikan–dalam hal ini lembaga riset–yang tangguh. Di Jepang misalnya. Penelitian bidang biomedis hampir ada di seluruh universitas terkemuka. Demikian pula halnya dengan Amerika dan (sudah tentu) Jerman yang memiliki institusi Biomedis tertua.
Meskipun data empiris tentang keterhubungan universitas dengan pembangunan bidang biomedis tidak tersedia, secara intuitif dapat disimpulkan bahwa lemahnya pembangunan Biomedis di tanah air (sedikit banyak) disebabkan oleh ketidaktersediaan lembaga riset aka Universitas pada bidang ini. Eksistensi institusi akademis bukan melulu terbatas pada domain teknis semata - menjembatani konsep link-and-match antara industri dan riset, tetapi (yang lebih penting lagi) sumbangsihnya dalam domain konseptual. Univeritas menjadi lembaga pemikir (think-thank) bagi negara dengan memberi asupan konsep kepada para politisi (eksekutif) tentang arah pembangunan. Absensi bidang keilmuan Biomedical Engineering mempunyai konsekuensi yang jelas; tidak adanya (jikapun ada, jumlahnya masih ‘langka’ dibandingkan dengan ahli pada bidang lainnya) generasi ‘mapan’ yang lahir dan besar dari dunia ‘undergraduate’ Teknologi Biomedis. Akibatnya, ahli yang memberi sumbangsih konsep kepada pemerintah pun tidak banyak. Hal ini membuat dukungan pemerintah pada pembangunan TB sangat lemah. Hal ini mempunyai pengaruh ganda (multiple effect) seperti rendahnya produksi, lemahnya pengawasan, serta kurangnya edukasi masyarakat. Peran universitas lainnya adalah sebagai kontrol pembangunan dan pemberi discourse dalam ranka edukasi publik–yang secara konsisten memberikan kritik konstruktif tentang pembangunan TB. Lagi-lagi, ruang ini masih vacant.
Dalam jangka panjang, sebagaimana terbukti dalam masa awal pembangunan TB di Amerika Serikat pada era 70-an, keberadaan dunia pendidikan akan berpengaruh langsung terhadap produksi dan produktivitas produk TB. Pengembangan sumber daya manusia hendaknya menjadi titik berat pengembangan TB. Salah satunya dengan cara mendorong serta mensinergikan arah riset TB di perguruan tinggi pelaksana, mengadakan joint research dan kerjasama government-to-government untuk memastikan semua universitas pelaksana mendapatkan peran secara merata. Strategi ini telah diterapkan Malaysia dalam satu dekade terakhir dengan menggandeng Biomedical Engineering Department of Flinders Medical Centre sebagai partner risetnya.
Dalam jangka pendek, salah satu cara untuk meningkatkan produksi alat kesehatan dalam negeri adalah dengan mendorong tumbuhnya industri biomedis dalam negeri. Dalam jangka pendek, sebagaimana yang dilakukan Singapura dan Amerika yang menggandeng penanam modal asing (PMA), pemerintah dapat mengundang perusahaan biomedis yang telah berpengalaman untuk berinventasi di Indonesia. Penerapan aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) seperti yang diterapkan pada produk smart phone bisa diberlakukan pada produk biomedis. Dengan demikian, secara gradual ‘memaksa’ para produsen untuk membangun proses produksinya ditanah air yang pada akhirnya tidak hanya dapat menyediakan lapangan kerja bagi sarjana Biomedis (Elfani & Putra, 2013), melainkan pula menjadi first agent alih teknologi dengan mengjadi sister-company bagi industri PMDN. Untuk menciptakan iklim kompetisi yang sehat, regulasi spesialisasi produk diperlukan; PMA memproduksi alat medis katagori A (high risk)–yang pada umumnya menggunakan teknologi canggih (state of art), sedangkan PMA memproduksi produk kategori C & D (low risk)–yang pada umumnya berupa consumable devices.
Dari sisi kebijakan, untuk mendukung bangkitnya industri biomedis tanah air, diperlukan political will dengan membuat payung regulasi, penyederhanaan birokrasi serta jaminan tidak adanya pungutan liar yang selama ini menjadi momok investasi asing di Indonesia.
Secara struktur birokrasi, koordinasi pengembangan TB sebagai industri strategis tidak bisa lagi dibebankan kepada ‘hanya’ setingkat kepala biro yang tidak mempunyai kewenangan konseptual, melainkankan minimal oleh pejabat setingkat Direktur Jenderal. Menimbang alur kebijakannya, koordinasi pengembangan TB ini lebih tepat ditempatkan di bawah Kementrian Pendidikan Tinggi dan Riset daripada Kementrian Kesehatan yang lebih berorientasi pada permasalahan klinis. Dari sisi kompetensi, pengembangan TB harus dinahkodai oleh pejabat dengan latar belakang keilmuan Teknologi Biomedis.
Tawaran solusi di atas hanya sebagian kecil dari sekian banyak strategi yang dapat dilakukan dalam rangka membangun TB tanah air. Jika sebagian dari solusi tersebut dapat dilaksanakan, niscaya kemajuan bidang yang menyangkut kepentingan orang banyak ini akan berkembang dengan sesuai dengan yang diharapkan.
Kesimpulan
Hingga kini, ketergantungan Indonesia terhadap import teknologi kedokteran masih sangat tinggi–mencapai 94.4% (Markets, 2015). Absensi Teknologi Biomedis dalam ranah akademis sebelum era 2000an diyakini menjadi pemicu lemahnya kemampuan kita dalam bidang ini; mulai dari produksi domestik hingga ketiadaan political-will pemerintah. Mengingat permasalahan teknologi biomedis di tanah air yang akut, diperlukan solusi integratif antar stake-holders - pemerintah, dunia akademis dan industri - baik dalam jangka pendek hingga jangka panjang. Peran masyarakat juga tidak kalah penting untuk mendorong pemerintah membangun bidang yang ‘terlupakan’ ini secara revolusioner.
Acknowledgement
Artikel ini adalah saduran tulisan berjudul "Teknologi Biomedis di Indonesia; Pengenalan, Tantangan dan Solusi" yang telah dipublikasikan dalam buku "Kontribusi Untuk Bangsaku, Menyambut 70 tahun NKRI [2]" oleh Bapak Sadwika Salain. Pemuatan artikel ini telah mendapat persetujuan dari penulis.
DAFTAR PUSTAKA
- Abu-Faraj, Z. O. (2008). Bioengineering/Biomedical Engineering Education and Career Development: Literature Review, Definitions, and Constructive Recommendations. International_Journal_of_Engineering_Education Education, 24(5), 990-1011.
- Elfani, M., & Putra, N. K. (2013). Biomedical Engineering and its potential for Employment in Indonesia. International Journal of Technology, 1, 34-44.
- Harris, T. R., Bransford, J. D., & Brophy, S. P. (2002). Roles for learning sciences and learning technologies in biomedical engineering education: a review of recent advances. Annu Rev Biomed Eng, 4, 29-48. doi: 10.1146/annurev.bioeng.4.091701.125502
- History of Biomedical Engineering. (2013). Univeristy of Limerick. Retrieved 1 Juli, 2015, from http://www.ecestudents.ul.ie/
- ITS Buka Jurusan Biomedical Engineering Pertama di Indonesia. (2007). Retrieved 1 Juli, 2015, from http://old.its.ac.id/berita.php?nomer=4096
- Markets, R. a. (2015). The Medical Device Market: Indonesia. Retrieved 1 Juli, 2015, from http://www.researchandmarkets.com/reports/3164215/the-medical-device-market-indonesia
- Pandjaitan, M. (2012). Indonesia Belanja Alat Kesehatan ke Luar Negeri Rp95 Triliun Pertahun. Tribunnews. Retrieved from http://www.tribunnews.com/kesehatan/2012/11/03/indonesia-belanja-alat-kesehatan-ke-luar-negeri-rp95-triliun-pertahun
- Sadwika, I W (2015), Teknologi Biomedis di Indonesia; Pengenalan, Tantangan dan Solusi - Persembahan Anak Bangsa Indonesia, Pra Mahasiswa Pasca Sarjana dan Alumni Universitas di Australia (AIPPSSA), Amara Books ISBN 978-602-8783-70-5
- Sejarah Teknik Elektromedik. (2015). Retrieved 9 Juli, 2015, from http://www.poltekkesjkt2.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=86&Itemid=93
- Siting a Biomanufacturing Facility in Singapore. (2013). Singapore Medtech Portal. Retrieved 1 Juli 2015, from http://www.medtech.sg/siting-a-biomanufacturing-facility-in-singapore/
- . Statistical Yearbook of Indonesia 2011, BPS–Statistics Indonesia. (2011).
- Teknik Biomedika; Kelompok Keilmuan. (2015). Retrieved 8 July 2015, 2015, from https://stei.itb.ac.id/kelompok-keilmuan/teknik-biomedika
[1] Tidak ada pembagian yang baku bidang TB ini. Berbagai literatur bisa jadi sub-divisi yang berbeda.
[2] Standar profesi teknisi elektromedis tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 371 tahun 2007 dengan tugas utama untuk mendukung peran klinis yang dijalankan oleh paramedis (dokter) berupa pemeliharaan dan perbaikan alat medis/kesehatan.
[3] Istilah ‘umum’ diberikan penekanan mengingat ATRO yang telah lebih dulu menawarkan bidang ini, merupakan istitusi pendidikan di bawah Kementrian Kesehatan, bukan di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, melihat kenyataan bahwa tenaga kerja potensial industri adalah lulusan S1 titik berat bahasan TB dalam bidang ini adalah institusi yang menawarkan TB sebagai jurusan mandiri pada level sarjana (S1). (Sebagian besar mahasiswa pasca sarjana merupakan dosen atau mereka yang sudah mempunyai pekerjaan tetap).
Referensi
- ^ Abu-Faraj, Z. O. (2008). Bioengineering/Biomedical Engineering Education and Career Development: Literature Review, Definitions, and Constructive Recommendations. International_Journal_of_Engineering_Education Education, 24(5), 990-1011
- ^ Kontribusi untuk bangsaku : menyambut 70 tahun NKRI.