Tata bahasa Arab (نحو عربي, naḥw ʻarabiyy atau قواعد اللغة العربية qawāʻidu al-lughati al-ʻarabiyyah) atau dikenal juga dengan istilah nahwu adalah tata bahasaArabKlasik dan Piawai Modern. Bahasa Arab merupakan bahasa Semit dan tata bahasanya banyak kesamaan dengan tata bahasa bahasa Semit lain. Pada dasarnya, penyusunan mendalam bahasa Arab sampai ke sisi pembagian ilmunya, ialah kepastian, dan keharusan, untuk orang yang ingin betul menguasai menulis, pidato, dan belajar sejarah sastera Arab.[1]
Sejarah
Siapakah tokoh yang pertama kali menyusun tata bahasa Arab masih diperdebatkan. Beberapa sumber menyatakan bahwa Abu al-Aswad ad-Du'ali adalah yang pertama kali memberikan tanda diakritik dan vokal pada penulisan bahasa Arab pada pertengahan 600-an, meskipun tidak ada karyanya yang tersisa saat ini.[2] Ada pula yang menyatakan bahwa ahli tata bahasa yang pertama adalah Ibnu Abi Ishaq (wafat 735-6 M/117 H).[3] Namun ahli hadits kontemporer Muhammad Mustafa al-A'zami mengutip Jalaluddin as-Suyuthi, yang menyatakan pendapat Ibnu Abbas bahwa abjad dan tata bahasa Arab dibuat oleh Nabi Isma'il.[4]
Risalah tentang tata bahasa Arab pertama bermula pada zaman kepemimpinan Umar bin Khattab. Ibnu Abi Mulaikah meriwayatkan bahwa pada masa itu, ada seorang badui belajar membaca Qur'an dengan seorang bimbingan guru, tetapi guru itu berbuat salah.[5] Berita ini sampai kepada Umar, yang menunjuk orang yang mapan bahasa Arabnya untuk mengajari si badui, dan menyuruh Abu al-Aswad ad-Du'ali untuk mengarang satu risalah kecil tentang nahwu.[6] Buku itu diceritakan terdiri atas 4 folio, didapati di perpustakaan Abu Ba'ra, dikutip oleh Yahya bin Ya'mar, dan ditandatangani 'Allan an-Nahwi, dan Nadhr bin Syumail, ahli nahwu lain.[6][7]
Riwayat lain sebagaimana penuturan As-Suyuthi dalam "Tarikh Khulafa'" mengutip Abu Al-Qasim Az-Zujaji dalam kitab "Amali" menyebut bahwa buku risalah itu mula-mula dibuat pada zaman Ali bin Abi Thalib di mana ia mendapati sebagian penduduknya mengalami kesalahan dalam mengucapkan bahasa Arab. Sehingga Abu al-Aswad ad-Du'ali dipanggil Ali untuk mengarang risalah tatabahasa tersebut. Dalam waktu 3 hari, risalah itu dibuat. Terdiri atas isim (kata benda), fi'il (kata kerja), dan hurf (huruf, bukan termasuk keduanya, dan bisa berbentuk kata bantu, dan kata gabung). Di situ, diterangkan pula tentang kaidah bahasa Arab.[8][9]
Seiring dengan semakin pesatnya penyebaran Islam, aturan tata bahasa Arab dikembangkan lebih lanjut pada akhir abad ke-8 oleh para ahli bahasa dari Aliran Basrah dan Aliran Kufah.[10][11]Abu 'Amru bin al-'Ala umumnya dianggap sebagai pendiri Aliran Basrah;[12] sedangkan dua tokoh terkenalnya adalah Al-Farahidi yang mengarang kamus bahasa Arab pertama dan kitab kajian persajakan Arab (prosodi), serta muridnya Sibawaih yang mengarang kitab pertama tentang teori tata bahasa Arab.[2] Abu Ja'far ar-Ru'asi umumnya dianggap sebagai pendiri Aliran Kufah, meski karya-karyanya tidak lagi dapat ditemukan, dan aliran tersebut dikembangkan terutama oleh para penerusnya. Upaya-upaya Al-Farahidi dan Sibawaih mengukuhkan reputasi Basrah dalam tata bahasa analitik, sedangkan Kufah dianggap sebagai pelestari puisi dan budaya Arab.[3] Perbedaan keduanya dalam beberapa kasus menyebabkan polarisasi, misalnya Muhammad bin Isa at-Tirmidzi yang cenderung kepada Aliran Kufah karena penekanannya pada puisi sebagai sumber rujukan utama.[13]
Pembagian
Menurut ahli bahasa Syekh Musthafa al-Ghulayaini, tata bahasa Arab klasik terbagi menjadi 13 cabang ilmu, yaitu:[1]
Tata bahasa dari beragam bentuk bahasa Arab kontemporer digolongkan secara berbeda. Ahli tata bahasa Arab Said M. Badawi membagi tata bahasa kontemporer menjadi lima golongan kefasihan (dua bentuk "klasik", tiga bentuk "tak resmi/percakapan"); yang berdasarkan pada kemampuan melek aksara penutur, serta sejauh mana penyimpangan pengucapannya dari tata bahasa Arab klasik. Penggolongan tersebut yaitu:[14]
Bahasa Arab Lisan Tuna Aksara (عامية الأميين‘āmmīyat al-ummīyīn)
Bahasa Arab Lisan Semi-Terdidik (عامية المتنورين‘āmmīyat al-mutanawwirīn)
Bahasa Arab Lisan Terdidik (عامية المثقفين‘āmmīyat al-muthaqqafīn)
Pembentukan kata kerja bahasa Arab (فعل, fi'il) terbagi dalam dua kelompok; yaitu yang terbentuk dari akar kata trikonsonan (فعل الثلاثي, fi'il ats-tsulatsi), serta yang terbentuk dari akar kata caturkonsonan (فعل الرُّبَاعِيُّ, fi'il ar-ruba'i), yang memiliki makna dasar semantik tertentu.[15] Sebagai contoh, konsonan كـتـب kataba bermakna dasar "tulis", قـرـء (atau قرأ) qara'a bermakna dasar "baca", serta ءـكـل (atau أكل) 'akala bermakna dasar "makan".[16]
Perkataan dibentuk dengan menambahkan akar kata tersebut dengan struktur vokal dan imbuhan. Secara tradisional, ahli tata bahasa Arab menggunakan akar kata فـعـل fa'ala ("buat") sebagai pola dasar (wazan) untuk membahas tentang beragam contoh dalam pembentukan kata.[17]
Ilmu yang menunjukan kepada kita bagaimana cara untuk menggabungkan kata benda (isim), kata kerja (fi'il), atau partikel (huruf/harf) untuk membentuk kalimat sempurna (jumlah mufidah) juga untuk mengetahui keadaan (irab) huruf akhir dari sebuah kata.[18]
Di dalam bahasa Arab, kata-kata dibahas berdasar 2 keadaan: bersendirian, atau tergabung dengan kata lain. Mengenai hal ini, ada 2 ilmu yang membahasnya: sharaf dan i'rab. Sharaf ialah ilmu yang membahas kedudukan perubahan bentuk kata. Sedang i'rab ialah ilmu yang membahas perubahan bentuk harakat akhir suatu kata, bisa nashab (harakat fathah), bisa rafa' (dhammah), jarr (kasrah), dan juga majdzum (sukun).[1]
^ abKojiro Nakamura, "Ibn Mada's Criticism of Arab Grammarians." Orient, v. 10, pgs. 89-113. 1974
^ abMonique Bernards, "Pioneers of Arabic Linguistic Studies." Taken from In the Shadow of Arabic: The Centrality of Language to Arabic Culture, pg. 213. Ed. Bilal Orfali. Leiden: Brill Publishers, 2011. ISBN 978-90-04-21537-5
^Riwayat Ibnu al-Anbari dalam "Al-Idhah" hlm.15a – 16a, Ad-Dani dalam "Muhkam" hlm.4 – 5, dan ciri-ciri buku dikutip dari Ibnu Nadim dalam "Al-Fihrist" hlm.46.
^Sewaktu menulis keterangan ini, As-Suyuthi menerangkan isnad (rantai periwayatan) yang dipakai Az-Zujaji, sebagaimana berikut: "Ja'far bin Muhammad bin Rustuh bercerita kepadaku, Abu Hatim as-Sijistani bercerita kepadaku, Ya'qub bin Ishaq al-Hadhari bercerita kepadaku, Sa'id bin Salmi al-Bagili, Ayahku bercerita dari kakekku, dari Abu al-Aswad ad-Du'ali (... atau dari Abu al-Aswad dari ayahku), ia berkata, '(Kisah itu diceritakan secara runut.
^Goodchild, Philip. Difference in Philosophy of Religion, 2003. Page 153.
^Archibald Sayce, Introduction to the Science of Language. Pg. 28, 1880.
^"Sibawayh, His Kitab, and the Schools of Basra and Kufa." Taken from Changing Traditions: Al-Mubarrad's Refutation of Sībawayh and the Subsequent Reception of the Kitāb, pg. 12. Volume 23 of Studies in Semitic Languages and Linguistics. Ed. Monique Bernards. Leiden: Brill Publishers, 1997. ISBN 978-90-04-10595-9