Tanaman transgenikTanaman transgenik adalah tanaman yang telah disisipi atau memiliki gen asing dari spesies tanaman yang berbeda atau makhluk hidup lainnya.[1][2] Penggabungan gen asing ini bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan,[1] misalnya pembuatan tanaman yang tahan suhu tinggi, suhu rendah, kekeringan, resisten terhadap organisme pengganggu tanaman, serta kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi dari tanaman alami.[1] Sebagian besar rekayasa atau modifikasi sifat tanaman dilakukan untuk mengatasi kebutuhan pangan penduduk dunia yang semakin meningkat dan juga permasalahan kekurangan gizi manusia[3] sehingga pembuatan tanaman transgenik juga menjadi bagian dari pemuliaan tanaman. Hadirnya tanaman transgenik menimbulkan kontroversi masyarakat dunia karena sebagian masyarakat khawatir apabila tanaman tersebut akan mengganggu keseimbangan lingkungan (ekologi), membahayakan kesehatan manusia, dan memengaruhi perekonomian global.[4][5] SejarahSeleksi genetik untuk pemuliaan tanaman (perbaikan kualitas/sifat tanaman) telah dilakukan sejak tahun 8000 SM ketika praktik pertanian dimulai di Mesopotamia.[6] Secara konvensional, pemuliaan tanaman dilakukan dengan memanfaatkan proses seleksi dan persilangan tanaman.[7] Kedua proses tersebut memakan waktu yang cukup lama dan hasil yang didapat tidak menentu karena bergantung dari mutasi alamiah secara acak.[7] Contoh hasil pemuliaan tanaman konvensional adalah durian montong yang memiliki perbedaan sifat dengan tetuanya, yaitu durian liar.[3] Hal ini dikarenakan manusia telah menyilangkan atau mengawinkan durian liar dengan varietas lain untuk mendapatkan durian dengan sifat unggul seperti durian montong.[3] Sejarah penemuan tanaman transgenik dimulai pada tahun 1977 ketika bakteri Agrobacterium tumefaciens diketahui dapat mentransfer DNA atau gen yang dimilikinya ke dalam tanaman.[6] Pada tahun 1983, tanaman transgenik pertama, yaitu bunga matahari yang disisipi gen dari buncis (Phaseolus vulgaris) telah berhasil dikembangkan oleh manusia.[6][8] Sejak saat itu, pengembangan tanaman transgenik untuk kebutuhan komersial dan peningkatan tanaman terus dilakukan manusia.[9] Tanaman transgenik pertama yang berhasil diproduksi dan dipasarkan adalah jagung dan kedelai.[9] Keduanya diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1996.[9] Pada tahun 2004, lebih dari 80 juta hektare tanah pertanian di dunia telah ditanami dengan tanaman transgenik dan 56% kedelai di dunia merupakan kedelai transgenik.[7] Pembuatan tanaman transgenikUntuk membuat suatu tanaman transgenik, pertama-tama dilakukan identifikasi atau pencarian gen yang akan menghasilkan sifat tertentu (sifat yang diinginkan).[2] Gen yang diinginkan dapat diambil dari tanaman lain, hewan, cendawan, atau bakteri.[10] Setelah gen yang diinginkan didapat maka dilakukan perbanyakan gen yang disebut dengan istilah kloning gen.[11] Pada tahapan kloning gen, DNA asing akan dimasukkan ke dalam vektor kloning (agen pembawa DNA), contohnya plasmid (DNA yang digunakan untuk transfer gen).[12] Kemudian, vektor kloning akan dimasukkan ke dalam bakteri sehingga DNA dapat diperbanyak seiring dengan perkembangbiakan bakteri tersebut.[12] Apabila gen yang diinginkan telah diperbanyak dalam jumlah yang cukup maka akan dilakukan transfer gen asing tersebut ke dalam sel tumbuhan yang berasal dari bagian tertentu, salah satunya adalah bagian daun.[11] Transfer gen ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode senjata gen, metode transformasi DNA yang diperantarai bakteri Agrobacterium tumefaciens, dan elektroporasi (metode transfer DNA dengan bantuan listrik).[11][13]
Setelah proses transfer DNA selesai, dilakukan seleksi sel daun untuk mendapatkan sel yang berhasil disisipi gen asing.[9] Hasil seleksi ditumbuhkan menjadi kalus (sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi) hingga nantinya terbentuk akar dan tunas.[9] Apabila telah terbentuk tanaman muda (plantlet), maka dapat dilakukan pemindahan ke tanah dan sifat baru tanaman dapat diamati.[9] Contoh-contohBeberapa contoh tanaman transgenik yang dikembangkan di dunia tertera pada tabel di bawah ini.
Aplikasi tanaman transgenikAplikasi yang telah dikembangkanBeberapa tanaman transgenik telah diaplikasikan untuk menghasilkan tiga macam sifat unggul, yaitu tahan hama, tahan herbisida, dan buah yang dihasilkan tidak mudah busuk.[26][27] Tanaman jagung dan kapas transgenik dengan sifat tahan hama telah diproduksi secara massal dan dipasarkan di dunia.[27] Gen asing yang banyak digunakan untuk sifat resistensi hama ini adalah gen penyandi toksin Bt dari bakteri Bacillus thuringiensis.[26] Sejak tahun 1996, Monsanto, salah satu perusahaan multinasional di bidang bioteknologi, telah menjual benih kapas transgenik dengan merek dagang "Bollgard".[28] Selain itu, tanaman kedelai dan kanola tahan herbisida juga telah dijual ke berbagai negara, termasuk Indonesia, dengan merek "Roundup Ready".[29] Tanaman tomat transgenik dengan sifat pematangan buah diperlambat pernah diproduksi oleh Calgene pada tahun 1994 dan dipasarkan di Amerika Serikat dengan merek "Flavr Savr".[30] Biasanya, tanaman tomat alami dipanen dalam keadaan masih hijau dan belum matang kemudian disemprot dengan gas etilen untuk membuat buah matang dan berwarna merah.[30] Namun, rasa tomat yang dihasilkan umumnya kurang terasa.[30] Tujuan pembuatan tomat transgenik tersebut adalah untuk memperpanjang masa simpan dan menghindari pembusukan buah selama transportasi dari lahan penanaman ke tempat penjualan.[31] Namun, penjualan Flavr Savr ditarik dalam waktu kurang dari setahun karena alasan kesehatan dan penjualannya mengalami kerugian.[30] Produk tersebut tidak banyak terjual karena harganya dua kali lipat dari tomat biasa namun rasa yang dihasilkan sama.[30] Aplikasi yang sedang dikembangkanDalam tahap penelitian, tanaman transgenik sedang diaplikasikan untuk menghasilkan senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan manusia, seperti vitamin A dan vaksin.[26] Untuk produksi vaksin yang dapat dimakan (edible vaccine), contoh tanaman yang sedang dikembangkan adalah pisang, kentang, dan tomat.[32] Salah satu tanaman transgenik yang sudah diteliti sejak tahun 1980 untuk mengurangi jumlah penderita defisiensi (kekurangan) vitamin A adalah padi emas.[33] Aplikasi lain yang sedang dikembangkan adalah penggunaan tanaman untuk membersihkan polusi tanah dari senyawa beracun (seperti arsen) dan logam berat (contohnya merkuri).[34] Gen asing dari bakteri ditransfer ke dalam tembakau dan Arabidopsis sehingga kedua tanaman tersebut dapat menarik merkuri dalam tanah dan mengubahnya menjadi senyawa yang mudah menguap serta tidak berbahaya.[34] Tanaman Arabidopsis juga dikembangkan untuk memproduksi poli(3-hidroksibutirat) atau PHB, suatu bahan pembentuk plastik yang mudah diurai (biodegradable).[35] Sebagian besar plastik yang ada dibuat dari sumber daya yang tidak dapat diperbaharui, salah satunya adalah minyak bumi.[26] Untuk mengurangi penggunaan sumber daya tersebut, digunakan PHB yang dihasilkan oleh bakteri, seperti Alcaligenes eutrophus.[35] Empat pen pembentuk PHB dari bakteri tersebut telah ditransfer ke Arabidopsis sehingga tanaman tersebut dapat menghasilkan PHB.[26] Penelitian tentang PHB dari tumbuhan masih dalam tahap pengembangan sebelum diproduksi massal.[35] KontroversiPerkembangan tanaman transgenik dapat diterima dengan baik oleh Amerika Serikat, Argentina, Cina, dan Kanada.[36] Namun, banyak negara Eropa yang menolak tanaman transgenik karena kekhawatiran terhadap potensi gangguan kesehatan konsumen dan kerusakan lingkungan.[36] Pengaruh pada kesehatan manusiaSikap kontra terhadap produk tanaman transgenik umumnya berasal dari organisasi non-pemerintah/LSM, seperti Greenpeace dan Friends of the Earth Internasional.[37] Dari segi kesehatan, tanaman ini dianggap dapat menjadi alergen (senyawa yang menimbulkan alergi) baru bagi manusia.[5] Untuk menanggapi hal tersebut, para peneliti menyatakan bahwa sebelum suatu tanaman transgenik diproduksi secara massal, akan melakukan berbagai pengujian potensi alergi dan toksisitas untuk menjamin agar produk tanaman tersebut aman untuk dikonsumsi.[4] Apabila berpotensi menyebabkan alergi, maka tanaman transgenik tersebut tidak akan dikembangkan lebih lanjut.[38] Kekhawatiran lain yang timbul di masyarakat adalah kemungkinan gen asing pada tanaman transgenik dapat berpindah ke tubuh manusia apabila dikonsumsi.[38] Pendapat tersebut dinilai berlebihan oleh para ilmuwan karena makanan yang berasal dari tanaman transgenik akan terurai menjadi unsur-unsur yang dapat diserap tubuh sehingga tidak akan ada gen aktif.[38] Untuk memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam memilih produk transgenik atau produk alami, berbagai negara, khususnya negara-negara Eropa, telah melakukan pemberian label terhadap produk transgenik.[39][40] Pelabelan tersebut juga bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen sebelum mengonsumsi hasil tanaman transgenik.[39] Dan dapat menimbulkan tumor, hasil ini telah di tes oleh seorang ilmuwan terhadap tikus yang diberi makan jagung transgenik selama beberapa waktu mengalami tumor di ginjal dan hatinya.[41] Namun penelitian yang dilakukan Gilles-Éric Séralini ini memiliki kontroversi.[42] Pengaruh pada lingkungan (ekologis)Penolakan terhadap budidaya tanaman transgenik muncul karena dianggap berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Salah satunya adalah terbentuknya hama atau gulma super (yang lebih kuat atau resisten) di lingkungan.[5] Kekhawatiran ini terlihat jelas pada perdebatan mengenai jagung Bt yang memiliki racun Bt untuk membunuh hama lepidoptera berupa ngengat dan kupu-kupu tertentu.[43] Ada kemungkinan hama yang ingin dibunuh dapat beradaptasi dengan tanaman tersebut dan menjadi hama yang lebih tahan atau resisten terhadap racun Bt.[5] Selain itu, kupu-kupu Monarch, yang bukan merupakan hama jagung, ikut terkena dampak berupa peningkatan kematian akibat memakan daun tumbuhan perdu (Asclepias) yang terkena serbuk sari dari jagung Bt.[4] Penelitian mengenai kupu-kupu Monarch tersebut dapat disanggah oleh studi lainnya yang menyatakan bahwa kupu-kupu tersebut mati karena habitatnya dirusak dan hal ini tidak berhubungan sama sekali dengan jagung Bt.[3] Di sisi lain, penggunaan tanaman transgenik seperti jagung Bt telah menurunkan penggunaan pestisida secara signifikan sehingga mengurangi pencemaran kimia ke lingkungan.[4] Selain itu, petani juga merasakan dampak ekonomis dengan penghematan biaya pembelian pestisida.[4] Kontroversi lain yang berkaitan dengan isu ekologi adalah timbulnya perpindahan gen secara tidak terkendali dari tanaman transgenik ke tanaman lain di alam melalui penyerbukan (polinasi).[38] Serbuk sari dari tanaman transgenik dapat terbawa angin dan hewan hingga menyerbuki tanaman lain.[38] Akibatnya, dapat terbentuk tumbuhan baru dengan sifat yang tidak diharapkan dan berpotensi merugikan lingkungan.[38] Sebagai tindakan pencegahan, beberapa tanaman yang disisipi gen untuk mempercepat pertumbuhan dan reproduksi tanaman, seperti: alfalfa (Medicago sativa), kanola, bunga matahari, dan padi, disarankan untuk dibudidayakan pada daerah tertutup (terisolasi) atau dibatasi dengan daerah penghalang.[4][5] Hal itu dilakukan untuk menekan perpindahan serbuk sari ke tanaman lain, terlebih gulma.[4] Apabila gulma memiliki gen tersebut maka pertumbuhannya akan semakin tidak terkendali dan dengan cepat dapat merusak berbagai daerah pertanian di sekitarnya.[4] Hingga sekarang belum terdapat petunjuk bahwa transfer horizontal ini telah menyebabkan munculnya "gulma super", meskipun telah diketahui terjadi transfer horizontal. Pengaruh etika dan agamaDari segi etika, pihak yang kontra dengan tanaman transgenik menganggap bahwa rekayasa atau manipulasi genetik tanaman merupakan tindakan yang tidak menghormati penciptaan Tuhan.[44] Perubahan sifat tanaman dengan penambahan gen asing juga dianggap sebagai tindakan "bermain sebagai Tuhan" karena mengubah makhluk yang telah diciptakan-Nya.[45] Pemikiran teologis Katolik memandang bahwa manipulasi atau rekayasa genetik merupakan suatu kemungkinan yang disediakan oleh Tuhan karena tanaman diberikan kepada manusia untuk dipelihara dan dimanfaatkan.[44] Dalam sudut pandang agama tersebut, modifikasi genetika tanaman tidak berlawanan dengan ajaran Gereja Katolik, namun kelestarian alam juga harus diperhatikan karena merupakan tanggung jawab manusia.[46] Dalam menanggapi isu tentang tanaman transgenik, Dewan Yuriprudensi Islam dan Badan Sertifikasi Makanan Islam di Amerika (IFANCA) menyatakan bahwa makanan dari tanaman transgenik yang ada telah dikembangkan bersifat halal dan dapat dikonsumsi oleh umat Islam.[47] Untuk tanaman yang disisipi gen dari binatang haram, produk tanaman transgenik tersebut akan disebut Masbuh, yang berarti masih diragukan (belum diketahui) status halal atau haramnya.[47] Sertifikasi makanan yang telah dikeluarkan oleh IFANCA juga diakui dan diterima oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS), Liga Muslim Dunia, Arab Saudi, dan pemerintah Malaysia.[47] Pihak yang mendukung tanaman transgenik menganggap bahwa transfer gen dari suatu makhluk hidup ke makhluk lainnya merupakan hal yang alamiah dan biasa terjadi di alam sejak pertama kali berlangsungnya kehidupan.[3] Mereka juga berargumen bahwa persilangan berbagai jenis padi yang dilakukan untuk mendapatkan padi dengan sifat unggul telah dilakukan para petani sejak dahulu.[3] Perkawinan berbagai varietas padi tanpa disadari telah mencampur gen-gen yang ada di tanaman tersebut.[3] Para ilmuwan hanya mempercepat proses transfer gen tersebut secara sengaja dan sistematis.[3] Pengaruh terhadap ekonomi globalRiset dan pengembangan tanaman transgenik membutuhkan biaya yang besar dan umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta maupun pemerintah di negara maju.[5] Untuk mengembalikan biaya investasi perusahaan dan melindungi produk hasil investasinya, tanaman transgenik yang telah diproduksi akan dipatenkan.[48] Di dalam salah satu laporan kerja Komisi Eropa, disebutkan bahwa pemberlakuan paten pada produk transgenik dapat mengakibatkan petani kehilangan kemampuan memproduksi benih secara mandiri dan harus membeli pada produsen dari negara maju.[49] Ketergantungan para petani terhadap produsen juga semakin meningkat dengan ditemukannya teknologi "gen bunuh diri".[5] Sebagian tanaman transgenik disisipi "gen bunuh diri" yang menyebabkan tanaman hanya bisa ditanam satu kali dan biji keturunan selanjutnya bersifat mandul (tidak dapat berkembang biak).[48] Hal ini akan menyebabkan terjadinya arus modal dari negara berkembang ke negara maju untuk pembelian bibit transgenik setiap kali akan melakukan penanaman.[5] Para petani di negara-negara dunia ketiga khawatir bila harga benih akan menjadi mahal karena pemberlakuan paten dan mekanisme "gen bunuh diri" yang dilakukan oleh produsen benih.[48] Jika petani tersebut tidak mampu membeli benih transgenik maka kesenjangan ekonomi antara negara penghasil tanaman transgenik dan negara berkembang sebagai konsumen akan semakin melebar.[5] Salah satu usaha mencegah terjadinya kesenjangan tersebut pernah dilakukan oleh Yayasan Rockefeller.[48] Yayasan yang berpusat di Amerika Serikat tersebut telah menjual benih transgenik dengan harga yang lebih murah kepada negara-negara miskin.[48] Di beberapa negara bagian Brasil, pelarangan tanaman transgenik telah mengakibatkan terjadinya penyelundupan benih transgenik oleh para petani di negara tersebut.[48][50] Mereka takut akan menderita kerugian ekonomi apabila tidak mampu bersaing di pasar global dengan negara pengekspor serealia lainnya.[48] Tanaman transgenik di IndonesiaPada tahun 1999, Indonesia pernah melakukan uji coba penanaman kapas transgenik di Sulawesi Selatan.[51] Uji coba itu dilakukan oleh PT Monagro Kimia dengan memanfaatkan benih kapas transgenik Bt dari Monsanto.[51] Hal itu mendatangkan banyak protes dari berbagai LSM sehingga pada bulan September 2000, areal kebun kapas transgenik seluas 10.000 ha gagal dibuka.[51] Pada tahun yang sama, kampanye penerimaan kapas transgenik diluncurkan dengan melibatkan petani kapas dan ahli dalam dan luar negeri.[51] Kasus tersebut berlangsung dengan pelik hingga pada Desember 2003, pemerintah Indonesia menghentikan komersialisasi kapas transgenik.[51] Suatu studi kelayakan finansial terhadap kapas transgenik sempat dilakukan pada tahun 2001 di tiga kabupaten di Sulawesi Selatan, yaitu Bulukumba, Bantaeng, dan Gowa.[52] Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa budidaya kapas transgenik lebih menguntungkan secara finansial dibandingkan kapas nontransgenik.[52] Pada tahun 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang) telah menargetkan Indonesia untuk memiliki padi dan jagung transgenik pada tahun 2010 sehingga tidak perlu lagi melakukan impor beras dan jagung.[53] Menurut Dr. Ir. Sutrisno, Kepala Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB-Biogen), Indonesia telah melakukan penelitian di bidang rekayasa genetika tanaman yang seimbang bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.[53] Namun, dalam hal komersialisasi produk transgenik tersebut, Indonesia dinilai agak tertinggal.[53] Melalui BB-Biogen, berbagai riset tanaman transgenik yang meliputi padi, kedelai, pepaya, kentang, ubi jalar, dan tomat, masih terus dilakukan oleh Indonesia.[53][54] Pada tahun 2010, sebanyak 50% dari kedelai impor yang digunakan di Indonesia merupakan produk transgenik yang di antaranya didatangkan dari Amerika Serikat.[55][56] Hal ini menyebabkan sebagian besar produk olahan kedelai, seperi tahu, tempe, dan susu kedelai telah terbuat dari tanaman transgenik.[56] Untuk mengatur keamanan pangan dan hayati produk rekayasa genetika seperti tanaman transgenik, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura telah mengeluarkan keputusan bersama pada tahun 1999.[16] Keputusan tentang "Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetika Tanaman" No.998.I/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kptrs-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/199; 015A/Nmeneg PHOR/09/1999 tersebut mengatur dan mengawasi keamanan hayati dan pangan. Di dalamnya juga diatur pemanfaatan produk tanaman transgenik agar tidak merugikan, mengganggu, dan membahayakan kesehatan manusia, keanekaragaman hayati, dan lingkungan.[16] Deteksi tanaman transgenikUntuk mendeteksi dan membedakan tanaman transgenik dengan tanaman alamiah lainnya, telah dikembangkan beberapa teknik dan perangkat uji.[57] Salah satu uji kualitatif yang cepat dan sederhana adalah strip aliran-lateral (semacam tongkat ukur).[58] Benih tanaman yang akan diuji dihancurkan terlebih dahulu kemudian strip tersebut dicelupkan ke dalamnya.[57] Apabila dalam waktu 5-10 menit muncul dua garis pada strip maka sampel tersebut positif merupakan tanaman transgenik, sedangkan bila hanya satu pita yang didapat maka hasil yang diperoleh adalah negatif.[57][58] Teknik ini berdasarkan pada deteksi keberadaan protein atau antibodi spesifik dari tanaman transgenik.[57] Uji lain yang dapat digunakan untuk mendeteksi tanaman transgenik adalah reaksi berantai polimerase (PCR) dan ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay).[57] Uji PCR merupakan salah satu metode diagnostik molekular yang mendeteksi DNA atau gen pada tanaman transgenik secara langsung.[57] Sementara itu, ELISA dan strip aliran-lateral merupakan metode imunodiagnostik (metode diagnostik menggunakan prinsip reaksi antigen-antibodi) yang mendeteksi protein hasil ekspresi gen pada tanaman transgenik.[57] Referensi
Lihat pulaPranala luar
|