Surau Bintungan TinggiSurau Bintungan Tinggi terletak di Nagari Padang Bintungan, Kecamatan Nan Sabaris, Kabupaten Padang Pariaman. Surau ini didirikan oleh Syekh Abdurrahman pada tahun 1864. Bentuk surau ini hampir sama dengan surau-surau lainnya di Minangkabau. Hal ini ditandai dengan bangunan yang berdenah bujur sangkar, atap berbentuk limas berundak-undak, dan lantai yang ditinggikan membentuk kolong. SejarahKeberadaan surau ini berkaitan dengan figur Syekh Abdurraham atau Syekh Bintungan Tinggi.[1] Usai mendalami agama di Ulakan, Abdurahman mendirikan surau di Nagari Padang Bintungan pada 1864. Bangunannya pertama kali didirikan dalam bentuk yang sederhana. Pada 1908, dibangunlah surau baru yang lebih besar dari surau pertama. Pengerjaannya dipimpin oleh Tuanku Khatib Koto Baru. Bangunan baru mendapat pengaruh arsitektur Minangkabau, seperti bentuk atap gonjong dan penggunaan ragam hias aka cino saganggang.[2] Di bawah kepemimpinan Abdurraham, surau ini ramai dikunjungi oleh penuntut ilmu yang berasal dari berbagai daerah Minangkabau hingga luar daerah di Sumatra.[2] Peneliti UIN Imam Bonjol Padang Yulfira Riza menyebutkan, setidaknya terdapat seribu orang murid atau disebut "pakih" yang pernah belajar di Surau Bintungan Tinggi.[2] Mereka mendirikan semacam surau kecil di sekitar kawasan surau sebagai tempat berdiam, dengan jumlah mencapai 15 surau kecil.[1] Pada 2004, Surau Bintungan Tinggi dipugar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. Keberadaanya telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Indonesia.[2] KonstruksiSurau Bintungan Tinggi memiliki denah bujur sangkar berukuran 11 x 11 m. Komponen bangunan terbuat dari kayu, sedangkan atap bangunan terbuat dari ijuk. Letak bangunan ditinggikan 1,2 m dari permukaan tanah, membentuk kolong.[3] Di dalam ruang salat, terdapat tiang utama atau disebut tonggak macu berbentuk segi delapan berhiaskan motif sulur-suluran. Tonggak macu berdiameter 55 cm dikelilingi sembilan tiang penyangga berdiameter 25 cm. Berdasarkan temuan BPCB Sumbar, tujuh tiang penyangga masih asli, sedangkan sisanya sudah diganti dengan yang baru. Antara tonggak macu dengan tiang penyangga saling terhubung dengan sistem pasak.[4] Pada bagian mihrab, terdapat empat tiang penyangga dengan satu tiang utama. Keseluruhan tiang ini tidak dipaku, melainkan disangga oleh pasak yang berbentuk mata angin. Di bagian depan mihrab, terdapat sebuah kamar yang dipergunakan sebagai gudang tempat menyimpan naskah (kitab-kitab kuning) peninggalan dari Syekh Abdurrahman.[3] Pintu masuk berada di sisi timur sebanyak dua buah. Berdasarkan temuan BPCB Sumbar, engsel-engsel pintu masih asli. Untuk masuk ke ruang utama terdapat tangga naik dari bata berplester yang berspesi kapur.[3] Di sisi selatan dari pintu masuk terdapat sebuah bedug, sampai sekarang bedug ini masih di tabuh ketika memanggil warga masyarakat untuk berkumpul wirid.[5] NaskahMenurut penelitian filolog Universitas Andalas M. Yusuf, terdapat 36 naskah kuno di surau ini. Sebagian besar naskah berbahasa Arab dan sebagian lainnya berbahasa Melayu dalam aksara Arab. Naskah tersebut berisi tentang ilmu-ilmu keislaman, seperti Alquran, tafsir, fikih, nahwu, sharaf, dan kisah-kisah.[4] Naskah-naskah di surau ini telah didigitalisasi oleh British Library dengan total lebih 6.000 halaman.[6] MakamSyekh Abdurrahman meninggal pada 1923 dan dimakamkan di bangunan gobah (cungkup makam) yang terdapat di sebelah barat surau. Bangunan asli dari gobah sudah hancur akibat gempa tahun 2009. Makam ini ramai diziarahi, terutama pada saat tradisi basapa.[2][5] Gobah di Surau Bintungan Tinggi berdenah bujur sangkar berukuran 9 x 9 mdan ruang utama berukuran 5 x 5 m. Pintu masuk berada di sisi selatan. Lantai makam ditinggikan 1 m dari permukaan tanah. Selain makam Syekh Abdurrahman, terdapat beberapa makam murid Syekh Abdurrahman di dalam gobah. Makam Syekh Bintungan Tinggi terdiri dari jirat dan nisan. Jirat makam berbahan mortar dengan denah persegi panjang berukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m, dan tinggi 60 cm. Sementara itu, makam lain hanya bernisan saja dan tidak ada yang berjirat.[3] Referensi
|