Staphylococcus aureus
Infeksi S. aureus diasosiasikan dengan beberapa kondisi patologi, di antaranya bisul, jerawat, pneumonia, meningitis, dan arthritits.[1] Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini memproduksi nanah, oleh karena itu bakteri ini disebut piogenik.[1] S. aureus juga menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengonversi H2O2 menjadi H2O dan O2, dan koagulase, enzim yang menyebabkan fibrin berkoagulasi dan menggumpal.[1] Koagulase diasosiasikan dengan patogenitas karena penggumpalan fibrin yang disebabkan oleh enzim ini terakumulasi di sekitar bakteri sehingga agen pelindung inang kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat.[1] MikrobiologiS. aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas, dan dapat hidup pada konsentrasi NaCl sekitar 3 Molar.[3] Habitat alami S aureus pada manusia adalah di daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun normal, S. aureus tidak bersifat patogen (mikroflora normal manusia).[3] Karakteristik S. aureus
S. aureus merupakan sel yang berbentuk bulat dengan ukuran diameter 0,7–1,2 mikrometer, tersusun dalam koloni yang tidak teratur (pada biakan sering terlihat kokus yang tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai), S, aureus dapat tumbuh pada keadaan aerob sampai anaerob fakultatif, namun pertumbuhan yang terbaik pada kondisi aerob. Pertumbuhan optimal S. aureus terjadi pada suhu 35°C–40°C dan paling cepat pada suhu 37°C, dengan pH optimal 7,0–7,5. S. aureus dapat memfermentasi karbohidrat antara lain : glukosa, dekstrosa, mannitol, sukrosa, dan laktosa serta dapat menghasilkan asam tetapi tidak menghasilkan gas. S.aureus menghasilkan enzim koagulase dan enzim katalase yang bersifat hemolitik, mereduksi nitrat menjadi nitrit. S. aureus relative resistan terhadap pengeringan, panas (S. aureus tahan pada suhu 50°C selama 30 menit) dan NaCl 7–8%. S. aureus juga menghasilkan enterotoksin yang dalam jumlah tertentu akan meracuni tubuh dan menyebabkan gastroenteteritis atau radang mukosa usus.. Menurut Spicer (2000) S. aureus mempunyai 4 karakteristik khusus, yaitu faktor virulensi yang menyebabkan penyakit berat pada normal hast, faktor diferensiasi yang menyebabkan penyakit yang berbeda pada sisi atau tempat berbeda, faktor persisten bakteri pada lingkungan dan manusia yang membawa gejala karier, dan faktor resistensi terhadap berbagai antibiotik yang sebelumnya masih efektif. Quorum SensingS. aureus memiliki kemampuan Quorum sensing menggunakan sinyal oligopeptida untuk memproduksi toksin dan faktor virulensi .[3] Patogenisitas S. aureus
Menurut Warsa (1994) dalam Sri Agung. F.K. (2009), sebagian bakteri Staphylococcus merupakan flora normal pada kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia. Selain itu, bakteri ini juga ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. S. aureus yang patogen bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, membentuk koagulase, dan mampu meragikan mannitol. Menurut Sri Agung. F.K. (2009). Infeksi yang disebabkan oleh S.aureus ditandai dengan kerusakan jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang disebabkan oleh S.aureus di antaranya adalah bisul, jerawat, impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat di antaranya pneumonia, mastitis, phlebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomyelitis, dan endocarditis. S. aureus juga merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan makanan, dan sindrom syok toksik (Ryan, et. al., 1994; Warsa, 1994). Keracunan makanan yang disebabkan oleh kontaminasi enterotoksin dari S. aureus, waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan adalah 1,0 µg/gr makanan (Sri Agung. F.K. (2009). Gejala keracunan ditandai dengan mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Ryan, et. al., 1994; Jawetz, et. al., 1995). S. aureus akan sangat bergantung pada kepekaan setiap individu terhadap toksin, jumlah makanan tercemar yang dikonsumsi dan status kesehatan individu tersebut. Pada umumnya makanan dapat tercemar dibawah suhu 4°C. Gejala yang paling umum akibat keracunan enterotoksin adalah mual, muntah, kram pada perut (abdomen), dan diare. Pada tingkatan yang lebih parah terjadi sakit kepala, kram otot, peningkatan denyut nadi, perubahan tekanan darah, dan kadang-kadang sampai pingsan. Cara untuk mengatasinya dapat dilakukan dengan mengganti cairan, garam, dan mineral yang hilang akibat diare dan muntah (Todar, 2005). Faktor Virulensi S. aureus
S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin, contohnya: KatalaseKatalase merupakan enzim yang berperan pada daya tahan bakteri terhadap proses fagositosis. Tes adanya aktivitas katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari Streptococcus (Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995). KoagulaseKoagulase merupakan protein ekstraseluler yang dihasilkan oleh S. aureus yang dapat menggumpalkan plasma dengan bantuan faktor yang terdapat dalam serum (Fajar. B.L dan Siti Isrina. O. S, 2015). Esterase yang dihasilkan dapat meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis (Warsa, 1994). Staphylococcus aureus mempunyai dua macam koagulase, yaitu (Sari Wijayanti, 2009) : 1) Koagulase terikat atau faktor penjendalan yang terikat pada dinding sel bakteri. Bila suspensi bakteri dicampur dengan plasma maka enzim tersebut dapat mengumpulkan fibrin yang ada di dalam plasma membentuk deposit pada permukaan selnya. Kemampuan ini diduga untuk menghindarkan sel dari serangan sel fagosit hospes. Koagulase ini dapat dideteksi dengan slide test. Tes ini dilakukan untuk uji cepat atau screening. 2) Koagulase bebas merupakan enzim ekstraseluler yang juga dapat menjendalkan fibrin. Koagulase ini dapat dideteksi dengan uji tabung yang memberikan hasil lebih baik daripada slide test (Anonim, 2006). HemolisinHemolisin merupakan toksin yang dapat membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S. aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisin, dan delta hemolisin. Alfa hemolisin merupakan toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium darah, toksin ini dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin yaitu toksin yang terutama dihasilkan Staphylococcus yang diisolasi dari hewan, yang menyebabkan lisis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin merupakan toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994). LeukosidinToksin ini dapat mematikan sel darah putih pada beberapa hewan. Tetapi perannya dalam patogenesis pada manusia tidak jelas, karena Staphylococcus patogen tidak dapat mematikan sel-sel darah putih manusia dan dapat difagositosis (Jawetz et. al., 1995). Toksin EksfoliatifToksin eksfoliatif mempunyai proteolitik dan dapat melarutkan matriks mukopolisakarida epidermis, sehingga menyebabkan pemisahan intraepithelial pada ikatan sel di stratum granulosum. Toksin eksfoliatif merupakan penyabab Staphylococcal Scalded Skin Syndrome, yang ditandai melepuhnya kulit (Warsa, 1994). Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST)Sebagian besar galur S. aureus yang diisolasi dari penderita sindrom syok toksik menghasilkan eksotoksin pirogenik. Pada manusia, toksin ini dapat menyebabkan demam, syok, ruam kulit, dan gangguan multisistem organ dalam tubuh (Ryan, et al., 1994; Jawetz et al., 1995). EnterotoksinEnterotoksin merupakan enzim yang tahan terhadap panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan di dalam usus. Enzim ini merupakan penyebab utama dalam keracunan makanan yang mengandung karbohidrat dan protein (Jawetz et al., 1995). ResistensiResisten penisilinHampir semua isolat S. aureus resisten terhadap penisilin G.[2] Hal ini disebabkan oleh keberadaan enzim β-laktamase yang dapat merusak struktur β-laktam pada penisilin.[2] Untuk mengatasi hal ini, dapat digunakan penisilin yang bersifat resisten β-laktamase, contohnya nafcillin atau oksasilin.[2] Resisten Metisilin (Methicillin-resistant S. aureus/MRSA)Sebagian isolat S. aureus resisten terhadap methisilin karena adanya modifikasi protein pengikat penisilin.[2] Protein ini mengodekan peptidoglikan transpeptidase baru yang mempunyai afinitas rendah terhadap antibiotic β-laktam, sehingga terapi β-laktam tidak responsif.[2] Salah satu contoh antibiotik yang digunakan terhadap MRSA adalah vankomisin[5] KontrolTidak ada vaksin yang efektif terhadap S. aureus.[2] Kontrol infeksi lebih ditujukan pada tindakan menjaga kebersihan, contohnya mencuci tangan.[2] Referensi
Lihat pulaWikimedia Commons memiliki media mengenai Staphylococcus aureus. Wikispecies mempunyai informasi mengenai Staphylococcus aureus. |