Sosiologi waktu luang adalah bidang yang mempelajari tindakan manusia dalam mengatur waktu luangnya. Waktu luang meliputi beragam aktivitas, seperti berolahraga, berwisata, dan bermain permainan. Bidang ini sangat terkait dengan sosiologi industrial atau sosiologi kerja. Namun, studi terbaru tak lagi membahas hubungan kedua bidang ini dan justru berfokus menyoroti keterkaitan antara waktu luang dan budaya.
Studi tentang waktu luang menyatakan bahwa pola perilaku saat mengisi waktu senggang tidak dapat hanya didasarkan oleh variabel sosial ekonomi, seperti: usia, pendapatan, pekerjaan atau pendidikan. Pemilihan jenis kegiatan rekreasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks, misalnya: ada atau tidaknya keluarga, keyakinan agama, dan nilai budaya yang dianut.
Definisi dan masalah teoretis
John Wilson dan rekan-rekannya mengatakan bahwa sulit untuk mendefinisikan waktu luang.[1][2] Definisinya begitu beragam dan seringkali bertentangan satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, waktu luang dapat dianggap sebagai bagian waktu yang berbeda atau sebagai sebuah pengalaman berkualitas terlepas dari waktu.[2] Joffre Dumazedier kemudian membedakan waktu luang menjadi empat definisi, dimulai dari cakupan terluas hingga tersempit.[2] Definisi pertama memandang bahwa waktu luang bisa dijumpai bahkan di tempat kerja sekalipun. Definisi kedua memandang waktu luang sebagai aktivitas nonkerja. Definisi ketiga mendefinisikannya sebagai suatu kegiatan yang terlepas dari kewajiban keluarga dan pekerjaan rumah tangga. Sedangkan, definisi keempat dengan cakupan tersempit mendefinisikan waktu luang sebagai sebuah aktivitas yang didedikasikan untuk pemenuhan diri. Sayangnya, empat definisi Dumazedier dianggap kurang lengkap.[2] Hal ini terkait bahwa ketidaksesuaian antara definisi dan tolok ukur yang menyebabkan pertentangan dengan hasil penelitian.[2]
Definisi pekerjaan belum tergambarkan secara jelas. Terutama jika seseorang menjalani pekerjaan yang tidak dibayar, seperti sukarelawan atau menempuh pendidikan.[1] Sementara itu, "waktu nonkerja" tidak bisa disamakan dengan "waktu luang". Hal ini disebabkan karena "waktu nonkerja" meliputi waktu yang tidak hanya didedikasikan untuk bersantai, tetapi juga untuk kewajiban tertentu seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga.[3] Membagi aktivitas ke waktu luang dan waktu kerja tidaklah mudah. Misalnya, menyikat gigi bukanlah pekerjaan ataupun waktu luang. Cendekiawan mendefinisikan secara berbeda aktivitas seperti makan, berbelanja, memperbaiki mobil, menghadiri upacara keagamaan, atau mandi (masing-masing individu memiliki persepsi berbeda dalam mengklasifikasikan aktivitas tersebut sebagai waktu luang).[3] Sementara itu, hubungan antara pekerjaan dan waktu luang juga tidaklah jelas. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa individu memperoleh keterampilan di tempat kerja yang berguna untuk hobi mereka dan begitupun sebaliknya. Sedangkan, beberapa individu juga terbukti memanfaatkan waktu luangnya untuk mengembangkan karier kerja mereka.[3] Dalam hal ini, sosiolog tidak pula setuju bila aktivitas politik atau spiritual dimasukkan ke dalam proyek penelitian "waktu luang".[2] Sementara itu, hal yang unik ditunjukkan oleh beberapa komunitas pekerjaan seperti petugas polisi atau penambang, di mana individu dan rekan kerjanya dapat menghabiskan waktu luang bersama.[3]
Terlepas dari definisi waktu luang, ada pertanyaan lain yang disorot ketika membicarakan sosiologi waktu luang. Misalnya ketika menghitung jumlah waktu tertentu yang dihabiskan untuk waktu luang. Satu jam bisa jadi memiliki nilai yang berbeda dan tergantung durasi waktu kejadiannya (dalam sehari, seminggu, atau setahun).[3] Seperti halnya beragam penelitian lain dalam ilmu sosial, studi sosiologi waktu luang terganjal oleh minimnya data relevan pada studi longitudinal komparatif. Hal ini terjadi karena minim atau bahkan tidak adanya data yang terstandar tentang waktu luang dalam rentang historis manusia.[2] Selama beberapa dekade terakhir, studi longitudinal yang awalnya minim telah berangsur-angsur meningkat dengan adanya survei rutin nasional seperti General Household Survey di Inggris sejak tahun 1971.[1] Selain survei, saat ini semakin banyak penelitian yang berfokus pada metode penelitian kualitatif (wawancara).[1]
Sejarah
Sosiologi waktu luang merupakan subbidang teranyar dari ilmu sosiologi dibandingkan dengan sosiologi industrial (disebut juga sociology of work), sosiologi keluarga, atau sosiologi pendidikan. Perkembangan topik ini terjadi selama paruh kedua abad ke-20.[a][2][4] Saat itu, "waktu luang" seringkali dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting dan aspek minor di masyarakat.[2] Namun, saat ini topik tersebut telah diakui sebagai pranata utama dan layak untuk dieksplorasi secara sosiologis, terutama di masyarakat Barat.[5]
Pembahasan awal mengenai "waktu luang" salah satunya dicetuskan oleh Karl Marx melalui teori 'alam kebebasan' (Inggris: realm of freedom). Dalam teorinya tersebut, Karl Marx mengkritisi kapitalisme dan memandang bahwa struktur modal sebagai sebuah konflik dengan orang-orang yang benar-benar mendapatkan waktu luang.[6] Menurutnya, basis waktu luang sangat berkaitan dengan ekonomi dan politik. Berbeda dengan pendekatan yang lebih sosialis yang memandang waktu luang sebagai sebuah alasan untuk tidak produktif dan sebagai suatu hal yang tak layak didapatkan. Teori ini tak melarang penggunaan waktu luang, tetapi lebih kepada waktu luang tersebut perlu diatur sehingga tidak akan menghalangi pertumbuhan ekonomi.[6] Oleh sebab itulah, teori-teori Marx menjadi landasan struktur masyarakat hingga saat ini, di mana teorinya dianggap tetap relevan seiring berkembangnya zaman. Kritik Marx terhadap kapitalisme berakar pada eksploitasi pekerja. Dalam hal ini, perang antar kelas berlaku sebagai konflik melawan pekerja. Sebagai konsep baru, gambaran Marx and Engels Reader yang memuat tulisan dan teori Marxisme, 'alam kebebasan' dan 'alam kebutuhan' (Inggris: realm of necessity) banyak dielaborasi. Alam kebebasan didefinisikan sebagai "waktu luang" sejati yang mencakup aktivitas terkait keinginan dan kesenangan dalam melakukannya. Sedangkan, alam kebutuhan meliputi bertahan hidup, bekerja, makan, dan tidur.[6]
Seiring bergulirnya waktu, fokus studi "waktu luang" beralih dari relasi kerja-waktu luang menjadi relasi antara waktu luang dan budaya.[4] Marshall Gordon menilai bahwa terdapat dua pendekatan dalam penelitian terkait waktu luang, yakni formal dan historis-teoretis.[5] Pendekatan formal mengacu pada pertanyaan empiris, seperti peralihan pola "waktu luang" selama siklus hidup individu, hubungan antara waktu luang dan pekerjaan, dan bentuk-bentuk waktu luang tertentu (misal: sosiologi olahraga).[4] Sedangkan, pendekatan historis-teoretis berfokus pada relasi antara waktu luang dan perubahan sosial yang kerap berangkat dari perspektif struktural-fungsional dan neo-Marxisme.[4] Sheila Scraton memberikan analisis yang berbeda melalui perbandingan studi Amerika Utara dan Inggris.[1] Ia menyatakan bahwa pendekatan Inggris lebih menyoroti aspek pluralisme, Marxisme kritis, dan feminisme; sementara pendekatan Amerika berfokus pada tradisi sosial-psikologis.[1] Rhona dan Robert Rapoport mempelajari keseimbangan kehidupan kerja (worklife balance) dan ketidaksetaraannya di banyak negara. Mereka menulis banyak buku yang menyoroti bidang ini dan membantu memengaruhi kebijakan maupun undang-undang yang dapat merubah praktik kerja dalam kehidupan sehari-hari.[7]
Temuan
Banyak sosiolog beranggapan bahwa tipe aktivitas untuk mengisi waktu luang mudah dijabarkan oleh variabel sosial ekonomi, seperti pendapatan, pekerjaan atau pendidikan.[3][8] Hasil penelitan menunjukkan bahwa variabel tersebut tak serta merta menentukan aktivitas di waktu luang seseorang. Pendapatan dikaitkan dengan total uang yang dihabiskan untuk kegiatan tersebut, tetapi sebaliknya orang-orang memilih kegiatan rekreasi yang terjangkau.[3] Pekerjaan juga memiliki efek yang sama mengingat peran pekerjaan yang sangat memengaruhi pendapatan seseorang. Misalnya, keanggotaan dalam pekerjaan bergengsi berkolerasi erat dengan kegiatan yang memakan biaya tinggi, seperti golf atau berlayar. Sedangkan, pendidikan berkorelasi erat dengan berbagai aktivitas di waktu luang untuk pemenuhan diri.[3] Seperti yang dikatakan Kelly, "Memprediksi perilaku seseorang di waktu luang berdasarkan posisi sosial ekonominya sangatlah tidak mungkin."[9]
Sebaliknya, jenis aktivitas waktu luang sangat dipengaruhi oleh kondisi terkini individu, seperti ada atau tidaknya keluarga, adanya fasilitas rekreasi di dekat loksainya, dan usia.[3] Pengaruh keluarga di masa lampau akan cenderung memengaruhi intensi individu untuk dapat berwisata sosial.[3] Jenis aktivitas di waktu luang juga tergantung pada lokasi terkini individu dalam siklus hidupnya.[3]
Dalam konteks keluarga, waktu luang telah diteliti untuk menilai pengaruh aktivitas bekerja di akhir pekan terhadap keluarga. Hasil menunjukkan bahwa keluarga dengan orang tua yang bekerja di akhir pekan memberi dampak negatif terhadap keluarganya, khususnya pada anak-anak. Diketahu bahwa orang tua yang harus bekerja di akhir pekan memiliki taraf pendidikan yang rendah dan berpenghasilan rendah. Hal ini kemudian dapat berdampak pada lingkup keluarga maupun masyarakat.[10]
Pada akhir tahun 1970-an, John Robinson menemukan aspek spesifik dalam studi waktu luang Amerika. Robinson menemukan bahwa rata-rata orang Amerika memiliki 4 jam waktu luang setiap hari kerja dan lebih banyak lagi di akhir pekan (6 jam di hari Sabtu dan hampir 8 jam di hari Minggu).[11] Menurut Robinson, jumlah waktu luang akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia, pekerjaan, pernikahan, dan jumlah anak.[3] Namun, jumlah waktu luang ini tidak secara signifikan tergantung pada kekayaan individu.[3] Ia berpendapat bahwa orang-orang mungkin hanya menginginkan sedikit waktu luang dalam rangka mencapai kebebasan ekonomi di masa depan atau mungkin karena pekerjaan orang tersebut adalah minat utamanya.[3] Sepanjang paruh kedua abad ke-20, menonton televisi menjadi aktivitas populer dalam mengisi waktu luang. Pada awal 1970-an, rata-rata orang Amerika memiliki 4 jam waktu luang per hari dan menghabiskan 1,5 jam untuk menonton televisi.[12] Selain itu, menghabiskan waktu luang bersama terbukti meningkatkan kepuasan pernikahan.[3]
Secara umum, aktivitas di waktu luang dalam proporsi yang tepat cenderung memberikan dampak positif. Misalnya, pergi ke bioskop baik sendiri ataupun bersama teman dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.[13]
Gaji, kerja, dan liburan
Individu membuat kompromi antara gaji, pekerjaan dan waktu luang. Namun, waktu dan skala kompromi tersebut bervariasi tergantung dengan jenis pekerjaan dan pendapatan individu yang bersangkutan. Kompromi itu juga bervariasi dari waktu ke waktu dan dari masyarakat ke masyarakat. Dalam lingkup masyarakat, kenaikan gaji berarti akan meningkatkan jam kerja buruh laki-laki, tetapi mengurangi jam kerja perempuan kelas menengah (ibu rumah tangga) dengan suami dalam pekerjaan penuh waktu yang dibayar dengan baik (setimpal).[14][15]
Catatan kaki
^Ada beberapa studi sosiologis tentang waktu luang sebelum paruh kedua abad ke-20. Salah satu yang paling awal dan paling terkenal adalah "The Theory of the Leisure Class" karya Thorstein Veblen (1899).
^ abcdScott, John; Marshall, Gordon (2009). A Dictionary of Sociology (dalam bahasa Inggris). Oxford: Oxford University Press. hlm. 2–19. ISBN978-0-19-953300-8.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)