Letnan JenderalTNI (Purn.) Solihin Gautama Purwanegara (21 Juli 1926 – 5 Maret 2024) adalah mantan perwira Tentara Nasional Indonesia dan politikus Indonesia yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat dari 1970 sampai 1975. Ia mengawali karier militer ketika masa revolusi sebagai Komandan Tentara Keamanan RakyatKabupaten Bogor, kemudian bergabung dengan Divisi Siliwangi.[2] Solihin terkenal dengan gagasannya dalam mengatasi krisis pangan di Indramayu dengan memasyarakatkan padi yang disebut sebagai gogo rancah. Ia tetap aktif dalam politik setelah menjabat sebagai gubernur, menjabat sebagai penasihat Presiden Soeharto hingga tahun 1993. Ia juga sempat bergabung dengan PDI-P setelah jatuhnya Soeharto, dan terlibat dalam kampanye presiden Joko Widodo.
Setelah melanjutkan studi, ia kembali ke Siliwangi dan bertugas di sana hingga tahun 1964. Ia kemudian pindah ke Komando Daerah Militer XIV/Hasanuddin di Sulawesi Selatan, ikut serta dalam operasi melawan Darul Islam cabang Abdul Kahar Muzakkar. Ia menjadi panglima Hasanuddin pada tahun 1965. Dalam sebuah anekdot yang diberikan dalam biografi pendahulunya M. Jusuf, Solihin sedang tertidur di sebuah upacara ketika Jusuf tiba-tiba menunjuk Solihin sebagai penggantinya, dan ajudan Solihin harus membangunkannya untuk memberitahukan pengumuman tersebut.[4][8] Ia kemudian diangkat menjadi gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI Bagian Umum dan Darat) pada 15 Juli 1968.[9] Pangkat terakhirnya di militer adalah letnan jenderal.[8]
Solihin hendak sowan ke Letjen KKO Ali Sadikin di Jakarta. Sebagai Gubernur Jawa Barat yang baru, Solihin merasa perlu berkonsultasi dengan Ali Sadikin, tentang bagaimana membangun wilayah. Saat Solihin menjadi Gubernur Jawa Barat pada 1970, Ali Sadikin sudah empat tahun memimpin Jakarta. Prestasi-prestasi Ali Sadikin membangun Jakarta itulah yang membuat Solihin merasa perlu berkonsultasi dengan gubernur ibu kota negara itu.
Pada saat berbincang-bincang itu Solihin merasa dilecehkan. Dalam 'Cendramata 80 Tahun Solihin GP' diceritakan, Solihin GP tersinggung karena Ali Sadikin ingin 'mengambil' wilayah perbatasan yang menurutnya tidak bisa diurus oleh Jawa Barat. "Jawa Barat tidak bisa melakukan pembangunan, sedangkan saya didesak oleh masyarakat agar memperluas daerah perbatasan antara DKI Jakarta dan Jawa Barat. Untuk itu, agar diikhlaskan saja saya membangun daerah perbatasan itu. Apalagi kan kita sama-sama dilahirkan di Jawa Barat," kata Ali Sadikin sambil menunjuk peta Kabupaten Bekasi, Tangerang dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor.
Sebagai Gubernur Jawa Barat
Solihin dilantik sebagai gubernur Jawa Barat pada tahun 1970. Wakilnya adalah Nasuhi yang pernah menjadi atasan langsungnya di angkatan bersenjata selama revolusi – Nasuhi adalah komandan batalion dan Solihin adalah komandan kompi di batalion tersebut.[12] Menurut pengakuan Solihin, tak lama kemudian ia diundang ke Jakarta oleh Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Ali Sadikin. Dalam kunjungan Solihin ke sana, Ali mencatat betapa tertinggalnya wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jakarta, dan menyatakan bahwa provinsi tersebut harus menyerahkan wilayah perbatasannya ke Jakarta agar bisa lebih berkembang. Solihin mencatat bahwa ia tersinggung dengan hal ini, dan dengan demikian memusatkan perhatiannya pada daerah-daerah tersebut – khususnya Tangerang, Bekasi dan Puncak yang masing-masing sedang dikembangkan untuk industri tekstil, semen, dan pariwisata.[13] Di saat panen padi buruk di Kabupaten Indramayu, Solihin memimpin upaya untuk memperkenalkan metode tanam baru yang mengurangi kebutuhan air para petani.[14][15]
Berbeda dengan praktik standar pemerintahan di Indonesia pada saat itu yang secara langsung memilih pejabat eksekutif berpangkat lebih rendah, Solihin memberikan kelonggaran yang signifikan bagi daerah dalam memilih bupati selama masa jabatannya, selain memberikan kontrol yang lebih besar kepada pemerintah daerah atas pendapatan pajak. Dia juga memprivatisasi perusahaan dan aset publik yang merugi, seperti lahan pertanian yang tidak ditanami.[16] Karena perbedaan pendapat mengenai kebijakan tersebut dengan Menteri Dalam NegeriAmir Machmud, Solihin tidak melanjutkan masa jabatannya untuk kedua kalinya, dan masa jabatan gubernurnya berakhir pada tahun 1975.[17]
Penyerahan mesin Huller untuk mantan pejuang pembantu logistik
Presiden Soeharto menyerahkan mesin Huller (penggiling padi) kepada Hudori dari desa Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Hudori adalah bekas pejuang pembantu logistik yang memberikan makanan kepada pasukan yang dipimpin oleh Gubernur Solihin dan Pangdam Siliwangi, Mayjen. A.J. Witono, dalam perang kemerdekaan.
Hudori kini menjadi petani, dan ketika ditemui Presiden dalam kunjungan incognito-nya beberapa waktu lalu, keadaannya sangat menyedihkan. Penyerahan dilakukan melalui Gubernur Jawa Barat, Solichin GP, di Bina Graha hari Rabu, 6 Mei 1970, Sementara itu sebuah “padi traktor” akan diserahkan kepada desa Karang Luas Lor, KabupatenBanyumas, Jawa Tengah melalui Residen Banyumas.
[18]
Kisah petani Jawa Barat tidak mengenal Presiden Soeharto
Presiden Soeharto memulai kunjungan incognito[19] ke Jawa Barat dan Jawa Tengah tanggal 06 April 1970. Kunjungan yang diadakan bertepatan dengan awal pelaksanaan tahun kedua Pelita I ini, merupakan inspeksi langsung Presiden Soeharto di daerah pedesaan.
Tempat-tempat yang ditinjau adalah desa-desa Binong, Subang, Sindang, dan Kertasmaya, semuanya di Provinsi Jawa Barat. Di tempat-tempat tersebut Jenderal Soeharto berdialog dengan para petani, disamping melihat secara langsung pembangunan jalan, pengairan dan irigasi di pedesaan Jawa Barat itu. Satu hal yang perlu dicatat, tak satu pejabat pun di setiap tempat yang ia kunjungi, yang mengetahui kehadiran Pak Harto.
Entah dari mana informasinya, keesokan paginya ketika Pak Harto sedang berdialog dengan salah seorang petani, muncul Gubernur Jawa Barat Solihin G. P. Sesaat setelah berdialog, petani mempersilahkan rombongan Pak Harto untuk singgah di rumahnya. Setiba di rumah petani, Pak Solihin menanyakan, siapa yang sedang berbicara dengan dirinya itu? Petani menjawab, petugas pertanian. Pak Solihin kemudian menunjukkan gambar Presiden Soeharto yang kebetulan dipasang di dinding rumah petani. Dengan perasaan malu, kikuk dan salah tingkah, petani memohon maaf, karena tidak mengenali wajah Presiden Soeharto.
[20]
Tim Pemberantasan Korupsi dan Laporan BIMAS
Presiden Soeharto memanggil Gubernur Jawa Barat, Solihin G.P., untuk menghadap dan melaporkan masalah Bimas di daerahnya tanggal 18 Februari 1970. Solihin telah melaporkan kepada Presiden bahwa dari jumlah Rp. 5,8 miliar untuk kredit Bimas di Jawa Barat, telah dapat dikembalikan sebanyak Rp. 4,5 miliar. Sedangkan sisanya yang Rp. 1 miliar lebih itu masih diusut oleh pemerintah daerah Jawa Barat.
Dalam hubungan ini Presiden menginstruksikan agar para pejabat yang terlibat dalam penyalahgunaan uang bimas diajukan ke pengadilan. Keesokan harinya, tanggal 18 Februari 1970 Presiden Soeharto telah memutuskan untuk mempertemukan Team Pemberantasan Korupsi dengan Komisi Empat.
[21]
Ajak Soeharto mandi di Sungai
Solihin bercerita bahwa saat menjadi Gubernur Jawa Barat, ia pernah mengajak Presiden Soeharto mandi di sungai.[22] Suatu ketika, Presiden Soeharto mengadakan kunjungan bersama Solihin ke pemukiman suku Baduy. Solihin yang memang dikenal spontan, mengajak Soeharto untuk mandi di sungai. "Mandi di sungai?" Presiden terkejut, tapi senyum. "Iya dong kita mandi di sungai, Pak. Tidak ada tempat lain," kata Solihin.
Presiden Soeharto menuruti kemauan Solihin. Mereka kemudian turun dan mandi di sungai. Berjongkok, bermain air, bahkan hingga buang air di sungai itu. Semuanya tanpa pengawalan dan berlangsung aman-aman saja. Selesai mandi dan sarapan, presiden menonton pertunjukan debus yang memperlihatkan kekebalan orang Baduy.
Sayangnya, pada saat produksi minyak Indonesia sedang tinggi-tingginya kala itu menjadikan Indonesia surplus minyak, dan menyebabkan investasi luar negeri membaik. "Negara kita saat itu menjadi negara yang banyak uang. Lalu, ketika keuangan negara berlimpah, beliau (Soeharto) mulai berpikir apa yang beliau anggap tidak tepat. Yaitu seolah-olah segalanya bisa dicapai dengan uang," kata Solihin. Mulailah Solihin merasa memiliki perbedaan pendapat. Orang-orang yang punya uang bisa langsung menjadi tokoh, tanpa tahu dari mana uangnya. "Pahamlah saya bahwa kami sudah berbeda pola pikir. Saya yang pernah berpikir bahwa beliau adalah Presiden terbaik, seketika itu juga lalu merasa ia adalah the worst president in the world," tuturnya.
Karier selanjutnya
Setelah karier gubernurnya, Solihin sempat pensiun di kawasan pertanian pedesaan,[23] hingga ia diangkat menjadi Sekretaris Presiden Bidang Pengendalian Operasi Pembangunan pada tahun 1977.[24] Ia menjabat dalam kapasitas ini hingga tahun 1993, dan kemudian bergabung dengan Dewan Pertimbangan Agung dan menjadi komisaris utama di sebuah perusahaan patungan antara dua perusahaan milik negara.[25] Ia bergabung dengan PDI-P tak lama setelah jatuhnya Soeharto, dan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai utusan daerah, tetapi keluar dari PDI-P karena perbedaan pendapat mengenai amandemen Undang-Undang Dasar Indonesia.[26] Sebagai anggota MPR, ia juga menentang pembentukan komisi khusus untuk mengaudit kekayaan pribadi pejabat pemerintah karena dinilai tidak efektif dan hanya membuang-buang dana. Komisi sendiri melaporkan Solihin ke polisi karena penolakannya menyampaikan penilaian atas aset pribadinya.[27] Antara tahun 2000 dan 2004, Solihin juga berkampanye menentang proyek normalisasi tepian sungai Citanduy, bersama dengan menteri kemudian Susi Pudjiastuti.[28][29]
Solihin terus menerima kunjungan dari politisi terkenal setelah pensiun, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo sebelum kampanye presiden mereka pada tahun 2004 dan 2014.[30] Solihin secara terbuka mendukung keberhasilan Widodo sebagai presiden pada pemilihan umum 2014 dan 2019, dan menjadi penasihat tim kampanye Widodo pada 2019.[31][32] Untuk pemilihan umum presiden 2024, ia menjadi bagian tim kampanyeGanjar Pranowo.[33] Solihin menderita strok ringan pada tahun 2017 dan dirawat di rumah sakit, dan Widodo mengunjunginya.[34] Widodo mengunjunginya lagi pada tahun 2018.[35] Solihin semakin tertular COVID-19 pada tahun 2021, dan hoaks menyebar di media sosial yang melaporkan kematiannya.[36]
Masa tua
Terkena stroke
Solihin terbaring sakit dan dilarikan ke RS Advent, Bandung pada 4 Juni 2017.[37] Diagnosa dokter, beliau terkena serangan stroke. Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil menjenguk pria yang akrab disapa Mang Ihin pada 9 Juni 2017.
Kisah cinta dengan istri
Kisah cinta Solihin dengan istrinya, Maryam Harmain terbilang mirip dengan kisah cinta Habibie Ainun.[38] Hal ini dibuktikan saat mereka berdua dirawat di RS Borremus Bandung, mereka berdua tampak bermesraan dan Solihin juga tampak menggenggam tangan istri.
Wafat
Solihin meninggal dunia pada 5 Maret 2024 saat mendapat perawatan di Rumah Sakit Advent Bandung karena penyakit paru-paru dan ginjal. Dia berusia 97 tahun.[39][40][41] Solihin telah dirawat di rumah sakit selama 15 hari pada saat kematiannya.[42] Ia dimakamkan pada hari yang sama di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung, setelah dimakamkan secara kenegaraan di Markas Komando Daerah Militer III/Siliwangi di Bandung. Solihin meninggalkan seorang istri dan empat orang anaknya.[39]
^The Trouble Shooter: 80 Tahun Solihin G.P. Forum Diskusi Wartawan Bandung & Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda. 2006. hlm. 2–5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-02-28. Diakses tanggal 2024-03-05.