Seniman mulai membuat karya seni kecerdasan buatan pada pertengahan hingga akhir abad ke-20, ketika disiplin ini terbentuk. Pada awal abad ke-21, ketersediaan perangkat seni kecerdasan buatan mulai meningkat, memberikan kesempatan yang lebih luas di luar lingkungan akademis dan seniman profesional. Sepanjang sejarahnya, seni kecerdasan buatan telah menimbulkan sejumlah kekhawatiran, meliputi hak cipta, penipuan, dan dampaknya terhadap seniman yang lebih tradisional.
Sejarah awal
Kecerdasan buatan berdiri sebagai sebuah disiplin ilmu pada tahun 1956, dan pada dekade-dekade berikutnya telah mengalami berbagai gelombang optimisme.[2] Sejak awal berdiri, para peneliti di bidang kecerdasan buatan telah mempersoalkan argumen filsafat mengenai kodrat akal manusia dan konsekuensi etis dari pembuatan hal buatan yang disertai dengan kepintaran seperti manusia; Isu-isu ini sebelumnya telah ditelusuri dalam berbagai mitos, fiksi dan filsafat sejak zaman kuno.[3]
Peralatan dan proses
Gambar
Sejumlah mekanisme untuk membuat seni kecerdasan buatan telah dikembangkan, termasuk pembuatan prosedural dengan pola matematis, algoritma yang mensimulasikan sapuan kuas dan efek lukis lainnya, dan algoritma pembelajaran seperti jaringan adversarial generatif dan transformer.
Salah satu sistem seni kecerdasan buatan pertama adalah AARON, yang dikembangkan oleh Harold Cohen mulai pada akhir tahun 1960-an di Universitas California di San Diego.[4] AARON adalah salah satu contoh seni kecerdasan buatan yang paling terkenal di era pemrograman GOFAI dengan penggunaan aturan simbolis untuk menghasilkan gambar teknis.[5] Cohen mengembangkan AARON dengan tujuan agar dapat melakukan koding terhadap seni lukis. Dalam bentuk awalnya, AARON hanya dapat membuat gambar hitam-putih. Cohen lalu menyelesaikan gambar dengan mewarnainya. Kemudian, dia juga membuat sebuah langkah untuk AARON agar dapat mewarnai lukisan. Cohen merancang AARON untuk mewarnai dengan menggunakan pigmen dan kuas khusus yang dipilih oleh program itu sendiri tanpa adanya campur tangan dari Cohen.[6]
Jaringan adversarial generatif dirancang pada tahun 2014. Sistem ini menggunakan sebuah "generator" untuk membuat gambar baru dan sebuah "discriminator" untuk menentukan apa saja gambar yang dianggap sukses. DeepDream, yang dirilis oleh Google pada tahun 2015, menggunakan sebuah jaringan saraf konvolusional untuk mencari dan meningkatkan pola pada gambar melalui algoritmapareidolia, yang berakibat pada gambar dengan ciri khas tertentu. Setelah rilisnya DeepDream, sejumlah perusahaan merilis aplikasi yang mengubah foto menjadi gambar mirip lukisan dengan gaya berdasarkan kumpulan lukisan yang terkenal.[7][8]
Situs Artbreeder, yang diluncurkan pada tahun 2018, menggunakan model StyleGAN dan BigGAN[9][10] untuk memudahkan pengguna dalam membuat dan memodifikasi gambar seperti wajah, landskap, dan lukisan.[11]
Sejumlah program menggunakan model teks-ke-gambar untuk membuat berbagai variasi gambar berdasarkan perintah teks yang beragam. Diantaranya EleutherAI VQGAN-CLIP yang dirilis pada tahun 2021,[12]OpenAI DALL-E yang merilis sebuah seri gambar pada Januari 2021, Google Brain Imagen dan Parti yang diumumkan pada Mei 2022, Microsoft NUWA-Infinity,[13][14]Stable Diffusion yang dirilis pada Agustus 2022,[15][16] dan EleutherAI CLIP-Guided Diffusion yang dirilis pada Desember 2022.[17] Stability.ai mempunyai sebuah antarmuka Stable Diffusion yang disebut DreamStudio.[18] Stable Diffusion adalah perangkat lunak dengan sumber tersedia, yang mendukung pengembangan plugin untuk Krita, Photoshop, Blender, dan GIMP,[19] juga antarmuka berbasis web sumber terbuka Automatic1111.[20][21][22]
Dampak dan penerapan
Eksibisi "Thinking Machines: Art and Design in the Computer Age, 1959–1989" yang digelar di MoMA memperlihatkan ikhtisar tentang penerapan kecerdasan buatan untuk seni, arsitektur, dan desain. Eksibisi yang memperlihatkan penggunaan kecerdasan buatan untuk memproduksi karya seni adalah sebuah acara amal dan lelang di Yayasan Gray Area di San Francisco, dimana seniman bereksperimen dengan algoritma DeepDream dan eksibisi tahun 2017 berjudul "Unhuman: Art in the Age of AI", yang berlangsung di Los Angeles dan Frankfurt. Pada musim semi tahun 2018, Association for Computing Machinery mendedikasikan sebuah edisi majalah untuk subjek komputer dan seni. Pada Juni 2018, "Duet for Human and Machine", sebuah karya seni yang memperkenankan pengunjung untuk berinteraksi pada sebuah sistem kecerdasan buatan, tampil perdana di Beall Center for Art + Technology. Ars Electronica dan Museum Seni Terapan Wina membuka eksibisi tentang kecerdasan buatan pada tahun 2019.
Contoh augmentasi tersebut dapat mencakup misalnya pembuatan purwarupa yang sangat cepat, dan meningkatkan aksesibilitas pembuatan seni.[23]
Media sintetis, yang mencakup seni kecerdasan buatan, telah dianggap pada tahun 2022 sebagai tren berbasis teknologi utama yang akan memengaruhi dunia bisnis di tahun-tahun mendatang.[23]
Rekayasa dan berbagi perintah
Perintah untuk sejumlah model teks-ke-gambar juga dapat menyertakan gambar dan kata kunci dan parameter tertentu, seperti gaya artistik, umumnya menggunakan frasa kunci seperti "dengan gaya [nama seniman]" dalam perintah[24] dan/atau gaya seni/estetika yang lebih luas.[25][26] Ada sejumlah platform untuk berbagi, bertukar, menelusuri, menyempurnakan dan/atau berkolaborasi pada perintah untuk menghasilkan gambar tertentu dari penghasil gambar.[27][28][29][30] Perintah juga lazim dibagi beserta gambar di situs berbagi gambar seperti reddit dan situs khusus seni kecerdasan buatan. Sebuah perintah bukanlah masukan yang komplit untuk menghasilkan sebuah gambar, masukan yang lain juga menentukan seperti resolusi keluaran, benih acak, dan parameter sampling acak.[31]
Sintografi
'Sintografi' adalah sebuah istilah untuk menyebut kegiatan menghasilkan gambar yang mirip dengan foto menggunakan kecerdasan buatan[32], terutama dengan rekayasa perintah terhadap sebuah model teks-ke-gambar untuk membuat atau menyunting gambar.[33][34]
Sebuah gambar yang dihasilkan oleh sintografi disebut sintograf, dan orang yang melakukan kegiatan sintografi disebut sebagai sintografer.[35][36] Penggunaan sintografi meliputi foto produk, fotografi stok, dan sampul majalah.[37]
Pengembangan
Fungsi lebih lanjut yang berada dalam pengembangan dan mungkin dapat meningkatkan penerapan atau membuat sesuatu yang baru – seperti "Inversi Tekstual" yang merujuk pada penggunaan konsep yang disediakan pengguna (seperti obyek atau gaya tertentu) yang dipelajari dari gambar tertentu. Dengan inversi tekstual, seni yang memiliki keunikan pribadi dapat dihasilkan dari kata-kata yang berkaitan (kata kunci yang telah dipelajari, umumnya abstrak, konsep)[38][39] dan perluasan model/penyempurnaan model.
Analisa karya seni yang sudah ada menggunakan kecerdasan buatan
Selain untuk membuat karya seni orisinil, metode penelitian yang menggunakan kecerdasan buatan juga telah digunakan untuk melakukan analisa koleksi karya seni digital. Hal ini dimungkinkan dikarenakan gencarnya digitisasi karya seni berskala besar pada dekade-dekade lampau. Meskipun tujuan utama dari digitisasi adalah untuk memperluas keterjangkauan dan eksplorasi koleksi tersebut, penggunaan kecerdasan buatan untuk menganalisa koleksi juga telah membawa perspektif penelitian yang baru.[40]
Dua metode komputasional, membaca dekat dan memandang jauh, adalah pendekatan yang umum digunakan untuk menganalisa karya seni yang telah didigitasi. Tugas yang umum terkait dengan metode ini adalah klasifikasi otomatis, deteksi obyek, penugasan multimodal, penemuan pengetahuan pada sejarah seni, dan estetika komputasional.[40] Jika metode memandang jauh meliputi analisa koleksi besar, maka metode membaca dekat melibatkan satu buah karya seni.
Menurut Cetinic dan She (2022), menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisa koleksi seni yang sudah ada dapat memberikan perspektif segar mengenai perkembangan gaya artistik dan identifikasi pengaruh artistik. Studi dengan bantuan kecerdasan buatan mengenai karya seni yang sudah ada juga dapat membantu dalam pengorganisasian eksibisi seni dan mendukung proses pengambilan keputusan bagi kurator dan sejarawan seni.[41]
Perangkat lunak kecerdasan buatan dapat menghasilkan gambar baru yang mirip dengan sampel yang digunakan dalam pembelajaran secara otomatis. Manusia umumnya hanya perlu memasukan data dan memilih keluaran, kombinasi mekanisme kecerdasan buatan dan pembuatan karya seni manusia memungkinkan kecerdasan buatan untuk menghasilkan karya.[42]
Penjualan
Sebuah lelang karya seni kecerdasan buatan digelar di Christie's Auction House di New York pada tahun 2018, ketika karya seni kecerdasan buatan Edmond de Belamy terjual sebesar US$432,500, dimana ini 45 kali lipat lebih tinggi ketimbang estimasi di US$7,000–US$10,000. Karya seni ini dibuat oleh "Obvious", sebuah kelompok kolektif yang berbasis di Paris.
Isu dan kontroversi
Hak cipta
Sejak seniman pertama kali menggunakan kecerdasan buatan untuk membuat karya seni pada abad ke-20, penggunaan seni kecerdasan buatan telah menimbulkan sejumlah perdebatan. Pada dekade 2020-an, sejumlah perdebatan tersebut bersoal pada apakah seni kecerdasan buatan dapat dianggap sebagai sebuah seni atau tidak dan mengenai dampaknya terhadap seniman.[43][44][45]
Diskusi ini kembali mencuat pada tahun 2022, bersamaan dengan kemunculan layanan seni kecerdasan buatan yang dapat digunakan oleh khalayak umum. Isu ini berpusat pada penggunaan karya yang memiliki hak cipta sebagai bagian dari kumpulan data latih kecerdasan buatan. Menurut Kantor Hak Cipta Amerika Serikat, program yang dihasilkan sepenuhnya oleh kecerdasan buatan tidak dapat memegang hak cipta.[46][47][48]
Pada Januari 2023, tiga seniman: Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz mengajukan gugatan pelanggaran hak cipta terhadap Stability AI, Midjourney, dan DeviantArt, mengklaim bahwa perusahaan-perusahaan tersebut telah melanggar hak jutaan artis dengan melatih model kecerdasan buatan pada lima miliar gambar diambil dari web tanpa persetujuan dari seniman aslinya. Di bulan yang sama, Stability AI juga digugat oleh Getty Images karena menggunakan gambarnya dalam data pelatihan.
Pada Juli 2023, Hakim Distrik AS William Orrick menolak sebagian besar tuntutan hukum yang diajukan oleh Andersen, McKernan, dan Ortiz tetapi mengizinkan mereka mengajukan keluhan baru.
Hak cipta di Indonesia
Pada masa sekarang, undang-undang hak cipta di Indonesia belum memiliki pasal yang spesifik mengatur hak cipta terhadap karya seni kecerdasan buatan, UU No 28 tahun 2014 hanya menyebutkan bahwa seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama menghasilkan suatu ciptaan, dalam hal ini manusia. Menurut Dr Ir Lukas, dosen Teknik Elektro dari Universitas Atma Jaya dan ketua Komunitas AI Indonesia, hak cipta yang timbul adalah sepenuhnya milik manusia yang menciptakan mesin generatif seni kecerdasan buatan ataupun yang menghasilkan karya seni kecerdasan buatan tersebut, dikarenakan seni kecerdasan buatan dibuat atas perintah manusia.[49]
Referensi
^Epstein, Ziv; Hertzmann, Aaron; Akten, Memo; Farid, Hany; Fjeld, Jessica; Frank, Morgan R.; Groh, Matthew; Herman, Laura; Leach, Neil (2023). "Art and the science of generative AI". Science. 380 (6650): 1110–1111. doi:10.1126/science.adh4451.
^Simon, Joel. "About". Diarsipkan dari versi asli tanggal March 2, 2021. Diakses tanggal March 3, 2021.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Mohamad Diab, Julian Herrera, Musical Sleep, Bob Chernow, Coco Mao (2022-10-28). "Stable Diffusion Prompt Book"(PDF). Diakses tanggal 2023-08-07.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^A bot will complete this citation soon. Click here to jump the queue"An Image is Worth One Word: Personalizing Text-to-Image Generation using Textual Inversion". MISSING LINK. .
^ abCetinic, Eva; She, James (2022-02-16). "Understanding and Creating Art with AI: Review and Outlook". ACM Transactions on Multimedia Computing, Communications, and Applications. 18 (2): 66:1–66:22. arXiv:2102.09109. doi:10.1145/3475799. ISSN1551-6857.Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":12" didefinisikan berulang dengan isi berbeda