Seminari Menengah Petrus Canisius Mertoyudan atau akrab disebut Seminari Mertoyudan adalah suatu Seminari Menengah atau tempat pendidikan untuk para calon imam/pastor yang masih belajar pada tingkat SMA. Terletak di Mertoyudan, di pinggir jalan raya Magelang-Yogyakarta.
Sejarah
Kursus pendidikan calon imam di Kolese Xaverius Muntilan (1911-1925)
Berdirinya Seminari Menengah Mertoyudan berawal dari keinginan dua orang pemuda Jawa lulusan Kweekschool, Muntilan pada tahun 1911 untuk menjadi imam, yakni Petrus Darmaseputra dan Fransiskus Xaverius Satiman. Pada November 1911, mereka menghadap Romo Van Lith, SJ dan Romo Mertens, SJ memohon agar diperkenankan belajar menyiapkan diri menjadi imam. Niat kedua pemuda ini, sejalan dengan adanya kebutuhan akan imam bumi-putera di Indonesia, memicu munculnya gagasan untuk menyelenggarakan suatu lembaga pendidikan bagi para calon imam. Proses perizinan dari Tahta SuciVatikan pun diurus. Pada tanggal 30 Mei 1912, izin resmi dari Vatikan didapatkan untuk memulai lembaga pendidikan calon imam di Indonesia. Lembaga pendidikan Seminari Menengah yang diselenggarakan ini merupakan yang pertama di Indonesia. Pendidikan tersebut pada mulanya dilaksanakan sebagai kursus bagi para lulusan sekolah guru dan diselenggarakan di Kolese Xaverius, Muntilan. Selain kedua pemuda pemula itu, pada tahun 1913 bergabung satu orang lagi, dan selanjutnya pada tahun 1914 dua murid tambahan. Namun karena sistem dan pelaksana pendidikan calon imam di Muntilan saat itu belum memadai, para seminaris dari Muntilan atas suatu kerjasama kemudian dititipkan ke Uden, Belanda.
Antara tahun 1916-1920, 10 siswa seminari dari Muntilan dikirim ke sekolah Latin yang diselenggarakan para pastor Ordo Salib Suci di Uden, Belanda. Di antara mereka itu, dua siswa meninggal dan seorang lagi terganggu kesehatannya, mungkin karena tidak cocok dengan iklim di sana; maka kemudian diambil kebijakan untuk menyelenggarakan pendidikan seminari kembali lagi di Indonesia. Sistem dan kurikulum Kursus di Muntilan pun disempurnakan.
Pada 7 September 1922, dua lulusan Seminari Menengah ini menjadi novis pertama pada NovisiatSerikat Yesus yang baru dibuka di Yogyakarta dengan rektor dan pimpinan novisiatnya Romo Strater SJ.
Seminari Kecil Santo Petrus Canisius Yogyakarta (1925-1941)
Sekitar tahun 1927 kedua kursus ini digabungkan menjadi Seminari Kecil di Yogyakarta, dengan tujuh jenjang kelas. Yang terendah adalah kelas yang disebut Candidatus Probatus (CP) setara kelas VII dalam sistem pendidikan sekarang, kemudian kelas Figura Minor (setara kelas VIII), kelas Figura Maior (setara kelas IX), kelas Grammatica (setara kelas X), kelas Sintaxis (setara kelas XI), kelas Poesis (setara kelas XII) dan kelas Rhetorica. Lulusan sekolah lanjutan tingkat pertama diterima dan dimasukkan dalam kelas khusus yang diberi nama By Cursus (BC), yang jika lulus, melanjutkan pendidikan dalam kelas Grammatica. Begitu juga lulusan sekolah lanjutan tingkat atas, yang selanjutnya bergabung dengan kelas Rhetorica. Karena jumlah siswa meningkat hingga 100 orang lebih, seminari ini kemudian dipindah ke MertoyudanMagelang. Pelajaran pertama di tempat baru ini dimulai pada 13 Januari 1941.
Dua peristiwa lain yang kiranya pantas dicatat di sini adalah: Pada 15 Agustus 1936, Seminari Tinggi Santo Paulus didirikan di Muntilan oleh Vikaris Apostolik Batavia, Mgr Willekens SJ, dengan lima mahasiswa pertama sebagai calon imam. Enam tahun kemudian, tanggal 28 Juli 1942, empat dari lima mahasiswa itu ditahbiskan menjadi imam praja pertama. Pada tanggal 1 Agustus 1940, didirikan Vikariat Apostolik Semarang dengan vikaris Apostolik Romo Albertus Soegijapranata SJ, uskup asli Indonesia pertama yang diangkat oleh Paus Pius XII.
Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Dalam Perang Dunia II, tepatnya 8 Maret 1942, tentara Belanda yang menduduki Indonesia menyerah kepada tentara Jepang. Gedung Seminari Mertoyudan diduduki Jepang dan digunakan untuk sekolah Pertanian Nogako. Sistem pendidikan kolonial barat dilarang oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Pada 5 April 1942, para seminaris terpaksa pulang ke rumah masing-masing. Meski demikian, pendidikan calon imam tetap dilangsungkan yang tersebar di berbagai pastoran, diantaranya di Boro, Yogyakarta, Ganjuran, Muntilan, Girisonta, Ungaran, Semarang dan Solo. Pelajaran diberikan secara sembunyi-sembunyi. Selama masa sulit ini, seminari lazim disebut Seminari dalam diaspora. Situasi ini berlangsung hingga Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945.
Masa Pemerintahan Indonesia (1945-sekarang)
Pada tahun 1945, Jepang mengalami kekalahan dalam melawan Sekutu. Indonesia mengambil kesempatan itu untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Pada tahun itu, gedung Seminari Mertoyudan ditempati oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tahun 1946, 49 seminaris yang tersebar di pelbagai tempat dikumpulkan di kompleks Sekolah Guru Ambarawa. Mereka diasuh oleh Romo C. Soetapanitra SJ (imam yang masuk Seminari Kecil tahun 1927). Pada September 1947, Ambarawa menjadi medan palagan (Clash I); karena itu sebagian seminaris dipindahkan ke Ganjuran. Di sana, mereka diasuh oleh Romo J. Darmojuwono Pr. Sebagian yang lain dipindahkan ke Muntilan pada bulan Oktober 1947, dan diasuh oleh Romo Th. van der Putten SJ. Sejak tanggal 21 Juli 1948, para seminaris yang ada di Ganjuran pun dipindahkan ke Muntilan, dan diasuh oleh Romo Th. van der Putten SJ dan Romo R. Sandjaja Pr. Hadirnya karya misi di Muntilan dan kembalinya Seminari ke Muntilan ini menimbulkan perasaan tidak suka pada tentara Hisbullah terhadap pihak Katolik.
Sekolah Polisi (1946-1948)
Dari 17 Juni 1946 sampai dengan 18 Desember 1948, pada waktu revolusi fisik atau perang kemerdekaan, gedung Seminari Mertoyudan digunakan untuk tempat pendidikan Kepolisian RI. Hoegeng Iman Santoso adalah siswa angkatan pertama dari SPN ini dan kuliah pertama dimulai pada 1 Juli 1946.[1]
Masa Perjuangan (1948-1949)
Pada 19 Desember 1948, Yogyakarta diduduki oleh Belanda (Clash II). Setelah orang-orang pemerintahan mengundurkan diri dari Muntilan, pada tanggal 20 Desember 1948, gedung-gedung Bruderan FIC dibumihanguskan agar tidak jatuh ke tangan Belanda. Seminari Muntilan pun hendak dibakar oleh pasukan Hisbullah, namun berhasil diselamatkan oleh Romo Th. van der Putten SJ yang pada waktu itu menjadi Rektor. Bahkan, ia berhasil memperoleh surat resmi dari Pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa Seminari tidak boleh dibakar. Namun, di tengah usaha keras Romo van der Putten tersebut, terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Romo R. Sandjaja Pr. dan Frater Bouwens SJ dibunuh oleh laskar Hisbullah pada tanggal 20 Desember 1948. Dalam situasi kacau ini, warga Seminari dipaksa mengungsi ke desa Dukun selama dua hari.
Masa pembangunan (1949-1987)
Sekembali dari pengungsian di Dukun, warga Seminari mendapati gedung mereka di Muntilan dalam keadaan rusak berat. Perabot dan perlengkapan sudah terampas. Karena itu, dalam waktu singkat, pada awal Januari 1949, Romo van der Putten SJ memindahkan Seminari ke Jalan Code Yogyakarta. Setelah situasi tenang, gedung Seminari dibangun kembali oleh Vikariat Apostolik Semarang dan berakhir Agustus 1952. Bangunan tersebut sekarang merupakan bagian dari gedung Domus Patrum dan Medan Madya dalam kompleks Seminari Menengah Mertoyudan. Setelah pembangunan selesai, para seminaris yang tersebar dikumpulkan kembali ke Mertoyudan. Untuk membiayai pembangunan ini, menurut kurator Amir Sidharta, salah satu dari tiga lukisan Basoeki Abdullah bertema Maria dilelang.[2]
Pada 3 Desember 1952, gedung Seminari Menengah Mertoyudan diberkati Mgr Albertus Soegijapranata SJ. Lima tahun kemudian dibangun gedung tambahan yang dipergunakan untuk seminari, yaitu Medan Utama dan Medan Pratama. Sejak saat itu, semakin banyak murid tamatan SD yang diterima di Seminari Mertoyudan. Namun berdasarkan berbagai pertimbangan, mulai tahun 1968, siswa tamatan SD tidak diterima lagi, dan yang diterima hanya para siswa tamatan SLTP dan SLTA. Murid baru yang diterima hanya tamatan SLTP dan SLTA. Nama-nama kelas juga berubah, disesuaikan dengan tiga kelas SMA pada waktu itu (kelas I SMA atau kelas X sekarang, kelas II SMA atau kelas XI, dan kelas III SMA atau kelas XII), dan juga dikenal penjurusan Sosial-Ekonomi (Sos-Ek, atau IPS sekarang) dan Pasti-Alam (IPA). Setelah itu, ada kelas Propadeuse. Lulusan SLTP ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Pertama lebih dahulu sebelum kemudian mengikuti sistem dan kurikulum SMA. Sedang lulusan SLTA ditampung dalam kelas BC (bij cursus) Atas.
Pada tahun 1971, siswa lulusan SLTA yang diterima Seminari tinggal di Yogyakarta, dan mengikuti kuliah di IKIPSanata Dharma hingga menyelesaikan pendidikan sarjana muda. Namun pada tahun 1972 siswa tamatan SLTA juga ditampung di Seminari Menengah Mertoyudan. Pada tahun 1973 kelas Propadeuse dihapuskan, sehingga siswa kelas III SMA waktu itu atau kelas XII dalam sistem sekarang setelah lulus diperkenankan melanjutkan ke Novisiat atau Seminari Tinggi. Karena berbagai alasan, tahun 1974 di Wisma Realino Yogyakarta dibangun cabang Seminari Menengah Mertoyudan khusus untuk menampung siswa tamatan SLTA. Istilah BC (bij cursus) pada tahun ini diganti menjadi Kelas Persiapan. Maka ada Kelas Persiapan Pertama (KPP) untuk lulusan SLTP dan Kelas Persiapan Atas (KPA) untuk lulusan SLTA.
Di kompleks Seminari Menengah Mertoyudan sementara itu dilakukan penambahan gedung. Pada tahun 1976, dilakukan penambahan gedung, yang diresmikan dan mulai dihuni oleh Seminaris Medan Utama. Tahun itu juga Seminari Cabang Yogyakarta digabung lagi dengan Seminari Mertoyudan hingga sekarang.[3]
Pada 27 April 1987, Seminari menambah satu bangunan lagi yakni gedung perpustakaan.
Masa ad experimentum (1988-2004)
Pada tahun 1988, Seminari menerbitkan Pedoman Pembinaan Seminari Menengah St. Petrus Canisius Mertoyudan yang masih diberlakukan secara percobaan (ad experimentum) hingga tahun 2004. Pada tahun-tahun ini, jenjang pendidikan seminari mengikuti jenjang pendidikan SMA pada umumnya.
Pada tahun 1994, model kurikulum pendidikan sekolah umum berubah menjadi sistem caturwulan.
Pada Juni 2004, Pedoman Pembinaan Seminari Menengah Mertoyudan yang muncul tahun 1988 disahkan sebagai Pedoman Pembinaan yang baku digunakan bagi para seminaris.
Sejak tahun 2005, Seminari dipimpin Romo Antonius Gustawan, SJ (2005-2011). Pada masanya muncul pertemuan-pertemuan pembina seminari regio yang diselenggarakan Komisi Seminari KWI Indonesia. Seminari juga menambah dua bangunan baru: Kapel Medan Pratama (Kapel Maria) tahun 2007 dan Rumah Musik tahun 2008.[4]
Daftar Rektor Seminari
Rev.P. A. Soenarja, SJ (1960-1965)
Rev. P. Carolus Carri, SJ dan Rev. P. Tan Soe Ie, SJ
Rev. P. Ignatius Sumarya, SJ (2011 - 27 Oktober 2013)[7]
Rev. P. Thomas Becket Gandhi Hartono, SJ (2013 - 18 Agustus 2018)
Rev. P. Leo Agung Sardi, SJ (18 Agustus 2018 - 28 Agustus 2020)[8]
Rev. P. Hilarius Budiarto Gomulia, SJ (28 Agustus 2020 - 16 Januari 2023)
Rev. P. Markus Yumartono, SJ (16 Januari 2023 - sekarang)
Peringatan 100 Tahun
Pada tahun 2012, Peringatan 100 Tahun Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan (1912-2012) Magelang diselenggarakan dengan tema "Setia Menyemai: memersiapkan bibit imam yang multi-kultural dan berwawasan lingkungan sebagai kader pemimpin Gereja dan bangsa". Perayaan diwujudkan dalam pelbagai kegiatan mulai dari sosialisasi pada awal Januari 2011, novena dengan Misa bulanan yang dipersembahkan oleh Uskup-uskup alumni Seminari Menengah Mertoyudan dengan tema yang berbeda-beda sejak Mei 2011
Misa Novena I, Mei 2011, oleh Kardinal Julius Darmaatmadja, S.J. bertajuk Keluargaku Seminari Kecil
Juga dilakukan "Pertemuan Akbar Seminari Regio Jawa-Bali pada bulan Juni 2011; berbagai lomba-lomba menulis, membuat karikatur, melukis; Training for Trainers untuk pembimbing iman anak dan remaja; bakti sosial pengobatan gratis dan seminar kesehatan; serta Misa Syukur 100 Tahun Seminari Menengah Mertoyudan pada 2 Juni 2012, dilanjut dengan aneka pentas seni dan malamnya ditutup dengan pagelaran wayang kulit dengan dhalang Ki Radya Harsono, dengan lakon Dewa Ruci.
Alumni
Berikut beberapa tokoh yang pernah mengenyam pendidikan dari sekolah ini: