Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Kauman adalah salah satu SD yang didirikan oleh Muhammadiyah. Berdiri sejak tahun 1911 dengan nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang bertempat di rumah K.H. Ahmad Dahlan.[1] Sempat beberapa kali berganti nama hingga akhirnya menjadi SD Muhammadiyah Kauman.
Pendidikan di Yogyakarta Awal Abad Ke-20
Penerapan Politik Etis memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan bidang pendidikan menentukan arah perkembangan sosial politik masa itu. Dampak nyata berkembangnya pendidikan bisa dilihat secara horizontal dalam bentuk peningkatan jumlah sekolah-sekolah Belanda secara cepat dan ditemukan dalam usaha-usaha perbaikan sistem pendidikan yang teratur.[2] Pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial semata-mata diarahkan untuk kepentingan elit masyarakat kolonial, disamping seakan-akan juga memperhatikan kesempatan pendidikan kepada pribumi. Pendidikan model seperti ini menitikberatkan pada pengembangan aspek kognitif, sementara aspek-aspek lain tidak begitu diperhatikan.
Sebelum adanya pemerintah kolonial yang membawa pendidikan modern, masyarakat Yogyakarta pada umumnya menggunakan metode pendidikan tradisional, yaitu sistem pesantren. Pesantren adalah tempat santri-santri yang belajar ilmu agama Islam.[3] Dalam pendidikan tradisional tersebut tidak dikenal ilmu pengetahuan umum karena dianggap menyesatkan. Ilmu yang dianggap bermanfaat hanyalah ilmu agama. Selain itu, kalangan tradisional juga sengaja mengisolasi diri untuk menjaga dan memelihara ajaran mereka. Secara kultural, pendidikan yang dipimpin oleh ulama-ulama tradisional menolak semua kebudayaan Barat. Pengawasan Belanda terhadap pesantren dan murid-muridnya yang ketat telah membuat pesantren menjaga jarak, bahkan bersikap nonkooperatif secara total dan apriori terhadap apa saja yang datang dari Barat. Lebih jauh, ilmu pengetahuan umum yang berasal dari Barat mendapatkan identitas “kafir”.
Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah
Peretntangan antara pendidikan tradisional yang diwakili pesantren dan modern yang diwakili oleh pendidikan Belanda inilah yang mendorong K.H. Ahmad Dahlan, seorang ulama dan ketib Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tinggal di kampung Kauman, untuk menjembatani pertentangan antara pendidikan modern milik pemerintah kolonial dan pendidikan tradisional yang menekankan agama Islam dengan mendirikan sekolah bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Sekolah ini menggunakan kamar tamu di rumah Ahmad Dahlan dengan ukuran 2,5 x 6 meter yang dilengkapi oleh tiga meja dan tiga bangku. Murid-murid terdiri sembilan orang anak pada permulaannya. Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat sekitarnya, kecuali beberapa pemuda. Masyarakat yang melihat pendirian sekolah ini mengecap K.H. Ahmad Dahlan dengan sebutan “Kristen Alus”, “kyai kafir”, dan “kyai palsu”.[4] Julukan ini disematkan oleh masyarakat karena saat itu di dalam sekolahnya diajarkan pelajaran ala Barat seperti nada-nada musik. Sedangkan kesenian ala santri yang umum di masayarakat Kauman saat itu seperti Marhaban-marhaban, jalil-jalil, dan lagu-lagu burdah tidak lagi terdengar. Menghadapi hal ini, K.H. Ahmad Dahlan hanya tersenyum dalam hati karena menyadari bahwa untuk memperbaiki agama Islam harus berani mendapat cacian dan hinaan dan bahkan mendapat label kafir dari masyarakat sekitar. Menurut K.H. Ahmad Dahlan, hal ini tidak perlu dibantah dan dibenci. Tetapi perlu dibiarkan dan dijawab dengan tenang karena suatu saat akan menyadari dan mengerti apa yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan.
Penolakan yang dilakukan masyarakat berpengaruh pada tahap awal proses belajar mengajar. Murid-murid sekolah ini pada akhirnya sering tidak masuk sekolah karena perlakuan masyarakt Kauman. Untuk mengatasai hal tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah siswanya dan meminta mereka masuk sekolah kembali. Ia juga terus mencari siswa baru. Perbuatan yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan dirasakan begitu asing saat itu, mengingat yang berlaku adalah murid yang mencari guru, bukan guru yang mencari murid. Ketekunan dan kesbaran K.H. Ahmad Dahlan berbuah manis. Sedikit demi sedikit, murid sekolahnya telah bertambah. Seiring dengan pertambahan jumlah siswa, K.H. Ahmad Dahlan juga menambah meja dan bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa menjadi 20 orang. Kemajuan yang ditunjukkan Madrasah milik K.H. Ahmad Dahlan tersebut mendorong Budi Utomo untuk memberikan bantuan tenaga pengajar. Para guru dikirim oleh Budi Utomo sejak bulan ketujuh berdirinya sekolah ini.[4] Umumnya guru tersebut merupakan lulusan Kweekschool yang belum mendapat penetapan dari pemerintah dengan jangka waktu mengajar antara satu hingga dua bulan.
Diantara murid K.H. Ahmad Dahlan yang belajar di Kweekschool Jetis yang juga belajar Agama Islam di serambi rumahnya ada yang bertanya untuk apa susunan bangku, meja, dan papan tulis. Pertanyaan ini dijawab oleh K.H. Ahmad Dahlan bahwa peralatan tersebut digunakan untuk sekolah anak-anak Kauman yang mengajarkan pelajaran agama dan pengetahuan umum.[5] Mereka kemudian menyarankan agar K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi agar keberadaan sekolah tersebut tetap berlanjut meskipun K.H. Ahmad Dahlan telah wafat. Saran ini direnungkan oleh K.H. Ahmad Dahlan dan didiskusikan dengan santri-santrinya yang telah dewasa. Akhirnya, K.H. Ahmad Dahlan membentuk organisasi baru. Pada tanggal 18 November 1912, berdirilah organisasi bernama Muhammadiyah. Keterlibatan para pengurus Budi Utomo terkait erat dengan pendirian organisasi tersebut. Pada awalnya, organisasi ini didirikan untuk menjaga keberadaan sekolah milik K.H. Ahmad Dahlan, akan tetapi dalam perkembangannya Muhammadiyah juga menmperluas aktivitasnya dalam bidang sosial-keagamaan.
Pada tahun-tahun berikutnya, Muhammadiyah mendirikan banyak sekolah. Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah yang telah berdiri setahun sebelum Muhammadiyah, telah berjalan dengan sistem tiga jenjang kelas. Adanya mata pelajaran ilmu umum disamping pelajaran agama Islam telah menempatkan sekolah ini setaraf dengan Sekolah Angka 2 atau Volkschool yang ditetapkan oleh pemerintah.[6] Oleh sebab itu, sekolah di Kauman ini mendapat subsidi dari pemerintah kolonial sejak tahun 1914.
Sekolah Pawiyatan Muhammadiyah
Perkembangan sekolah Kauman mendapat perhatian besar dari Sultan. Sebagai bentuk dukungan, Sultan memberikan sebidang tanah di Suronatan untuk dibangun gedung sekolah baru pada tahun 1918.[6] Pertambahan jumlah murid yang begitu cepat pada tahun-tahun berikutnya mendorong pimpinan Muhammadiyah saat itu untuk mendirikan gedung sekolah baru seperti yang di Suronatan. Pada tahun 1920 sekolah yang berada di Kauman sudah tidak sanggup lagi menampung murid yang ada sehingga pada tahun itu sebagian murid dipindahkan ke sekolah Suronatan. Pada perkembangan berikutnya, sekolah Suronatan digunakan untuk menampung murid laki-laki dan sekolah di Kauman digunakan untuk murid perempuan. Sekolah Suronatan saat ini dikenal dengan nama Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah Suronatan, sedangkan sekolah Kauman diberi nama dengan nama Sekolah Pawiyatan Muhammadiyah.[7]
Lambat laun murid di sekolah Pawiyatan yang terletak di halaman rumah Kiai Haji Ahmad Dahlan bertambah banyak. Timbul pemikiran untuk memperluas sekolah agar mampu menampung murid lebih banyak. Akhirnya, pada tahun 1960, diatas lahan milik Sultan dibangunlah gedung sekolah baru yang terletak di sebelah selatan Masjid Gedhe Kauman. Pembangunan Sekolah tersebut memakan waktu empat tahun dan baru selesai pada tahun 1964.[8] Pemindahan lokasi ini juga diikuti dengan perubahan nama lembaga yaitu Sekolah Pawiyatan Wanita Muhammadiyah.
SD Muhammadiyah Kauman
Perkembangan pesat ditunjukkan oleh SD Muhammadiyah Kauman sejak awal berdirinya. Oleh karena itu, sekolah ini mendapat predikat SD Induk pertama di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 1979/1980. Sejak tahun ajaran 1995/1996, sekolah ini mulai menerima murid laki-laki. Sekolah Dasar ini saat ini memiliki 18 rombongan belajar (parallel 3 kelas) dengan daya tampung lebih dari 500 siswa.[9]
Pada tahun 2008, bangunan gedung di sisi sayap barat dan timur diganti dengan yang baru yakni dengan gedung dua lantai.[8] Sementara itu di sebelah barat digunakan sebagai perpustakaan. Bangunan lama yang tetap dipertahankan adalah bagian tengah yang saat ini digunakan sebagai kantor administrasi dan ruang tamu. Bangunan ini dipertahankan karena adanya tulisan nama sekolah asli serta dua buah prasasti yang menceritakan pembangunan gedung lama. Secara keseluruhan, lahan sekolah ini luasnya 1.177 m2. Tidak terdapat pembangunan gedung baru karena menempati lahan Sultan Ground.
Referensi
- ^ M. Yusron Asrofie, K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Kepemimpinannya, (Yogyakarta: MPKSDI PP Muhammadiyah, 2005), hlm. 73.
- ^ Setiawan, Farid,. Genealogi dan modernisasi sistem pendidikan Muhammadiyah, 1911-1942 (edisi ke-Cetakan pertama). Sleman, Yogyakarta. ISBN 978-602-72517-6-2. OCLC 1078955728.
- ^ Meneguhkan identitas budaya : sejarah pendidikan di Yogyakarta. Nurhajarini, Dwi Ratna,, Yogyakarta (Indonesia : Daerah Istimewa). Dinas Kebudayaan,. [Yogyakarta, Indonesia]. ISBN 978-602-50863-7-3. OCLC 1103587055.
- ^ a b Sudja', Muhammad, 1882-1962,. Cerita tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan : catatan Haji Muhammad Sudja'. Suara Muhammadiyah (Publisher), (edisi ke-Cetakan I). Yogyakarta. ISBN 978-602-6268-49-5. OCLC 1077577991.
- ^ M. Yusron Asrofie (2005), hlm. 75.
- ^ a b 1 abad Muhammadiyah : gagasan pembaruan sosial keagamaan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2010. ISBN 978-979-709-498-0. OCLC 653499438.
- ^ Darban, Ahmad Adaby (2000). Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah. Yogyakarta: Tarawang. ISBN 978-979-8681-26-4.
- ^ a b Harimurti, Shubhi Mahmashony, 1987-. Bangunan bersejarah Muhammadiyah di Yogyakarta. Suara Muhammadiyah (Publisher), (edisi ke-Cetakan I). Yogyakarta. ISBN 978-602-9417-43-2. OCLC 950203741.
- ^ "Profil Sekolah – Situs Resmi SD Muhammadiyah Kauman". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-25. Diakses tanggal 2020-06-22.