Sejarah hak asasi manusia berasal dari teori hak kodrati.Teori tersebut menyebutkan bahwa hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh manusia karena Ia manusia. Artinya, meskipun setiap manusia terlahir dengan kondisi yang berbeda-beda, baik dari warna kulit, kewarganegaraan, jenis kelamin, mereka memiliki hak yang sama sebagai manusia. Begitupun sebaliknya, sejahat apapun manusia, mereka tetap memiliki hak yang sama sebagai manusia.[2] Salah satu tokoh yang mengemukakan teori kodrati yaitu John Locke.[3] Ia mengatakan bahwa manusia dikaruniai oleh alam hak untuk hidup, hak kepemilikan, dan kebebasan yang tidak bisa rampas oleh siapa pun termasuk oleh negara. Pemikiran tersebut dikenal dengan istilah “kontrak sosial”. Apabila pemimpin di suatu negara mengabaikan tentang kontrak sosial tersebut, maka rakyat di negara tersebut berhak menurunkan pemimpinnya. Pemikiran John Locke mengenai gagasan hak kodrati dan kontrak sosial memiliki dampak terhadap revolusi di Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis di abad ke-17 dan abad ke-18. Hak-hak kodrati memiliki peran dalam penyusunan landasan bagi suatu sistem hukum nasional. Namun, dalam penerapannya hak-hak kodrati terus meluas cakupannya, tidak terbatas pada hak sipil dan politik. Kini hak-hak tersebut menyebar pada tuntutan hak ekonomi, sosial, dan budaya.[3]
Generasi Hak Asasi Manusia
Generasi Pertama
Generasi pertama disebut juga hak klasik. Hak yang diperjuangkan di generasi pertama yaitu melepaskan diri dari tuntutan absolutisme negara beserta kekuatan sosialnya. Kategori hak yang termasuk pada generasi pertama yaitu hak untuk hidup, hak mendapatkan kesehatan jiwa dan jasmani, hak untuk bebas bergerak, hak terbebas dari penindasan, hak mempertahankan kepemilikan pribadi, hak untuk bebas berpikir, hak untuk memilih kepercayaan dan agama, hak untuk berorganisasi dan berpendapat, hak perlindungan dari penghakiman yang tidak adil, hak terbebas dari penyiksaan, dan hak mendapatkan perlindungan hukum yang adil. Kebebasan individual merupakan kunci dari keberhasilan generasi pertama untuk mengembangkan hak asasi manusia. Negara harus mampu memberikan perlindungan dan pemenuhan hak individu bagi masyarakatnya. Hak-hak individu tersebut sudah direspon dengan baik oleh berbagai negara dengan memasukkannya ke dalam konstitusi negara.[4]
Tuntutan hak digenerasi ketiga muncul dari negara-negara berkembang yang mengigignkan terciptanya tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif. Hak yang diperjuangkan tersebut di antaranya, hak untuk mendapatkan perdamaian, hak pembangunan, hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik, hak untuk mengembangkan dan memperjuangkan sumber daya alam sendiri, dan hak atas peninggalan budaya sendiri. Generasi ketiga ini sering disebut dengan istilah “hak bersama”.[4]
Sebelum Perang Dunia II
Kemajuan sistem negara yang modern, mengakibatkan masyarakat menyadari tentang hak untuk mendapatkan perlakuan yang pantas dari setiap orang. Di abad ke-19 mulai terlihat minat dan perhatian internasioal untuk melindungi hak-hak warga negara. Contohnya, Perjanjian Westphalia di tahun 1648, yang mampu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun dan menghasilkan kesepakatan antara agama Katolik Roma dan Protestan di Jerman tentang persamaan hak.[1]
Hak Asasi Manusia dan Hukum Internasional Tradisional
Dasar yang menjadi latar belakang dibentuknya hukum internasional sebagai penghubung antara negara dengan negara lainnya. negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan membela hak warga negara ketika mengalami perlakuan yang kurang baik dan bertentangan dengan aturan yang datang dari negara lain. Objek dan tujuan dari sistem ini yaitu individunya sendiri. Oleh karena itu, di manapun individu itu berada mereka harus mengikuti dan tunduk terhadao aturan yang berlaku di negara tersebut.[1]
Intervensi Kemanusiaan
Intervensi kemanusiaan memungkinkan negara mampu melakukan perlindungan secara militer kepada penduduk yang tinggal di negara lain, apabila pemimpin di negara tersebut memperlakukan mereka dengan semena-mena yang mengganggu hak kemanusiaan penduduk tersebut. Salah satu tokoh yang mendukung kebijakan ini yaitu Hugo Grotios. Namun, dalam implementasinya kebijakan ini sering disalahgunakan oleh negara kuat untuk memperluas kepentingan politiknya.[1]
Penghapusan Pebudakan
Secara legalitas hukum, praktek perbudakan mulai dilarang semenjak Traktat Perdamaian Paris disahkan tahun1814, antara Inggris dan Prancis. Setelah itu, Akta Umum Konferensi Berlin juga mengatur tentang hubungan Eropa di Afrika yang menyepakati perdagangan budak dilarang karena bertentangan dengan asas-asas hukum internasional. Di tahun 1926, organisasi Liga Bangsa-Bangsa mengesahkan Konvensi Penghapusan Perbudakan dan Perdagangan Budak. Di tahun 1953, konvensi tersebut diamandemen. Hingga kini, dokumen tersebut menjadi acuan yang sah secara internasional melarang praktek perbudakan.[1]
Palang Merah Internasional
Komite Palang Merah Internasional terbentuk di tahu 1863. Tujuan dari organisasi tersebut yaitu untuk melindungi para korban perang, dan kawanan perang, yang dikenal dengan nama Konvensi Jenewa. Selain bertujuan untuk itu, organisasi Palang Merah Internasonal merupakan dasar dari terbentuknya hukum kemanusiaan internasional.[1]
Liga Bangsa-Bangsa
Tujuan dari organisasi Liga Bangsa-Bangsa untuk meperat dan mendukung kerjasama internasional untuk mencapai perdamaian dan keamanan. Organisasi ini memiliki elemen yang penting yaitu Dewan, Majelis, dan Sekretariat. Anggota yang tergabung dalam Liga Bangsa-Bangsa dilarang untuk melakukan perdagangan perempuan dan anak, dilarang untuk mengendalikan penyakit, dan memberikan perlakuan yang adil terhadap penduduk bumi dari wilayah jajahan. Liga Bangsa-Bangsa dibubarkan pada 18 April 1946.[1]
Setelah Perang Dunia II
Status individu kini bukan lagi objek hukum internasional, melainkan seseorang yang harus mendapatkan hak dan kewajiban. Kondisi berubah sejak terjadinya Perang Dunia II. Oleh karena itu, kumpulan masyarakat internasional membangun beberapa kesepakatan dalam bentuk norma,doktrin, dan kelembagaan. Salah satu contohnya, lahirnya hukum hak asasi internasional dari lembaga hukum internasional.[1]
Hak Asasi Manusia Internasional Modern
Posisi individu di mata hak asasi manusia internasional modern yaitu sebagai subjek. Individu tersebut memiliki hak yang sudah dijamin secara internasional. Sedangkan posisi negara merupakan pemegang kewajiban yang harus memberikan haknya kepada individu. Lembaga yang menjadi menjembatani hubungan antara penerima hak dan pemberi kewajiban itu yaitu organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jumlah negara yang mulai memperhatikan tentang hukum internasional meningkat. Akibatnya, sifat “eksklusif” yang muncul dari negara berdaulat mulai berkurang. Negara sudah tidak bisa lagi mengklaim tentang masalah hak asasi manusia yang terjadi di wiliyahnya.[1]
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
Piagam PBB berisi pasal-pasal yang membahas perlindungan hak asasi manusia. Tujuan dari PBB yaitu untuk memajukan dan memberikan penghormatan kepada hak asasi manusia. Selain itu, memberikan kebebasan bagi semua orang tanpa memandang ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama.[1]
The International Bill of Human Rights
Istilah “International Bill of Human Rights” digunakan untuk merujuk tiga instrumen pokok mengenai hak asasi manusia. Instrumen itu yaitu: 1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia; 2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik; 3) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.[1]
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia disahkan pada tahun 1946 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya disahkan pada tahun 1966 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, Kovenan Internasional itu baru berlaku di mata hukum pada tahun 1976.[1]
Perkembangan di Indonesia
Sejarah hak asasi manusia bisa menjadi acuan tentang perkembangan HAM untuk suatu negara, salah satunya di Indonesia. Pemenuhan perlindungan HAM untuk suatu negara bisa dijadikan sebagai titik pijak untuk penyusunan kebijakan negara, sehingga mampu mewujudkan pembangunan yang berbasis hak asasi manusia.[5]
Periode 1908-1945
Organisasi Budi Utomo yang terbentuk pada tahun 1908, merupakan salah satu wujud nyata tentang kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat kepada masyarakat umum. Selain itu, dengan lahirnya organisasi Budi Utomo, masyarakat mulai berpikir tentang hak untuk turut serta secara langsung ke dalam pemerintahan. Tujuan dari konsep hak asasi manusia yang dihadirkan dalam organisasi Budi Utomo yaitu hak negara Indonesia untuk merdeka, dan hak menentukan nasib negaranya sendiri.[6] Pada periode ini, titik puncak dari perdebatan tentang hak asasi manusia yaitu ketika sidang BPUPKI yang membahas tentang rumusan dasar negara. Selain itu, hal yang dibahas pada siding ini yaitu kelengkapan negara yang harus menjamin hak dan kewajiban negara dan warga negaranya. Tokoh yang terlibat dalam diskusi ini yaitu Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, K.H. Mas Mansur, K.H. Wachid Hasyim, dan Mr. Maramis.[5]
Organisasi lain pun turut terbentuk, di antaranya Perhimpunan Indonesia yang menghimpun para mahasiswa Indonesia yang berada di Belanda yang melahirkan konsep hak asasi manusia untuk memperjuangkan hak negara Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Selain itu ada organisasi Sarekat Islam, yang memiliki tujuan untuk mengusahakan penghidupan yang layak dan terbebas dari penindasan diskriminasi dari pemerintah kolonial. Akar dari pergerakan organisasi Sarekat Islam yaitu prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam ajaran Islam. Tokoh yang terlibat dalam pergerakan HAM di organisasi Sarekat Islam yaitu Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, dan Agus Salim.[5] Organisasi lain yang menyuarakan tentang hak asasi manusia yaitu Partai Komunis Indonesia, yang memiliki landasan untuk memperjuangkan hak yang bersifat sosial. Organisasi lainnya yaitu, Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia memiliki landasan untuk memperjuangkan hak untuk medapatkan kemerdekaan. Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia berjuang untuk menyuarakan hak dalam mengeluarkan pendapat (politik), hak untuk menentukan nasib sendiri, hak beroganisasi, dan memiliki hak yang sama di mata hukum dan ikut serta dalam penyelenggaraan negara.[7]
Dengan lahirnya berbagai organisasi yang menyuarakan tentang hak asasi manusia, timbul beberapa perdebatan. Salah satu yang paling mencolok yaitu pendapat Supomo. Ia mengatakan, bahwa rakyat Indonesia sudah bersatu dengan negaranya. Jadi, tidak perlu lagi melindungi masyarakat dari negaranya. Dengan kata lain, hak asasi manusia di Indonesia bukan bertujuan untuk melindungi keadilan antar individu, melainkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, negara Indonesia menjamin hak-hak dasar masyarakatnya, yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28, yang intinya masyarakat memiliki hak untuk berserikat. berkumpul, dan meyampaikan pendapatnya.[8]
Periode 1945-1950
Pada periode ini, hal yang diperdebatkan mengenai HAM masih mencakup tentang hak untuk merdeka, hak untuk berorganisasi dalam politik, dan hak untuk berpendapat di parlemen. Ciri dari periode ini yaitu:
Bidang Sipil dan Politik:
UUD 1945, terutama Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30.[5]
Pada massa ini, perkembangan tentang hak asasi manusia dipengaruhi oleh sistem pemerintahan Indonesia yang berubah. Pada periode ini, sistem politik Indonesia dipengaruhi oleh sistem liberalisme dan parlementer, dengan diberlakukannya UUDS sejak 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959.[9] Aktualisasi hak asasi manusia pada periode ini, di antaranya:
Dewan Perwakilan Rakyat, menunjukkan hasil kerja yang baik dengan pengawasan dan kontrol yang seimbang.[9]
Keberadaan partai politik dengan ideologi yang berbeda-berbeda, tetap memiliki visi yang sama yaitu untuk memasukkan tentang hak asasi manusia ke dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar.[9]
Pada periode ini, Indonesia mengikuti dua konvensi HAM internasional yaitu:
Konvensi Jenewa tahun 1949, yang membahas mengenai perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil ketika perang.[5]
Konvensi tentang hak politik perempuan yang berisi tentang hak perempuan tanpa diskriminasi dan hak perempuan untuk mendapatkan jabatan publik.[5]
Periode 1959-1966
Sejak diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, oleh Presiden Soekarno, sistem pemerintahan menjadi demokrasi terpimpin. Hal ini berdampak kepada sistem politik yang berada di bawah kendali Presiden sepenuhnya. Oleh karena itu, kebebasan untuk berpendapatm berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan sangat dibatasi.[10]
Pemerintahan Orde Baru memberikan penolakan terhadap konsep HAM. Alasannya yaitu:
HAM merupakan pemikiran yang berasal dari Barat, dan dianggap bertolak belakang dengan nilai-nilai budaya Bangsa Indonesia dan dasar negara Pancasila.[5]
Rakyat Indonesia mengenal HAM melalui Undang-Undang Dasar 1945 yang lahir lebih dulu, dibandingkan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.[5]
Permasalahan mengenai HAM dianggap yang berasal dari Barat tersebut dianggap menjadi senjata yang tidak terlihat untuk memojokkan negara berkembang seperti Indonesia.[5]
Faktanya, pada pemerintahan Orde Baru terjadi beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Pada saat itu, kebijakan politik yang diambil sifatnya sentralistis dan tidak menerima pendapat yang bertentangan dengan pemerintah. Gerakan-gerakan yang bertentangan dengan pemerintah dengan anti-pembangunan dan anti-Pancasila. Beberapa kasus tentang pelanggaran HAM pada masa Orde Baru di antaranya kasus Tanjung Priok, Kedungombu, Lampung, dan Aceh. Meskipun terjadi beberapa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Pemerintah, masih banyak masyarakat yang peduli dengan HAM. Desakan masyarakat tersebut membuat pemerintah luluh dan sepakat mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tujuan dari organisasi ini yaitu, untuk menyelidiki dan memantau pelaksanaan HAM, memberikan pendapat, pertimbangan, dan sarana kepada pemerintah terkait pelaksanaan HAM.[5]
Periode 1966 – 1998
Kejadian pemberontakan G30S/PKI tanggal 30 September 1966, membawa Indonesia pada masa kelam. Pada masa ini, hak asasi manusia diaggap sebagai produk pemikiran dari Barat (asing). Fokus utama pada periode ini adalah pembangunan untuk Indonesia, namun hak asasi manusia dianggap sebagai penghambat untuk pembangunan. Namun, beberapa masyarakat umum menganggap bahwa hak asasi manusia merupakan sebuah hal yang luas dan terbuka. Titik puncak tentang perlindungan HAM pada periode ini yaitu dengan turunnya Soeharto sebagai Presiden ditahun 1998.[11]
Pada periode ini Indonesia mengikuti beberapa konvensi HAM di antaranya:
Konvensi tentang penghapusan bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Tertuang dalam UU No. 7 tahun 1984.[12]
Konvensi Hak Anak, tertuang dalam keputusan Presiden No. 36 tahun 1990,[14]
Perkembangan HAM di era reformasi mengalami perkembangan yang sangat baik. Salah satu buktinya yaitu, lahirnya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM. Rencana aksi nasional HAM, juga turut lahir di bulan Agustus 1998. Isinya merupakan empat pilar tentang HAM, yaitu: 1) persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM; 2) diseminasi informasi dan pendidikan bidang HAM; 3) penentuan skala prioritas; dan 4) pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM.[11]
Perkembangan di Inggris
Ada tiga bukti sejarah tertulis tentang perkembangan hak asasi manusia di Inggris. Bukti tersebut yaitu, Magna Charta Liberatum tahun 1215, Habeas Corpus tahun 1679, dan Bill of Rights tahun 1689.[15] Dari ketiga bukti sejarah tersebut, Magna Charta merupakan kebangkitan dari perjuangan hak asasi manusia. Pada tanggal 15 Juni 1215, Magna Charta dirumuskan dengan prinsip mendasar yang mengatur pembatasan kekuasaan monarki dan menegaskan bahwa hak asasi manusia memiliki kepentingan yang lebih besar daripada supremasi absolut monarki [16]. Secara lebih rinci, isi dari Magna Charta tersebut yaitu:
Raja harus bertanggung jawab kepada rakyat dan kekuasaannya dibatasi oleh hukum.[15]
Hak asasi manusia lebih penting dibandingkan kedaulatan raja.[15]
Warga negara tidak boleh dirampas kemerdekaannya, termasuk tidak boleh dirampas kekayaannya, diperkosa, dan diasingkan. Hak warga negara tidak boleh dikurangi.[15]
Namun, Magna Charta masih memiliki kekurangan. Hak-hak yang sudah disebutkan di atas hanya berlaku bagi warga negara pria dewasa (bangsawan), tidak melindungi hak perempuan, anak-anak, dan budak. Oleh karena itu, ada beberapa yang tidak setuju dan mendukung Magna Charta.
Habeas Corpus Act adalah undang-undang yang berisi tentang perlindungan hak bagi warga negara. Perlindungan tersebut berupa pencegahan terhadap pemenjaraan secara sewenang-wenang tanpa pengadilan hukum. Habeas Corpus Act disahkan pada tahun 1679.[15]
Bill of Rights merupakan catatan yang mengatur tentang tata cara pergantian raja. Selain itu, berisi tentang catatan-catatan yang memberikan kebebasan kepada warga negara terhadap haknya. Bill of right dianggap sebagai keberhasil rakyat Inggris melawan Raja James II. Slogan dari perlawan tersebut adalah manusia sama di mata hukum.[15]
Perkembangan di Amerika Serikat
Catatan sejarah mengenai perkembagan hak asasi manusia di Amerika Serikat tertuju kepada Bill of Rights Virginia dan The Declaration of Independence. Bill of Rights Virginia berisi tentang hak dan kebebasan warga di negara bagian Virginia. Sedangkan, The Declaration of Independence merupakan deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat terhadap Inggris. Sebagian isi dari deklarasi tersebut di antaranya, bahwa masyarakat meimiliki derajat yang sama di mata Tuhan, memiliki hak untuk hidup, bebas, dan merdeka.[15]
Perkembangan di Prancis
The French Declaration merupakan deklarasi yang berisi tentang hak-hak manusia bagi rakyat Prancis, yang diikrarkan pada tahun 1789. Deklarasi ini menganggap bahwa hak asasi manusia merupakan hak setiap manusia sifatnya suci, karena berasal dari kodrat-Nya. Momentum Revolusi Prancis menanamkan prinsip kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Kini, prinsip tersebut dianut oleh seluruh negara hukum. Kebebasan memiliki arti kemerdekaan, persamaan diartikan dengan keadilan, serta persaudaraan berarti kesetiakawanan.[15]
^Smith, Rhona K.M, dkk. (2008). Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia. hlm. 30–36. ISBN9789791805704.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcSaleh, M. Ridha (2020). Menghijaukan HAM. Jakarta: PT. Rayyana Komunikasindo. hlm. 39–42. ISBN9786025834677.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)