Rotasi tanaman adalah praktik penanaman berbagai jenis tanaman secara bergiliran di satu lahan. Rotasi tanaman diketahui memberikan manfaat bagi tanah. Elemen utama dari rotasi tanaman adalah pengembalian nutrisi nitrogen melalui tanaman legum setelah penanaman tumbuhan serealia dan sejenisnya. Rotasi tanaman mencegah terakumulasinya patogen dan hama yang sering menyerang satu spesies saja. Rotasi tanaman juga meningkatkan kualitas struktur tanah dan mempertahankan kesuburan dengan melakukan pergantian antara tanaman berakar dalam dengan tanaman berakar dangkal. Rotasi tanaman merupakan bagian dari polikultur.
Sejarah
Petani timur tengah mempraktikkan rotasi tanaman sejak tahun 6000 SM tanpa pemahaman mengenai ilmu kimia. Secara bergantian mereka menanam legum dan serealia. Penulis dari Kerajaan Romawi Cato the Elder merekomendasikan petani untuk menyimpan kotoran hewan ternak,[1] kemungkinan untuk dijadikan pupuk. Di Eropa, sejak zaman Charlemagne terdapat transisi dengan dua atau tiga lahan rotasi tanaman. Pada sistem rotasi dua lahan, satu lahan ditanam selama setengah tahun dan lahan lainnya dibiarkan tidur. Pada sistem rotasi tiga lahan, satu lahan ditanam rye atau gandum di musim dingin. Pada musim semi, lahan kedua ditanami kacang-kacangan. Lahan yang ketiga dibiarkan.
George Washington Carver mempelajari metode rotasi tanaman di Amerika Serikat dan mengajar petani di kawasan selatan untuk merotasi lahan yang telah habis nutrisinya oleh tanaman kapas. Mereka disarankan untuk mulai menanam dengan diselingi kacang tanah.[2]
Sejak Revolusi Hijau, praktik monokultur semakin meluas dengan suplemen pupuk kimia sehingga nutrisi dari pengikatan nitrogen secara alami tidak dibutuhkan. Pestisida pun digunakan untuk memberantas hama yang terakumulasi setiap tahun. Namun kerusakan tanah dan lingkungan terus terjadi, dan resistansi pestisida terbentuk sehingga hama tidak lagi bisa diberantas dengan pestisida. Hal ini menimbulkan risiko berkurangnya hasil pertanian pada masa depan.
Penerapannya bersama hewan ternak
Di Afrika sub Sahara, berbagai kaum nomaden penggembala mulai menetap dan bercocok tanam dengan rotasi tanaman sambil melibatkan peneliharaan hewan ternak yang telah dilakukannya sejak lama. Residu tanaman atau brangkasan diberikan kepada hewan ternak sebagai pakan, sedangkan kotoran hewan dijadikan pupuk untuk mengembalikan nutrisi tanah. Hewan ternak juga dijadikan sumber tenaga pertanian. Lahan tidur yang sedang tidak ditanam akan tumbuh gulma yang lalu menjadi makanan hewan ternak. Proses ini terbilang menguntungkan terutama di wilayah yang di mana transportasi pupuk dan pakan ternak serta pengadaan alat dan mesin pertanian terbilang mahal.[3]
Erosi tanah
Rotasi tanaman sangat bermanfaat dalam mengurangi tingkat kehilangan tanah akibat erosi oleh air. Di kawasan yang rentan erosi, beberapa praktik manajemen pertanian seperti pertanian tanpa pembajakan dapat melengkapi rotasi tanaman untuk mengurangi dampak limpasan permukaan oleh air hujan.[4]
Perlindungan terhadap tingkat kehilangan tanah dimaksimalkan dengan metode rotasi yang meninggalkan banyak residu tanaman yang bersifat mengikat tanah.[5] Erosi diketahui menyebabkan agregat tanah lepas, pori-pori tanah tertutup, penyerapan air berkurang, dan limpasan permukaan meningkat.[6]
Efek rotasi tanaman terhadap erosi tanah bervariasi berdasarkan iklim. Di wilayah di mana perubahan musim cukup konsisten dan dapat diprediksi, rotasi tanaman yang dianjurkan akan berbeda dengan wilayah yang memiliki pergantian musim hujan dan musim kering yang tidak stabil. Jika musim tidak stabil, maka rotasi tanaman yang lebih fleksibel dan dapat diganti lebih cepat, dibutuhkan.[7][8]
Rotasi tanaman juga mempengaruhi kapan dan seberapa lama tanah akan "ditidurkan". Hal ini penting untuk menilai lahan bagian mana yang paling rentan terhadap erosi sehingga tanah tersebut tidak akan dibiarkan ketika hujan tinggi.[7][9]
^Powell, J.M., William, T.O., (1993). "An overview of mixed farming systems in sub-Saharan Africa". Livestock and Sustainable Nutrient Cycling in Mixed Farming Systems of Sub-Saharan Africa: Proceedings of an International Conference, International Livestock Centre for Africa (ILCA). 2: 21–36.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Rose CW, Freebairn DM. "A mathematical model of soil erosion and deposition processes with application to field data".
^Loch RJ, Foley JL (1994). "Measurement of Aggregate Breakdown under rain: comparison with tests of water stability and relationships with field measurements of infiltration". Australian Journal of Soil Research. 32: 701–720.
^ abCarroll C, Halpin M, Burger P, Bell K, Sallaway MM, Yule DF (1997). "The effect of crop type, crop rotation, and tillage practice on runoff and soil loss on a Vertisol in central Queensland". Australian Journal of Soil Research. 35: 925–939.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Littleboy M, Silburn DM, Freebairn DM, Woodruff DR, Hammer GL (1989). "PERFECT. A computer simulation model of Productive Erosion Runoff Functions to Evaluate Conservation Techniques". Queensland Department of Primary Industries. Bulletin QB89005.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Huang M, Shao M, Zhang L, Li Y (2003). "Water use efficiency and sustainability of different long-term crop rotation systems in the Loess Plateau of China". Soil & Tillage Research. 72: 95–104.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Bahan bacaan terkait
Anderson, R.L. 2005. Are some crops synergistic to following crops? Agron. J. 97:7-10