Representasi gender dalam politik olahraga adalah kesempatan yang setara yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan untuk mengikuti suatu kejuaraan atau pertandingan olahraga.[1]
Konstruksi sosial mengenai gender
Olahraga merupakan salah satu kunci untuk memahami konstruksi sosial mengenai gender. Pada abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas, olahraga diciptakan oleh dan untuk laki-laki kelas menengah berkulit putih dengan tujuan untuk menegaskan posisi laki-laki yang lebih unggul daripada perempuan; dan juga lebih unggul daripada laki-laki yang bukan berasal dari ras kulit putih maupun laki-laki kelas pekerja. Oleh karena itu, adanya kajian mengenai gender dari ideologi olahraga menguak tabir bagaimana olahraga diatur sedemikian rupa untuk menunjukkan maskulinitas.[2] Persoalan maskulinitas dalam olahraga merupakan hal yang rumit serta kontradiktif. Seiring dengan kemajuan jaman, laki-laki berkulit putih yang berpendidikan tinggi bekerja sebagai seorang profesional dan memiliki jabatan tinggi di kantor. Pekerjaan tersebut lebih mengandalkan pada kekuatan otak dan bukan pada kekuatan otot sehingga laki-laki campuran Afrika-Amerika atau laki-laki kelas pekerja mengisi kekosongan dalam bidang olahraga.[3]
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat sebagai oposisi biner: apa yang bukan feminin, maka itu maskulin dan sebaliknya. Laki-laki digambarkan sebagai makhluk yang suka bersaing, punya fisik yang kuat, serta bersikap rasional; sementara perempuan dianggap sebagai makhluk yang pemalu, tidak suka bersaing, lemah, serta emosional. Perbedaan laki-laki dan perempuan begitu kentara jika dilihat dari sudut pandang perbedaan biologis. Sementara itu, para sosiolog melihat perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan konsepsi normatif dari sikap dan tindakan.[4]
Salah satu cara untuk mengkonseptualisasikan seks dengan gender dalam olahraga adalah dengan memahami bahwa kedua hal tersebut tidaklah sinonim namun saling berkaitan.[5] Berdasarkan American Psychological Association (2011), seks mengacu kepada aspek biologis (kromosom seks, organ dalam reproduksi, alat kelamin luar); sedangkan gender mengacu kepada sikap, perilaku, perasaan, pengalaman, serta karakter yang dikaitkan dengan sifat laki-laki atau sifat perempuan.[6]
Gender merupakan konstruksi sosial yang tidak bersifat kaku atau statis, melainkan dapat cair atau berubah tergantung waktu, tempat, dan diskursus. Sebagai contoh, anak laki-laki disarankan untuk bermain sepakbola atau olahraga beladiri; sementara anak perempuan sebaiknya berdansa, senam, atau berseluncur indah. Sementara itu, tidak ada alasan yang kuat secara biologis mengapa anak perempuan tidak boleh bermain sepakbola atau mengapa anak laki-laki sebaiknya tidak berseluncur indah.[7]
Pemilihan olahraga yang sesuai dengan gender berbeda-beda di tiap negara. Di Amerika Serikat, olahraga seperti sepakbola; tenis; dan renang diperbolehkan bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara itu, di beberapa negara lain, sepakbola tidak boleh dimainkan oleh perempuan.[8]
Kesetaraan gender dalam olahraga
Gender dalam olahraga dapat dijabarkan ke dalam lima pengertian. Pertama, makna olahraga bagi laki-laki yang memegang teguh nilai-nilai maskulin secara konservatif. Kedua, pemberdayaan perempuan dengan cara memberikan kesempatan serta tantangan yang sama seperti halnya yang telah didapatkan oleh laki-laki. Ketiga, memaknai kembali soal ideologi dan nilai agar sifat-sifat keperempuanan dapat diterima. Keempat, mengatasi reaksi yang timbul karena laki-laki merasa terancam dengan kekuatan serta prestasi perempuan. Kelima, laki-laki dan perempuan dimotivasi agar dapat bersaing secara sportif.[9]
Ada pertumbuhan yang signifikan dari jumlah perempuan yang terlibat dalam pertandingan olahraga walaupun ada beberapa pembatasan yang diberlakukan kepada kaum perempuan. Olahraga berat seperti tinju serta jenis beladiri ekstrim sebagai olahraga yang bersifat maskulin tetap bisa diikuti oleh perempuan disesuaikan dengan kondisi fisik perempuan itu sendiri.[10]
Keikutsertaan para gadis berusia remaja dalam kegiatan olahraga akan meningkatkan rasa percaya diri serta melatih kemampuan fisik mereka. Dalam lingkungan olahraga, para gadis dapat belajar memahami nilai-nilai dari kekompakan tim; keterlibatan dalam komunitas; serta menciptakan suatu persahabatan yang bermakna.[11]
Salah satu faktor yang mempengaruhi opini masyarakat tentang keterlibatan perempuan dalam dunia olahraga adalah liputan media. Oleh karena itu, untuk mencegah pemberitaan yang berat sebelah terhadap keterlibatan perempuan dalam dunia olahraga, ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu merekrut wartawan dari berbagai latarbelakang serta institusi; mengikuti perkembangan terkini soal kebijakan untuk menjunjung tinggi keberagaman; menciptakan atmosfer yang inklusif di area kerja para pekerja media; mengadakan pelatihan untuk membantu para wartawan muda meningkatkan keterampilannya serta mengembangkan jaringan di tingkat profesional.[12]
Ideologi gender dalam olahraga
Ada empat periodisasi yang mewakili empat pandangan tentang ideologi gender dalam olahraga yang terjadi di Amerika Serikat. Pertama, esensialisme radikal yang muncul setelah Perang Dunia II yang berasal dari kelas menengah yang berpandangan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi dan mengikatkan diri dalam pernikahan. Kedua, konstruksionsme biner yang muncul pada tahun 1970 yang tidak setuju dengan paham para esensialis, dan mereka memobilisasi masa untuk melakukan suatu diskursus serta aksi nyata untuk melawan hegemoni esensialisme. Ketiga, konstruksionisme ganda yang mulai mengakar pada akhir 1970 an dan diyakini oleh para feminis sosialis; dan pada tahun 1980 yang diyakini oleh feminis kulit hitam. Pandangan ini berkembang di tahun 1990 an hingga saat ini sebagai paham anti esensialis yang ingin agar perbedaan laki-laki dan perempuan tidak perlu dipertajam, serta memberontak terhadap kajian akademis yang membahas teori gender secara kaku. Keempat, esensialisme moderat. Pandangan ini diangkat oleh para feminis liberal.[13]
Para esensialisme moderat percaya bahwa para perempuan mesti diberikan kesempatan yang sama ketika berada dalam ranah publik tanpa meninggalkan tanggungjawab mereka dalam ranah domestik atau rumah tangga.[14] Diskursus merupakan bagian dari proses yang dilalui untuk meruntuhkan hegemoni lalu membentuk suatu pemikiran baru dengan mengkritisi definisi yang sudah ada berdasarkan ideologi tertentu.[15]
Femininitas olahraga
Femininitas olahraga merupakan suatu wacana yang ditawarkan oleh para penganut paham posfeminis untuk mengkritisi pandangan para esensialis yang melihat perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai oposisi biner.[16] Para penganut paham esensialis berpedoman pada perbedaan biologis laki-laki dan perempuan dalam memaknai gender. Laki-laki secara alamiah bersikap lebih agresif, senang bersaing, mandiri, dan lebih terampil; sementara perempuan merupakan makhluk yang bergantung kepada orang lain, mementingkan kerjasama daripada bersaing. Dengan asumsi seperti ini, maka para perempuan sebaiknya memilih olahraga yang dimainkan secara berkelompok.[17]
Posfeminisme tidak bisa diartikan sebagai penolakan terhadap feminisme atau paham yang muncul pada suatu periode setelah feminisme, namun sebagai sebuah artikulasi baru dari femininitas. Walaupun ada kecenderungan posfeminisme dianggap sebagai pemikiran Barat, namun kajian tentangnya tidak bersifat rasis serta menghargai perbedaan para perempuan dari berbagai latar belakang budaya dan sosial.[18]
Kritik yang berasal dari posfeminis mengenai politisasi gender memberikan pandangan baru terhadap keterlibatan perempuan dalam olahraga, dan kritik tersebut berdasarkan pada paham neoliberal dengan perspektif yang baru. Keterlibatan perempuan dalam bidang olahraga berbasis kepada pemberdayaan secara individual, tanggung jawab pribadi. Irisan antara posfeminis dengan kapitalisme neoliberal bukan dalam arti yang negatif secara general, namun lebih kepada menerapkan semangat kewirausahaan ke dalam olahraga seperti individualistik; kemandirian; bersikap strategis dalam ranah olahraga.[19]
Referensi
- ^ Chinurum, Joy N (2014). "Gender and Sports in Contemporary Society". Journal of Educational and Social Research. 4 (7): 27.
- ^ Dworkin, Shari L (2002). Just do ... what? Sports, bodies, gender, dalam S. Scraton (ed) Gender and Sport. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 17. ISBN 0-415-25953-3.
- ^ dworkin, Shari L (2002). Just do ... what? Sports, bodies, gender, dalam S. Scraton (ed) Gender and Sport. London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 19. ISBN 0-415-25953-3.
- ^ Gaddes, Ellie. "Gendered Identities: How does Participation in Sport Affect the Construction and Performance of Gendered Identities among Young Girls?" (PDF): 7–8.
- ^ Lamont-Mills, Andrea. "Sex, Gender, and Gender Identity in Sport" (PDF). Gender and Sport. 1: 6.
- ^ LaVoi, Nicole M. "Trends in Gender-Related Research in Sport and Exercise Psychology" (PDF). Revista de Iberoamericanan de Psicología del Ejercicio y el Deporte. 6 (2): 271. ISSN 1886-8576.
- ^ Appleby, Karen M (2013). Gender and Sport Participation, dalam E.A. Roper (ed) Gender Relations in Sport. Rotterdam/Boston/Taipei: Sense Publishers. hlm. 1. ISBN 978-94-6209-455-0.
- ^ Appleby, Karen M (2013). Gender and Sport Participation, dalam E.A. Roper (ed) Gender Relations in Sport. Rotterdam/Boston/Taipei: Sense Publishers. hlm. 14. ISBN 978-94-6209-455-0.
- ^ Dunning, Eric (2001). Sport Matters (PDF). London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 226. ISBN 0-203-02529-6.
- ^ Dunning, Eric (2001). Sport Matters (PDF). London and New York: Routledge Taylor and Francis Group. hlm. 238–239. ISBN 0-203-02529-6.
- ^ Bissell, Kim L (2010). Exploring the Influence of Mediated Beauty : Competitive Female Athletes' Perceptions of Ideal Beauty in Athletes and Other Women, dalam H.L. Hundley (ed) Examining Identity in Sports Media. Los Angeles | London | New Delhi | Singapore | Washington DC: SAGE Publications, Inc. hlm. 40–41. ISBN 978-1-4129-5459-4.
- ^ Appleby, Karen M (2013). Gender and Sport Participation, dalam E.A. Roper (ed) Gender Relations in Sport. Rotterdam/Boston/Taipei: Sense Publishers. hlm. 7–8. ISBN 978-94-6209-455-0.
- ^ Messner, Michael A (2018). Gender Ideologies, Youth Sports, and the Production of Soft Essentialism, dalam C. Cooky (ed) No Slam Dunk. New Jersey: Rutgers University Press. hlm. 19. ISBN 9780813592046.
- ^ Messner, Michael A (2018). Gender Ideologies, Youth Sports, and the Production of Soft Essentialism, dalam C. Cooky (ed) No Slam Dunk. New Jersey: Rutgers University Press. hlm. 26. ISBN 9780813592046.
- ^ Mean, Lindsey J (2010). Making Masculinity and Framing Femininity : FIFA, Soccer, and World Cup Web Sites, dalam H.L. Hundley (ed) Examining Identity in Sports Media. Los Angeles | London | New Delhi | Singapore | Washington DC: SAGE Publications, Inc. hlm. 67–69. ISBN 978-1-4129-5459-4.
- ^ Toffoletti, KIm (2018). "Femininities, sport and physical culture in postfeminist, neoliberal times" (PDF): 11. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-11-04. Diakses tanggal 2022-02-28.
- ^ Lamont_Mills, Andrea. "Sex, Gender, and Gender Identity in Sport" (PDF). Gender and Sport. 1: 4–5.
- ^ Toffoletti, Kim (2018). "Femininities, sport and physical culture in postfeminist, neoliberal times" (PDF): 5. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-11-04. Diakses tanggal 2022-02-28.
- ^ Toffoletti, Kim (2018). "Femininities, sport and physical culture in postfeminist, neoliberal times" (PDF): 9. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-11-04. Diakses tanggal 2022-02-28.