Produksi teh adalah salah satu sumber utama devisa luar negeri untuk Sri Lanka (sebelumnya disebut Ceylon), dan merupakan 2% dari PDB, menyumbang lebih dari US $1,5 miliar pada tahun 2013 untuk ekonomi Sri Lanka.[1]
Industri ini mempekerjakan, langsung atau tidak langsung, lebih dari 1 juta orang, dan pada tahun 1995 memperkerjakan langsung 215.338 orang di perkebunan dan perusahaan perkebunan teh. Sri Lanka adalah produsen teh terbesar keempat di dunia. Pada tahun 1995, Sri Lanka adalah pengekspor teh utama teh dunia (daripada sebagai penghasil), mencapai 23% dari total ekspor dunia, tetapi sejak saat itu telah dikalahkan oleh Kenya. Produksi tertinggi sebanyak 340 juta kilogram tercatat pada tahun 2013, sementara produksi pada tahun 2014 sedikit berkurang menjadi 338 juta kilogram.[2]
Kelembaban, temperatur yang sejuk, dan curah hujan di dataran tinggi bagian tengah negara menyediakan sebuah iklim yang mendukung produksi teh berkualitas tinggi. Industri teh ini diperkenalkan ke negara Sri Lanka pada tahun 1867 oleh James Taylor, seorang pekebun Britania yang tiba pada tahun 1852.[3][4][5][6][7][8][9]
Sejarah
Era sebelum teh
Kayu manis merupakan tanaman pertama yang menerima dukungan pemerintah di Ceylon, ketika pulau ini berada di bawah kekuasaan Belanda.[10] Selama pemerintahan gubernur Belanda Iman Willem Falck, perkebunan kayu manis didirikan di Kolombo, Maradana, dan Cinnamon Gardens pada tahun 1769. Gubernur BritaniaFrederick North melarang perkebunan kayu manis swasta, sehingga mengamankan monopoli atas perkebunan kayu manis untuk Perusahaan Hindia Timur.
Namun, kemerosotan ekonomi pada tahun 1830-an di Inggris dan di tempat lainnya di Eropa mempengaruhi perkebunan kayu manis di Ceylon. Hal ini mengakibatkan perkebunan kayu manis dinonaktifkan oleh William Colebrooke pada tahun 1833. Merasa kayu manis tidak menguntungkan, Britania beralih ke kopi.
Pada awal tahun 1800-an, rakyat Ceylon sudah memiliki pengetahuan mengenai kopi.[11] Pada tahun 1870-an, perkebunan kopi dihancurkan oleh sejenis penyakit yang disebabkan oleh jamur yang disebut Hemileia vastatrix atau "karat kopi", lebih dikenal sebagai "penyakit daun kopi" atau "hawar kopi".[12] Kematian industri kopi menandai akhir dari sebuah era ketika sebagian besar perkebunan di pulau diperuntukkan untuk memproduksi biji kopi.