Pop Mandarin atau Mandopop (hanzi tradisional: 華語流行音樂; hanzi sederhana: 华语流行音乐; pinyin: huá yǔ liú xíng yīn yuè) adalah musik pop dengan lirik bahasa Mandarin. Istilah ini dipakai untuk membedakannya dari Pop Hong Kong (Cantopop) yang berlirik bahasa Kantonis. Keduanya merupakan subgenre dari C-pop. Walaupun RRT memiliki penutur bahasa Mandarin terbesar, sebagian di antara bintang pop Mandarin berasal dari Taiwan. Pop Mandarin berkembang di Taiwan setelah pemerintah Kuomintang melarang acara televisi dan radio selain dalam bahasa Mandarin.[1]
Sejarah
Asal usul
Perintis industri rekaman di Cina adalah pengusaha Prancis bernama Labansat. Bermodalkan sebuah gramofon, ia meminta sejumlah kecil bayaran dari orang yang ingin mendengar suara gramofon. Rekaman yang dimainkan adalah suara orang tertawa dengan jaminan uang kembali kalau tidak ikut tertawa. Dari sebuah toko di Jalan Tibet, Shanghai, Labansat sukses menjadi pemilik studio rekaman pertama di Cina, Pathé Orient.[2]
Tahun 1920-an: Shidaiqu
Cikal bakal lagu pop Mandarin adalah lagu pop gaya Shanghai yang disebut shidaiqu (bahasa Kantonis: si doi kuk). Shidaiqu menggabungkan musik Barat dengan melodi Tiongkok. Berkembang mulai tahun 1920-an dan 1930-an, shidaiqu mencapai puncak kepopuleran pada tahun 1940-an.[3] Pada waktu itu, Shanghai merupakan pusat industri rekaman pop Mandarin. Sebagai perintis genre pop Mandarin pada tahun 1920-an, Li Jinhui sering disebut-sebut sebagai "bapak musik populer Tiongkok".[4] Li mendirikan rombongan tari dan lagu modern pertama di Tiongkok, The Bright Moon Song and Dance Company. Sebagian dari penyanyi muda yang diasuhnya populer sebagai penyanyi klab malam, bintang film, dan pencipta lagu. Di antaranya terdapat aktris Wang Renmei, dan Zhou Xuan, serta artis asal penyanyi klab malam Bai Hong dan Yao Lee (Yao Li).[5]
Tahun 1930-an hingga 1940-an: era 7 bintang ternama
Setelah mendirikan RRT pada tahun 1949, Partai Komunis menguasai Shanghai. Semua bentuk hiburan asal "dunia kapitalis yang korup" dinyatakan sebagai "pornografi".[6] Musik pop dilarang dan digantikan dengan lagu-lagu revolusi. Setelah dilarang di RRT, musik pop Mandarin mengalami masa keemasan kedua di Taiwan. Terutama setelah pemerintah nasionalis Cina mengutamakan bahasa Mandarin daripada bahasa Taiwan (bahasa Hokkien).[7] Sementara itu pop Taiwan yang berakar dari enka Jepang mengalami kemunduran.
Tahun 1970-an hingga 1980-an: kebangkitan pop Mandarin di Taiwan
Walaupun pop Mandarin dilarang, Teresa Teng sangat digemari di RRT sepanjang tahun 1970-an. Teresa Teng dan Deng Xiaoping keduanya memiliki nama keluarga yang sama (鄧) sehingga dikenal ungkapan "Siang hari dengar Deng Xiaoping, malam hari dengar Teresa Teng" (白天聽老鄧,晚上聽小鄧[1]). Pemerintah RRT menghapus pelarangan lagu-lagu Teresa Teng pada tahun 1986. Salah satu lagunya, "When Will You Come Back Again" (何日君再來, pinyin: Hérì jūn zàilái) bahkan digolongkan kembali sebagai "lagu patriotisme revolusioner".[1]
Dekade 70-an di Taiwan ditandai dengan kebangkitan musik berbahasa Mandarin bergenre Folk Kontemporer.[8] Era ini menandai munculnya penyanyi-penyanyi bergenre Folk Kampus yang berasal dari berbagai sekolah dan universitas.[8] Pergerakan Folk Kampus merupakan sentimen nasionalis yang disuarakan pemuda Taiwan untuk menolak dominasi budaya barat dan menginginkan karya seni asli ciptaan sendiri.[8] Lirik lagu Folk Kampus mencerminkan emosi dan perasaan para pemuda-pemudi Taiwan pada saat itu seperti kisah cinta, persahabatan, kerinduan, sejarah dan sebagainya.
Pada tahun 1979, pemerintah Singapura mencanangkan gerakan "Berbicara bahasa Mandarin". Orang tua dibujuk untuk berbicara bahasa Mandarin dan bukan dialek bahasa Tionghoa yang lain. Tujuannya agar anak bisa berbicara dan menulis bahasa Mandarin. Gerakan ini didukung radio dan televisi Singapura, termasuk SBC. Setelah penayangan acara televisi dan radio dalam dialek bahasa Tionghoa (bahasa Kantonis, bahasa Hokkien) dihentikan,[9] lagu pop Mandarin menggantikan tayangan lagu pop Hong Kong.
^He Liu, Lydia (1999). Tokens of Exchange: The Problem of Translation in Global. Duke University Press. hlm. 214. ISBN0-8223-2424-5.
^Harumi Befu and Sylvie Guichard-Anguis, ed. (2001). Globalizing Japan: Ethnography of the Japanese Presence in Asia, Europe, and America. Greenwood Publishing Group. hlm. 80. ISBN0-3133-0298-7.
^Timothy J. Craig, Richard King, ed. (2002). Global Goes Local: Popular Culture in Asia. Hong Kong University
Press. hlm. 261. ISBN9-6220-9591-7.line feed character di |publisher= pada posisi 21 (bantuan)
^Broughton, Simon (2000). World Music: The Rough Guide. Rough Guides Publishing Company. hlm. 80. ISBN1-8582-8636-0.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^Anthony R. Welch and Peter Freebody, ed. (1993). Knowledge, Culture, and Power: International Perspectives on Literacy as Policy and Practice. Taylor & Francis. hlm. 152. ISBN0-8229-1177-9.