Petrus Yu Chong-nyul (1836-1866) adalah seorang martir Katolik Korea. Ia lahir pada tahun 1836 di Nonje, Pyongyang. Dia menjadi yatim piatu ketika masih kecil. Dia sangat miskin, dan dia mencari nafkah dengan menjual sepatu jerami. Dia mudah sekali marah dan suka memperlakukan istrinya dengan kasar. Dia juga suka berjudi.
Sekitar tahun 1863 atau 1864 dia belajar agama Katolik. Pada tahun 1864, ketika dia berusia 28 tahun, dia pergi ke Seoul dan dibaptis oleh Uskup Berneux dan menerima nama Petrus. Setelah dia dibaptis, hidupnya berubah total. Dia memperlakukan istrinya dengan baik dan lembut. Sebagai silih untuk sikapnya yang kasar kepada istrinya, dia suka memukuli dirinya sendiri. Dia juga berhenti berjudi. Dia mengarahkan banyak orang ke iman Katolik dengan cara hidupnya yang lembut dan setia.
Pada tahun 1866, ada isu bahwa tak lama lagi akan ada penganiayaan, namun dia menjalani hidup dan bertindak dengan tenang. Pada Tahun Baru Lunar (Seollal) tahun 1866, mungkin dia telah diinspirasikan oleh Roh Kudus, karena dia berkeliling untuk mengucapkan selamat tinggal kepada para kerabatnya. Ketika dia mengunjungi stasi misi Kodunni pada sore hari pada hari itu dan berdoa bersama dengan Katekis Vinsensius Chong dan banyak orang lainnya, kemudian beberapa orang polisi segera masuk ke bangunan misi itu. Banyak orang Katolik melarikan diri, namun Petrus Yu dan sepupu dari Katekis Vinsensius Chong yaitu Alexius U Se-yong ditangkap. Petrus merasa senang akan kesempatan untuk menjadi seorang martir. Mereka dibawa ke Pyongyang dan dipenjarakan di sana.
Gubernur Pyongyang menyuruh beberapa orang yang telah murtad untuk memukuli Petrus dengan gada. Orang-orang yang telah murtad yang menolak untuk memukuli Petrus akan dipukuli oleh orang-orang suruhan Gubernur. Petrus Yu akhirnya dipukuli sampai mati pada tanggal 17 Februari 1866 pada usia 30 tahun. Untuk memastikan bahwa dia sudah mati, gubernur menyuruh orang-orangnya membakar jenazah Petrus. Kemudian, lima orang yang telah murtad membuang jenazahnya ke Sungai Taedong. Pada malam itu, istri Petrus mengambil jenazah suaminya itu dari sungai dan memakamkannya di pemakaman keluarga.
Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1876, gubernur memerintahkan untuk mendirikan sebuah monumen di sungai itu. Sebenarnya, monumen batu itu didirikan untuk memuji gubernur karena telah membunuh orang Katolik namun justru monumen itu menjadi bukti kemartiran Petrus. Monumen itu diperkirakan masih berdiri di Pyongyang.[1]
Referensi