Petrus Bima Anugrah atau kadang ditulis pula Bima Petrus Anugrah atau akrab disapa Bimpet oleh sesama aktivis, lahir 24 September 1973,[1] adalah mahasiswa dan aktivis SMID, dan kemudian Partai Rakyat Demokratik, yang hilang diculik sejak 1 April 1998. Ia hilang setelah dibebaskan dari penahanan 60 hari akibat razia yang menyebabkan penyamaran Petrus Bima Anugrah dan kawan-kawan terbongkar selepas menyebarkan kampanye Mega - Bintang.[2][3]
Masa kecil dan Pendidikan
Petrus Bima Anugrah adalah anak dari pasangan Dionysius Utomo Rahardjo dan Genoneva Misiati[4] Dia anak kedua dari empat bersaudara. Namanya diilhami sebuah sandiwara radio yang sering didengarkan ibunya saat hamil sambil menggoreng biji kopi, ketika menjelang senja. Setelah dewasa, ia bersekola di Sekolah Menengah Umum Dempo, yang membuatnya mulai tertarik ke dunia politik.[3]
Ia awalnya kuliah di FISIP Universitas Airlangga, dan kemudian mendirikan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), yang bermetamorfosis menjadi PRD. Namun, Ia kemudian pindah ke Jakarta untuk memperkuat perlawan terhadap Orde Baru dan meneruskan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.[5]
Perlawanan terhadap Orde Baru
Sejak kuliah, Petrus Bima Anugrah sudah gigih menyuarakan reformasi dan penumbangan Suharto. Ia aktif mendirikan dan membangun SMID dan kemudian PRD. Ia aktif berkeliling, mendengar curahan hati rakyat kecil, dan kemudian memyuarakannya dalam perjuangan. Ia melihat gersang dan kelaparannya rakyat pada saat elit politik bersenang-senang menjelang tahun 1997-1998.[6] Salah satu ungkapannya yang terkenal menyikapi hal ini adalah
Presiden tinggal di istana enak-enak. Sedangkan di sekitar istana banyak anak sekolah tak bersepatu, makan sehari sekali.[6]
Selain itu, Petrus Bima Anugrah bersama sejumlah temannya di SMID menjadikan pencabutan Dwi Fungsi ABRI dan pencabutan UU Politik yang membungkam kebebasan berorganisasi.[6] Ia dan Sereida, aktivis lainnya, mewakili potret anak muda radikal era 1990-an yang berani menentang Orde Baru yang masih berkuasa. Petrus Bima Anugrah berperan sebagai kurir, sementara Sereida menjadi pengurus pendanaan dan usaha. Tugas utamanya mendistribusikan keputusan dan perintah dari struktur Komando Nasional ke masing-masing Komando Wilayah, dengan media utama pager dengan sandi. Ia dikenal sangat disiplin. Selain pager, mereka juga memiliki dua laptop plus modem yang saling mengenskripsi untuk keamanan data.[7]
Tertangkap aparat
Penangkapan Petrus Bima Anugrah telah terjadi jauh hari sebelum ia menghilang. Ia ditangkap pada tahun 1997 karena ketahuan menyebarkan kampanye Mega - Bintang, yang pada saat itu direpresi oleh pemerintahan Orde Baru. Namun tidak banyak yang mengetahui penangkapan ini, bahkan orangtuanya sendiri.[3] Ia ditahan bersama Ilhamsyah dan Herny Suwalang.[2]
Sejak tanggal 12 Maret 1998, satu per satu aktivis diculik, dibunuh, atau ditangkapi. Pius Lustrilanang, Desmond Junaedi Mahesa, Faisol Riza, Herman Hendrawan, Raharja W Jati, dan menyusul kemudian Mugiyanto, Aan Rusdiyanto, dan Nezar Patria, mulai menghilang setelah didatangi unit khusus militer yang bekerja dalam senyap. Namun Bima Petrus segera menyadari ketidak beresan yang terjadi dan menghilang.[8] Untuk menghindari kejaran aparat, ia bersembunyi dan diberi nama sandi Marcell.[7]
Saat 1 April 1998, Petrus Bima Anugerah terlihat untuk terakhir kali, saat pertemuan dengan Sereida Tambunan. Ia menyampaikan pesan:
Kalau aku tidak bisa di-pager satu jam setelah pertemuan di Grogol, berarti kondisiku dalam bahaya. Kalau satu jam setelahnya masih kesulitan dihubungi, kabarkan ke kawan-kawan aku hilang.[7]
Pesan itu disampaikan di sebuah rumah makan padang di seberang Departemen Kesehatan.[7] Setelahnya ia tak ada kabar sama sekali, padahal sudah berjanji akan kembali ke kampung halamannya untuk merayakan paskah.[6] Sementara itu, dalam interogasi dan penyiksaan terhadap enam aktivis, aparat justru mempertanyakan keberadaannya bersama Wiji Thukul dan lainnya yang hingga saat ini juga hilang.[7]
Referensi