Pesawat pengebom V (bahasa Inggris: V bombers) adalah pesawat pengebom Angkatan Udara Britania Raya (RAF) pada tahun 1950an dan 1960an yang bersama-sama membentuk kekuatan penyerang nuklir strategis negara tersebut. Bersama-sama, pesawat-pesawat ini memiliki nama resmi V force atau Bomber Command Main Force. Terdapat tiga model pesawat pengebom strategis dengan kemampuan membawa senjata nuklir yang menjadi bagian kekuatan ini, yaitu Vickers Valiant (mulai beroperasi 1955), Avro Vulcan (1956) dan Handley Page Victor (1958). Kekuatan pengebom ini mencapai puncak pada Juni 1964, dengan kekuatan 50 pesawat Valiant, 70 pesawat Vulcan dan 39 pesawat Victor.
Pengebom V juga mampu menjatuhkan senjata konvensional, didukung oleh sistem komputer analog yang kompleks yang dikenal sebagai Navigation and Bombing System yang memungkinkan pengeboman yang akurat bahkan dalam jarak yang sangat jauh. Valiant digunakan selama Krisis Suez sebagai pengebom konvensional. Beberapa Victor dikerahkan ke Kepulauan Melayu sebagai sebuah deterensi selama konfrontasi Indonesia-Malaysia tetapi tidak digunakan dalam misi saat itu. Vulcan terkenal karena serangan udara Black Buck konvensionalnya selama Perang Falkland 1982. Untuk mendukung misi tersebut, versi pesawat tanker dari ketiga desain dikembangkan. Versi pengintaian diproduksi, dan modifikasi lainnya juga dilakukan selama masa layanan mereka.
Valiant dikeluarkan dari layanan pada tahun 1964 setelah mengalami masalah kelelahan logam pada sayapnya, dan varian terbang rendah yang direncanakan tidak berkembang melampaui tahap purwarupa. Penggunaan semua pengebom V sebagai platform senjata, nuklir atau konvensional, berakhir pada 1982.
Latar belakang
Komando PengebomAngkatan Udara Britania Raya (RAF) mengakhiri Perang Dunia Kedua dengan kebijakan menggunakan pengebom bermesin berat empat piston untuk pengeboman massal dan tetap berkomitmen pada kebijakan ini dalam periode pasca-perang. RAF mengadopsi Avro Lincoln, versi terbaru dari Avro Lancaster sebagai pengebom standar untuk tugas ini. Produksi Lincoln berlanjut setelah perang, dan pada akhirnya 450 unit dibuat. Meskipun disebut-sebut sebagai pengebom besar pada tahun 1945, ia tidak memiliki jangkauan untuk mencapai target di Uni Soviet, dan akan rentan terhadap jet tempur baru yang saat itu sedang dalam pengembangan.[1]
Unsur-unsur dalam RAF dan pemerintah Britania berusaha untuk mengadopsi persenjataan nuklir baru dan kemajuan dalam teknologi penerbangan untuk memperkenalkan cara yang lebih kuat dan efektif untuk melakukan peperangan. Pada bulan November 1944, Kepala Staf Britania telah meminta laporan dari Sir Henry Tizard tentang kemungkinan sarana perang di masa depan. Melaporkan tanpa pengetahuan mengenai kemajuan upaya Sekutu untuk menghasilkan bom atom, pada Juli 1945 Komite Tizard mendesak dorongan penelitian energi atom skala besar. Komite ini meramalkan dampak buruk dari senjata atom dan membayangkan pesawat pengebom jet yang melaju pada 500 mph (800 km/h) pada ketinggian 40.000 ft (12.000 m). Diperkirakan bahwa agresor potensial Britania mungkin akan menjadi gentar karena Britania akan membalas dengan senjata atom jika diserang.[2]
Bahkan pada saat itu, ada orang-orang yang memahami bahwa rudal berpandu pada akhirnya akan membuat pesawat pengebom menjadi rentan, tetapi pengembangan rudal dengan kemampuan seperti itu sulit dilakukan. Di samping itu, pengebom jet yang terbang cepat dan tinggi kemungkinan akan beroperasi selama bertahun-tahun sebelum ada kebutuhan untuk pengebom yang lebih baik. Pengebom tidak perlu dibuat secara massal jika pengebom tunggal dapat menghancurkan seluruh kota atau instalasi militer dengan senjata nuklir. Pengebom dengan tugas seberti ini haruslah pengebom berukuran besar, karena senjata nuklir generasi pertama berukuran besar dan berat. Pengebom besar dan canggih semacam itu akan memiliki harga mahal per unitnya, karena akan diproduksi dalam jumlah kecil.[3]
Pada awal Perang Dunia Kedua, Britania memiliki proyek senjata nuklir, dengan nama sandi Tube Alloys,[4] yang oleh Perjanjian Quebec 1943 digabungkan dengan Proyek Manhattan Amerika. Pemerintah Britania percaya bahwa Amerika Serikat akan terus berbagi teknologi nuklir, yang dianggap sebagai penemuan bersama, setelah perang, tetapi Undang-Undang Energi Atom Amerika Serikat tahun 1946 (Undang-Undang McMahon) mengakhiri kerja sama teknis.[5] Pemerintah Britania melihat ini sebagai kebangkitan isolasionisme Amerika Serikat, seperti yang terjadi setelah Perang Dunia Pertama, dan takut kemungkinan bahwa Britania mungkin harus melawan sebuah agresor sendirian.[6] Ia juga khawatir bahwa Britania akan kehilangan status kekuatan besarnya dan pengaruhnya dalam urusan dunia. Oleh karena itu Britania memulai kembali upaya pengembangan senjata nuklirnya sendiri,[7] yang sekarang diberi nama sandi High Explosive Research.[8] Bom atom Britania pertama kali diuji dalam Operasi Hurricane pada 3 Oktober 1952.[9]
Pengembangan
Pada bulan November 1946, Kementerian Udara mengeluarkan persyaratan operasional (OR230) untuk sebuah pengebom jet canggih yang mampu membawa bom seberat 10,000-pon (4,536 kg) menuju target berjarak 2,000 mil laut (3,704 kilometer) dari pangkalan di mana saja di dunia dengan kecepatan jelajah 500 knot (930 km/h) dan pada ketinggian antara 35.000 dan 50.000 kaki (11.000 dan 15.000 m). Berat bom ini muncul dari persyaratan operasional sebelumnya untuk bom atom (OR1001), yang merinci berat maksimumnya, yaitu 10,000 pon (4,536 kg). Persyaratan kecepatan dan ketinggian didasarkan pada kemampuan yang dianggap perlu untuk menembus pertahanan udara musuh. Pesawat itu sendiri memiliki berat tidak lebih dari 200.000 pon (91.000 kg). Kementerian Pemasok pada awalnya menolak OR230. Perhitungan menunjukkan bahwa pesawat semacam itu akan membutuhkan landasan pacu sepanjang 2.000 yard (1.800 m). Landasan pacu Komando Pengebom dibangun untuk menangani Lancaster, dan memperpanjangnya akan menjadi pekerjaan yang mahal, tidak hanya melibatkan konstruksi tambahan, tetapi juga pembebasan lahan dan pekerjaan pembongkaran. OR230 tidak akan pernah dipenuhi, dan pada akhirnya dibatalkan pada 17 September 1952.[10]
Komite Persyaratan Operasional bertemu untuk membahas OR230 pada 17 Desember 1946. Komite ini diketuai oleh Wakil Kepala StafUdara, Marsekal Udara Sir William Dickson, dengan Stuart Scott-Hall, Direktur Utama Pengembangan Teknis (Air) yang mewakili Kementerian Pemasok. Hasilnya adalah Persyaratan Operasional baru (OR229) pada 7 Januari 1947. Isinya sama dengan OR230, tetapi jangkauannya dipangkas menjadi 1,500 mil laut (2,778 km) dan beratnya berkurang menjadi 100.000 pon (45.000 kg). OR229 menjadi dasar spesifikasi Kementerian Udara, B.35/46. Permintaan untuk desain ditujukan kepada sebagian besar produsen pesawat utama di Britania Raya: Handley Page, Armstrong Whitworth, Avro, Bristol, Short Brothers, dan English Electric.[11]
Pada 30 April 1947, Armstrong Whitworth, Avro, English Electric dan Handley Page diundang untuk mengajukan tender desain formal. Konferensi desain tender diadakan pada tanggal 28 Juli 1947, dan memutuskan untuk memesan desain yang diajukan oleh Avro, bersama dengan model terbang kecil untuk menguji desain sayap delta-nya. Konferensi ini juga memutuskan untuk menyelidiki konsep sayap sabit sebagai asuransi jika desain sayap delta yang diunggulkan mengalami kegagalan. Desain Handley Page dan Armstrong Whitworth dipertimbangkan. Kementerian Pemasok memberikan perlindungan keuangan dalam bentuk pesanan Intention to Proceed (ITP) kepada Avro pada bulan November 1947. Komite penasihat memilih desain Handley Page pada tanggal 23 Desember 1947, dan juga diberikan ITP.[12]
Pertemuan 17 Desember 1946 yang menghasilkan OR230 juga memutuskan untuk meminta penawaran untuk desain yang lebih konservatif yang dapat digunakan lebih cepat, dan dapat bertindak sebagai asuransi lebih lanjut terhadap kegagalan kedua desain yang lebih maju. Ini dinyatakan dalam persyaratan operasional lain (OR239), yang menghasilkan spesifikasi Kementerian Udara, B.14/46, yang dikeluarkan pada 11 Agustus 1947. Desain ini memiliki ketinggian jelajah dan persyaratan kecepatan yang lebih rendah daripada B.35/46, tetapi untuk syarat lainnya identik. Sebuah desain juga diajukan oleh Shorts, yang diberi ITP pada bulan November 1947.[12] Hasilnya adalah desain yang sangat konservatif dengan sayap lurus, Short Sperrin, yang sedikit lebih dari sekadar Lincoln bertenaga jet.[13]
Sementara itu, Vickers-Armstrong telah menghasilkan desain sayap menyapu, Vickers 660. Desain ini telah ditolak karena tidak memenuhi spesifikasi B.35/46, tetapi perkiraan kinerja Sperrin menyebabkan para pejabat di Kementerian Udara mengambil pandangan lain. Spesifikasi baru, B.9/48, dibuat berdasarkan desain Vickers-Armstrong[14] dan dikeluarkan pada 19 Juli 1948. ITP diberikan kepada Vickers-Armstrong pada April 1948, diikuti oleh kontrak untuk dua purwarupa pada Februari 1949, sedangkan Shorts hanya diberikan kontrak untuk dua purwarupa pada Februari 1949. Purwarupa pertama Vickers 660 terbang pada 18 Mei 1951,[13] tiga bulan sebelum purwarupa pertama Sperrin, yang pertama terbang pada 10 Agustus 1951. Tidak lagi diperlukan, Sperrin dibatalkan, hanya dua purwarupa yang dibuat.[15]
Vickers-Armstrong menamai pesawatnya Vickers Valiant. Sejak dahulu, pengebom dinamai dengan nama kota-kota Britania atau Persemakmuran, tetapi pada Oktober 1952 Kementerian Udara memutuskan untuk mengadopsi nama alliterate, sehingga desain lainnya menjadi Avro Vulcan dan Handley-Page Victor. Selanjutnya, ketiganya akan dikenal sebagai pengebom V.[14][16] Meskipun lebih mahal daripada pendekatan membangun satu desain pengebom per kategori, RAF bersikeras untuk memiliki tiga pilihan. Marsekal Kepala Udara Sir John Slessor yakin jika angkatan udara dipaksa untuk memilih di antara tiga pengebom Britania yang sedang dikembangkan pada akhir 1930-an—Avro Manchester, Short Stirling, dan Handley Page Halifax— mereka akan memilih pesawat yang salah.[17]
Sebagai pengganti sementara, Britania mengumumkan pada tanggal 27 Januari 1950 bahwa mereka telah setuju untuk mengakuisisi pengebom Boeing B-29 Superfortress dari Amerika Serikat secara gratis di bawah Undang-Undang Bantuan Pertahanan Bersama Amerika. Ini memungkinkan Kementerian Udara untuk menghentikan pengembangan Sperrin. B-29 bertugas di RAF dengan nama Washington B1.[18] RAF menerima Washington pertamanya pada 22 Maret 1950, dan yang ke-87 dikirim pada Juni 1952.[19] Seperti Lincoln, itu adalah pesawat bermesin piston, dan sementara pesawat itu memiliki jangkauan untuk mencapai Uni Soviet dari pangkalan-pangkalan Britania, ia tidak memiliki kemampuan membawa senjata nuklir.[18] RAF berencana menggunakannya melawan pangkalan pengebom Soviet. Pesawat Washington mengalami masalah perawatan karena kurangnya suku cadang, sebagian besar dikembalikan ke AS antara Juli 1953 dan Juli 1954, empat unit tetap beroperasi sampai 1958.[20] Peran mereka digantikan oleh bomber Canberra Electric Canberra berpendorong jet.[18]
Dalam layanan
Generasi pertama
Ketika bom atom Blue Danube pertama dikirim ke Komando Pengebom Armaments School di RAF Wittering pada 7 dan 11 November 1953,[21] RAF tidak memiliki pengebom yang mampu mengangkutnya.[22] Sir William Penney mencatat bahwa "RAF telah menangani pesawat untuk waktu yang lama dan dapat menerbangkan Valiant begitu pesawat-pesawat itu keluar dari jalur produksi. Namun, Angkatan Udara Kerajaan Britania masih belum menangani senjata atom, oleh karena itu, kami harus memberi beberapa bom nuklir kepada RAF secepat mungkin, sehingga penanganan dan servis dapat dipraktikkan [secara nyata] dan sepenuhnya berhasil."[23] Canberra dan Valiant diberikan status "super prioritas" pada 13 Maret 1952, dan pada bulan Desember Vulcan dan Victor juga menerimanya.[24]
Valiant mulai diproduksi sebagai pengebom V pertama pada tahun 1955.[25] Valiant mulai beroperasi pada Februari 1955,[26] Vulcan pada Mei 1956 dan Victor pada November 1957.[27]Unit Konversi Operasional No. 232 dibentuk di RAF Gaydon pada Juni 1955 dan pelatihan kru udara dimulai.[28] Skuadron Valiant pertama, Skuadron No. 138, dibentuk di RAF Gaydon pada Januari 1955,[29][27] diikuti oleh Skuadron No. 543, yang dibentuk di RAF Gaydon pada 1 Juni 1955 sebelum pindah ke RAF Wyton. Dua pangkalan Valiant lainnya didirikan di RAF Marham dan RAF Honington pada tahun 1956, dan enam skuadron lainnya dibentuk secara berurutan: Skuadron No. 214 di RAF Marham pada bulan Maret, Skuadron No. 207 di RAF Marham dan Skuadron No. 49 di RAF Wittering pada bulan Mei, Skuadron No. 148 di RAF Marham pada bulan Juli, Skuadron No. 7 di RAF Honington pada bulan November dan akhirnya Skuadron No. 90 di RAF Honington pada Januari 1957.[30]
Vulcan XA895 dialokasikan ke Unit Konversi Operasional No. 230 di RAF Waddington pada Januari 1957, dan pelatihan awak udara Vulcan dimulai. Skuadron Vulcan pertama, Skuadron No. 83, dibentuk di RAF Waddington pada Mei 1957. Skuadron Vulcan pertama kali digunakan dari unit Konversi Operasional No. 230 hingga menerima Vulcan pertama, XA905, pada 11 Juli 1957. Diikuti oleh No 101 Skuadron, yang dibentuk di RAF Finningley pada 15 Oktober 1957.[31] Skuadron Vulcan ketiga, Skuadron No. 617, dibentuk pada 1 Mei 1958 di RAF Scampton, pangkalan yang sama tempat mereka melakukan Serangan Dambuster di Mei 1943.[32] Unit Operasional Konversi No. 232 menerima pengiriman Victor pertamanya pada tanggal 29 November 1957.[33] Skuadron Victor operasional pertama adalah Skuadron RAF No. 10, yang menerima Victor pertamanya pada tanggal 9 April 1958 dan dibentuk pada 15 April. Ini diikuti oleh Skuadron No. 15, yang dibentuk pada 1 September 1958, dan Skuadron No. 57, yang dibentuk pada 1 Januari 1959.[34]
Pasukan serangan nuklir Britania dikenal secara resmi sebagai pasukan V atau Pasukan Utama.[35] Aset pasukan V pada akhir 1958 adalah:[36]
Pengembangan pesawat tempur jet yang efektif dan pertahanan rudal antipesawat udara membuat deterensi nuklir yang dikirimkan dari pesawat pengebom yang terbang tinggi semakin tidak efektif. Sementara membuat pengebom V menjadi lebih cepat untuk menghindari ancaman itu adalah solusi yang bermasalah, peningkatan mesin menawarkan kemungkinan untuk terbang lebih tinggi. Karena pesawat tempur Mikoyan-Gurevich MiG-19 yang mulai beroperasi di Uni Soviet memiliki ketinggian operasional maksimum 17.899 m, sebuah pengebom V dapat menghindarinya dengan terbang di ketinggian lebih dari 18.000 m. Dua lusin model baru Vulcan, B.2, dengan mesin Bristol Olympus 201 bertenaga 17.000 lbf (76 kN), lebar sayap sedikit lebih besar dan sistem listrik dan elektronik baru dipesan pada 25 Februari 1956. 17 pesawat terakhir yang beredar dari pesanan September 1954 dan 8 dari pesanan Maret 1955 dialihkan ke B.2, sehingga total sebanyak 49 pesanan. Sebanyak 40 lainnya dipesan pada 22 Januari 1958. Model pra-produksi, XH533, pertama kali terbang pada 19 Agustus 1958 dan dalam uji coba pada 4 Maret 1959 mencapai ketinggian 18.700 m. Sayap dan mesin baru juga meningkatkan jangkauan terbang, mencapai 250 hingga 300 mil (400 hingga 480 km). B.2 produksi kedua, XH558, dikirim ke Unit Konversi Operasional No. 230 pada 1 Juli 1960. Ketika Vulcan B.2 diterima, B.1 ditarik dari layanan dan ditingkatkan ke standar B.1A dengan pemasangan lebih banyak elektronik. Sebagian besar pekerjaan ini dilakukan oleh Armstrong Whitworth.[37]
Modifikasi untuk Victor B.1 dibuat pada tahun 1959. Modifikasi ini termasuk penambahan prob pengisian bahan bakar dalam penerbangan, peralatan penangkal elektronik baru (ECM), radar peringatan ekor, tepi depan sayap merunduk (drooped leading edges) dan kabin tekanan yang diperkuat. Versi modifikasi ini dikenal sebagai Victor B.1A. Versi yang ditingkatkan dari Victor juga diprogram dengan mesin Armstrong Siddeley Sapphire 9, versi yang ditingkatkan dari Sapphire 7 di Victor B.1. Namun, pengembangan Sapphire 9 dibatalkan oleh Kementerian Pemasok pada Februari 1956, dan peningkatan kecil ke Sapphire 7 pada Maret 1956 meningkatkan daya dorongnya menjadi 11.000 lbf (49 kN), jadi diputuskan untuk melengkapi 25 unit dari 33 Victor dari batch produksi berikutnya yang dipesan pada Mei 1955 dengan mesin Sapphire 7. Delapan sisanya, bersama dengan 18 Victor lainnya yang dipesan pada Januari 1956, diproduksi sebagai Victor B.2s, dengan mesin Rolls-Royce Conway RCo.11 yang menyediakan tenaga sebesar 17.250 lbf (76,7 kN). Mesin Conway yang baru membutuhkan saluran udara yang diperbesar dan didesain ulang untuk memberikan aliran udara yang lebih besar, dan lebar sayap diperluas dari 110 hingga 120 kaki (34 hingga 37 m). Seperti pada Vulcan, sistem listrik DC diganti dengan AC.[38] Purwarupa Victor B.2, XH668, pertama kali terbang pada 20 Februari 1959, tetapi hilang di atas Laut Irlandia pada 20 Agustus. B.2 produksi pertama, XL188, dikirim pada 2 November 1961, dan No. 139 Skuadron menjadi skuadron Victor B.2 pertama pada 1 Februari 1962.[39]
Pasukan Pengebom V mencapai puncak kekuatannya pada Juni 1964, ketika 50 Valiant, 70 Vulcan, dan 39 Victor beroperasi dalam dinas.[40] Dalam tinjauan retrospeksi, keputusan untuk melanjutkan dengan tiga pengebom V dipertanyakan. Ternyata, semua peran bisa dilakukan oleh Valiant, dan model B.2-nya dirancang khusus untuk operasi tingkat rendah yang akan dilakukan pasukan Pengebom V pada tahun-tahun berikutnya.[41] Selain itu, alasan untuk memproduksi Vulcan dan Victor telah menghilang sejak awal produksi. Karena memproduksi Victor B.2 alih-alih berkonsentrasi pada Vulcan B.2 sangat meragukan dan Kepala Udara Marsekal Sir Harry Broadhurst mengaitkannya dengan lobi yang dilakukan Sir Frederick Handley Page. Lobi tersebut dilakukan atas keinginannya untuk mempertahankan pekerjaan di industri penerbangan dan karena pemerintah menginginkan mesin Rolls-Royce Conway diproduksi untuk pesawat Vickers VC10.[42]
Misi nuklir
Pemerintah Britania sangat menyadari kehancuran yang akan ditimbulkan oleh perang nuklir. Sebuah laporan tahun 1953 memperkirakan bahwa serangan terhadap Britania dengan 132 senjata fisi akan menghasilkan 2 juta korban. Sebuah studi lanjutan, yang mempertimbangkan kemungkinan efek bom hidrogen, memperkirakan bahwa sedikitnya sepuluh unit dapat mengurangi seluruh Britania menjadi reruntuhan radioaktif.[43] Karena pertahanan dinilai tidak praktis, Britania beralih ke kebijakan penggentar, dengan menargetkan populasi dan pusat administrasi Uni Soviet.[44] Pada tahun 1957, Kementerian Udara menyusun daftar 131 kota Soviet dengan populasi 100.000 atau lebih. Dari jumlah tersebut, 98 berada dalam 2.100 mil laut (3.900 km) dari Britania.[45] Dari jumlah tersebut, 44 dipilih. Diperkirakan bahwa kehancuran mereka akan membunuh sekitar tiga puluh persen dari populasi perkotaan Uni Soviet, sekitar 38 juta orang.[46]
Hampir tidak dapat dibayangkan bahwa perang dengan Uni Soviet tidak akan melibatkan Amerika Serikat, dan pada awal 1946,[47] perencanaan pertahanan Amerika dipertimbangkan menggunakan Britania sebagai pangkalan untuk serangan nuklir di Uni Soviet, karena Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) belum mengembangkan pengebom jarak jauh yang dapat menyerang target utama di Uni Soviet dari pangkalan di Amerika Serikat. Tetapi strategi Amerika Serikat menilai bahwa serangan terhadap pusat-pusat populasi akan memiliki nilai yang kecil begitu perang benar-benar dimulai, dan justru memprioritaskan target militer, terutama yang dapat meluncurkan atau mengerahkan senjata nuklir.[48]
Koordinasi rencana perang antara Komando Pengebom RAF dan Komando Udara Strategis USAF (SAC) jelas diinginkan, dan rencana perang bersama dinegosiasikan antara 1954 dan 1958.[49] Pasukan pengebom nuklir RAF mampu menghancurkan target-target utama sebelum pesawat pengebom dari Amerika Serikat telah memasuki wilayah udara Soviet, "dengan mempertimbangkan kemampuan Komando Bomber untuk menyerang sasaran dalam gelombang pertama beberapa jam sebelum pasukan pengebom SAC utama yang beroperasi dari pangkalan-pangkalan di Amerika Serikat datang."[50] Berdasarkan asumsi bahwa Komando Pengebom RAF akan memiliki sekitar 100 pengebom V dalam operasi pada tahun 1959, perjanjian SAC/RAF menetapkan 106 target ke Britania, yaitu 69 kota, 17 pangkalan penerbangan jarak jauh, dan 20 situs pertahanan udara. Serangan pada instalasi pertahanan udara akan membuka jalan bagi gelombang pengebom SAC setelahnya. Rencana tersebut diperbarui setiap tahun karena kemampuan Soviet meningkat, lebih banyak penekanan ditempatkan pada menyerang lapangan terbang dan pangkalan rudal.[51]
Pengujian nuklir
Unit Valiant Khusus, Penerbangan No. 1321 dibentuk di RAF Wittering pada 3 Agustus 1954[52] yang melakukan uji coba balistik dengan bom latihan Blue Danube. Itu menjadi Penerbangan C Skuadron No. 138 pada bulan Maret 1956, dan Skuadron No. 49 pada 1 Mei 1956. Valiant WZ366 dan WZ367 kemudian diterbangkan ke Maralinga, Australia Selatan untuk Operasi Buffalo. Skuadron B.1 WZ366 dari Skuadron No. 49 menjadi pesawat RAF pertama yang menjatuhkan bom atom operasional ketika melakukan uji penurunan Blue Danube 3-kt yang dikurangi daya ledaknya di Maralinga pada 11 Oktober 1956. Bom mendarat sekitar 100 yard (91 m) di kiri dan 60 yard (55 m) di depan target. Pilotnya adalah Pemimpin Skuadron Edwin Flavell, dan pengarah bom itu adalah Letnan Penerbangan Eric Stacey, dan keduanya dianugerahi Air Force Cross.[53][54]
Pada 15 Mei 1957, Valiant B.1 XD818 yang diterbangkan oleh Komandan WingKenneth Hubbard menjatuhkan bom hidrogen Britania pertama di Pasifik, "Short Granit", sebagai bagian dari Operasi Grapple.[55] Skuadron No. 49 dipilih untuk melakukan penjatuhan senjata aktif dan dilengkapi dengan Valiant yang dimodifikasi khusus untuk memenuhi persyaratan ilmiah dari pengujian dan tindakan pencegahan lainnya untuk melindungi terhadap panas dan radiasi.[56] Tes ini sebagian besar gagal, karena daya ledak yang diukur kurang dari sepertiga dari yang maksimum diharapkan dan perangkat gagal mencapai ledakan termonuklir seperti yang diinginkan. Bom hidrogen Britania pertama yang diledakkan sesuai rencana adalah Grapple X Round A, jatuh pada 8 November 1957.[57] Serangkaian tes Grapple berlanjut hingga 1958, dan bom Grapple Y meledak pada April 1958 dengan daya ledak sepuluh kali lipat "Granit Pendek".[58] Pengujian akhirnya berakhir pada November 1958 ketika pemerintah Britania memutuskan untuk menghentikan pengujian nuklir di atmosfer.[59]
Proyek E
Ketika produksi pengebom V meningkat, jumlah pengebom melebihi jumlah senjata nuklir Britania yang tersedia. Britania hanya memiliki sepuluh bom nuklir pada tahun 1955, dan hanya 14 pada tahun 1956.[44] Untuk membuat perbedaan, senjata nuklir Amerika diperoleh melalui Proyek E. Karena bom-bom tersebut dipegang oleh Amerika, RAF tidak dapat menggunakannya sebagai bagian dari penangkal nuklir nasional Britania yang independen, hanya senjata milik Britania yang dapat digunakan untuk tujuan itu.[60] Vulcan dan Victor dipersenjatai dengan bom buatan Britania Blue Danube, Red Beard, Violet Club, dan Yellow Sun dari kedua versi, Mk 1 dan Mk 2.[61] Modifikasi Proyek E untuk Valiant dimulai di RAE Farnborough pada Februari 1956. Pelatihan kru dilakukan bersama instruktur dari Amerika di RAF Boscombe Down.[62]
Pasukan pengebom V dikurangi menjadi 144 pesawat dan setengah dari jumlah tersebut akan dipersenjatai dengan senjata Proyek E.[63] 28 Valiant pertama dimodifikasi pada Oktober 1957; 20 Valiant yang tersisa, bersama dengan 24 Vulcan, telah siap dimodifikasi pada Januari 1959.[62] Di bawah Nota Kesepahaman Proyek E, personel AS memiliki hak penanganan atas senjata tersebut. Itu berarti AS melakukan semua tugas yang berkaitan dengan penyimpanan, pemeliharaan, dan kesiapannya. Walaupun bom-bom itu berada di pangkalan yang sama dengan pesawat pengebom, bom-bom itu disimpan di Secure Storage Areas (SSA) yang tidak diizinkan untuk dimasuki oleh staf Britania. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk menyimpan bom nuklir Britania dan Amerika bersama dalam SSA yang sama. Komando Pengebom menunjuk RAF Marham, RAF Waddington dan RAF Honington sebagai pangkalan dengan SSA milik AS. Tiga situs lainnya memiliki SSA Britania.[64] Penanganan bom oleh AS menciptakan masalah operasional. Prosedur penyerahan bom kepada RAF menambahkan sepuluh menit ekstra pada waktu reaksi pengebom,[65] dan persyaratan bahwa personel AS memiliki kewenangan perwalian senjata setiap saat berarti bahwa baik senjata maupun pengebom tidak dapat dipindahkan ke lapangan udara lain sesuka hati RAF.[66]
Awalnya, 72 buah bom nuklir Mark 5 dipasok untuk pengebom V.[67] Bom itu memiliki daya ledak hingga 100 kiloton TNT (420 TJ).[68] Keberhasilan pengembangan bom hidrogen di Britania, dan iklim hubungan internasional yang menguntungkan yang disebabkan oleh krisis Sputnik, menyebabkan Undang-Undang Energi Atom Amerika Serikat diubah lagi pada tahun 1958, yang mengakibatkan dimulainya kembali Hubungan Istimewa nuklir yang telah lama ditunggu-tunggu. antara Britania dan Amerika Serikat dalam bentuk Perjanjian Pertahanan Bersama AS-Britania tahun 1958.[69] Amerika Serikat sekarang setuju untuk memasok pengebom V dengan senjata skala megaton sebagai pengganti Mark 5[62] dalam bentuk bom nuklirMark 15 dan Mark 39.[67]Departemen Keuangan segera menanyakan apakah ini berarti program bom skala megaton Britania dapat dihentikan.[70] Jawabannya tidak, pembatasan operasional yang diberlakukan oleh Proyek E "secara efektif memberikan hak veto kepada pemerintah AS atas penggunaan setengah alat deterensi nuklir Britania".[71] Dengan bom buatan Britania yang cukup di tangan, masalah operasional dan konsep penangkal nuklir independen mulai mengemuka.[70]
Dewan Udara memutuskan pada tanggal 7 Juli 1960 bahwa senjata Proyek E akan dihentikan secara bertahap pada bulan Desember 1962, yang pada saat itu diperkirakan akan tersedia senjata skala megaton Britania yang cukup untuk melengkapi seluruh kekuatan pengebom strategis.[72] Senjata Proyek E diganti dengan bom Britania, Yellow Sun, di RAF Honington pada tanggal 1 Juli 1961 dan Waddington pada tanggal 30 Maret 1962.[73] Masalah yang dihadapi dalam pengembangan bom Red Beard menyebabkan penggantian senjata skala kiloton membutuhkan waktu lebih lama.[70] Valiant yang berbasis di Honington dan Wittering ditarik pada bulan April dan Oktober 1962,[74] dan Valiant terakhir dipensiunkan dari pasukan pengebom V pada bulan Juli 1965.[75] Latihan pemuatan senjata nuklir terakhir di RAF Marham — dengan Mark 43 — dilakukan pada Januari 1965, dan personel terakhir AS meninggalkan pangkalan tersebut pada bulan Juli.[76]
Serangan ketinggian rendah
Prospek pasukan pengebom Britania untuk dapat menghindari pertahanan udara Soviet meredup dengan kemunculan Mikoyan-Gurevich MiG-21, yang dilihat oleh Nigel Birch, Sekretaris Negara untuk Udara dan perwira senior RAF di Lanud Tushino pada 24 Juni 1956. Tidak ada perhatian segera mengenai ancaman jet tersebut karena desain Soviet sering memakan waktu beberapa tahun untuk diterapkan, tetapi ketinggian maksimumnya yang mencapai 20.000 m (65.610 kaki) merupakan ancaman yang nyata bagi para pengebom V. Begitu pula dengan rudalpermukaan-ke-udaraSA-2 yang baru, yang muncul pada tahun 1957. Salah satunya kemudian menembak jatuh Lockheed U-2 Amerika yang dipiloti oleh Francis Gary Powers di atas Uni Soviet pada tanggal 1 Mei 1960. Pada tahun 1957, pengebom supersonik Avro 730 dibatalkan. Pembatalan ini membebaskan dana untuk program rudal Blue Streak,[77] yang ironisnya juga dibatalkan pada 24 Februari 1960.[78] Untuk memperpanjang keefektifan dan umur operasional pengebom V, Persyaratan Operasional (OR1132), dikeluarkan pada tanggal 3 September 1954 untuk rudal standoff yang diluncurkan dari udara, berpeluncur roket dengan jangkauan 100 mil laut (190 km) yang bisa diluncurkan dari pengebom V. Ini menjadi Blue Steel. Kementerian Pemasok menempatkan kontrak pengembangan dengan Avro pada Maret 1956, dan mulai beroperasi pada Desember 1962.[79]
Pada saat ini, telah diantisipasi bahwa bahkan dengan Blue Steel, pertahanan udara Uni Soviet akan segera meningkat sehingga pengebom V mungkin merasa sulit untuk menyerang sasarannya, dan ada seruan untuk pengembangan Blue Steel Mark II dengan jangkauan setidaknya 600 mil laut (1.100 km).[80] Terlepas dari namanya, ini adalah rudal yang sama sekali baru, dan bukan pengembangan dari Mark I.[81]Menteri Penerbangan, Duncan Sandys, bersikeras bahwa prioritas diberikan untuk memasukkan Mark I ke dalam dinas[80] dan Mark II dibatalkan pada akhir tahun 1959.[81] Modifikasi yang cukup besar diperlukan agar Victor dapat membawa Blue Steel. Ini termasuk perubahan struktural pada ruang bom. Mesin baru 20.600 lbf (92 kN) Conway RCo.17 dipasang, bersama dengan sistem penyulut kombustor untuk agar keempat mesin dimulai secara bersamaan dan mengurangi waktu lepas landas menjadi 1,5 menit per pesawat. Sebanyak 23 pesawat Victor B.2 ditingkatkan ke standar baru, yang dikenal sebagai B.2R (untuk retrofit), dan dua unit tambahan dibangun dengan standar itu.[82]
Pemerintah Britania kemudian beralih ke Skybolt, sebuah rudal Amerika yang menggabungkan jangkauan Blue Streak dengan kemampuan pemindahan strategis Blue Steel dan berukuran cukup kecil sehingga dua unit dapat dibawa pada pengebom Vulcan.[83] Dipersenjatai dengan hulu ledak Red Snow buatan Britania, ini meningkatkan kemampuan pasukan pengebom V Britania, dan memperpanjang masa manfaatnya hingga akhir 1960-an dan awal 1970-an.[84] Komite Pertahanan Kabinet menyetujui akuisisi Skybolt pada bulan Februari 1960.[85] Vulcan B.2 dimodifikasi untuk membawa sepasang rudal Skybolt. Pesawat-pesawat itu dilengkapi dengan mesin 20.000 lbf (89 kN) Bristol Olympus 301, sayap yang diperkuat dan dua titik pemasangan khusus. Sebuah hulu ledak buatan Britania dirancang agar sesuai dengan kerucut hidung Skybolt, dan uji tembak palsu dilakukan di RAF West Freugh mulai tanggal 9 Desember 1961.[86] Hasilnya membuktikan bahwa tidak mungkin untuk memodifikasi Victor.[86] Proyek ini tiba-tiba terhenti ketika pemerintah AS membatalkan Skybolt pada tanggal 31 Desember 1962,[87] tetapi titik pemasangan sisa digunakan untuk memasang pod penangkal elektronikAN/ALQ-101 selama Perang Falkland.[88] Untuk menggantikan Skybolt, Perdana Menteri Britania, Harold Macmillan, menegosiasikan Perjanjian Nassau dengan Presiden Amerika SerikatJohn F. Kennedy pada tanggal 3 Januari 1963, di mana AS setuju untuk memasok Britania dengan rudal balistik yang diluncurkan kapal selamPolaris sebagai gantinya. Ini berarti awal dari akhir deterensi nuklir pengebom V, tetapi masih ada enam tahun lagi sebelum kapal selam nuklir dibangun dan Angkatan Laut Kerajaan Britania mampu mengambil alih tanggung jawab tersebut.[89]
Meskipun awalnya merupakan bagian dari pasukan V, tiga skuadron Valiant ditugaskan ke SACEUR sebagai bagian dari TBF (Pasukan Pengebom Taktis), sementara tetap menjadi bagian dari Komando Pengebom untuk pelatihan dan administrasi. Saat Victor dan Vulcan baru tersedia, Valiant menjadi surplus bagi pasukan V yang direncanakan sebanyak 144 pesawat. Diusulkan bahwa 24 Valiant dapat menggantikan 64 pengebom Canberra. Hal ini mewakili pengurangan numerik dalam kekuatan yang tersedia untuk SACEUR, tetapi peningkatan kemampuan karena kapasitas serangan segala cuaca dari Valiant. Keputusan tersebut diambil oleh Dewan Udara pada 15 Mei 1958. Skuadron pertama yang ditugaskan adalah Skuadron No. 207, pada 1 Januari 1960. Disusul Skuadron No. 49 pada 1 Juli, dan Skuadron No. 148 pada 13 Juli. Skuadron No. 49 dipindahkan ke RAF Marham sehingga ketiga skuadron terkonsentrasi di sana. Masing-masing skuadron dilengkapi dengan dua bom nuklir Mark 28 yang disediakan oleh Proyek E.[90] Ketiga skuadron TBF akhirnya menjadi satu-satunya skuadron pengebom Valiant karena yang lainnya dibubarkan atau diubah menjadi pesawat tanker atau peran pengintaian strategis.[91] Mereka mengadopsi Peringatan Reaksi Cepat SACEUR, di mana pengaturan dibuat sehingga tiga pesawat bersenjata selalu siap lepas landas dalam waktu 15 menit.[92] Skuadron tersebut juga menjadi pengebom V pertama yang mengadopsi peran serangan tingkat rendah, dengan cat putih diganti dengan kamuflase hijau.[91] Selama Krisis Rudal Kuba, setiap skuadron pasukan V menyimpan satu pesawat bersenjata lengkap beserta awaknya dengan waktu kesiapan 15 menit.[93]
Pada tahun 1963, RAF yakin bahwa, agar memiliki kesempatan untuk selamat, pengebom V harus menyerang pada ketinggian rendah. Di ketinggian di bawah 3.000 kaki (910 m), radar kurang efektif karena banyak derau yang dihasilkan dari pantulan tanah. Tiga skuadron Vulcan B.1A di RAF Waddington dan empat skuadron Victor B.1A di RAF Honington dan RAF Cottesmore diperintahkan untuk beralih ke operasi ketinggian rendah pada Maret 1963. Skuadron Vulcan B.2 dan Victor B.2 mengikuti pada 1 Mei 1964. Tanda dari doktrin baru ini adalah penggantian cat putih mereka dengan kamuflase hijau di permukaan bagian atas pesawat, dimulai dengan Vulcan XH505 pada 24 Maret 1964. Skuadron-skuadron itu juga dilengkapi dengan ECM baru, peralatan penentuan posisi tanah, dan radar pelacak medan . Pengujian yang dilakukan di Britania dan di Woomera menunjukkan bahwa Blue Steel dapat diluncurkan dari ketinggian rendah. Bom jatuh bebas Yellow Sun Mark II adalah cerita yang berbeda, dan pengebom V yang dilengkapi dengan bom itu harus mendaki ke ketinggian sedang untuk melepaskannya. Sebuah bom baru, WE.177 dikembangkan. Pengiriman bom berdaya ledak 450-kiloton-TNT (1.900 TJ) WE.177B kepada RAF dimulai pada bulan September 1966.[94] Melalui Proyek E dan pengenalan bom Red Beard yang lebih kecil dan lebih ringan, yang mulai beroperasi pada tahun 1960, pada pertengahan 1960-an Canberra dan Pasukan Penerbang Armada Angkatan Laut Kerajaan Britania mampu mengirimkan senjata nuklir,[95] tetapi kekuatannya tidak signifikan jka dibandingkan dengan 109 pengebom Victor dan Vulcan.[96]
Pengebom V secara resmi dibebaskan dari perannya sebagai sarana pengirim deterensi nuklir strategis Britania, yang secara resmi diteruskan kepada kapal selam dengan rudal balistik Polaris milik Angkatan Laut Kerajaan Britania pada tanggal 1 Juli 1969.[97] Misi Blue Steel terakhir diterbangkan pada tanggal 21 Desember 1970. Lima skuadron Vulcan terus bertugas dengan senjata WE.177B dalam peran taktis di Eropa dengan SACEUR. Skuadron No. 9 dan 35 dipindahkan ke RAF Akrotiri di Siprus, di mana mereka menggantikan pengebom Canberra untuk mendukung CENTO dan operasi di sisi selatan NATO. Kedua skuadron itu ditarik pada tahun 1975 setelah invasi Turki ke Siprus. Enam skuadron Vulcan masih diberi peran strategis dengan senjata WE.177 pada tahun 1981. Empat skuadron terakhir yang tersisa hampir dibubarkan pada tahun 1982 ketika mereka dipanggil untuk membantu dalam Perang Falkland.[98]
Misi konvensional
Krisis Suez
Pengebom V pertama yang terlibat penggunaan tempur dengan bom konvensional adalah Valiant dalam Operasi Musketeer, respons militer Britania-Prancis dalam Krisis Suez pada tahun 1956. Ini adalah kali pertama dan satu-satunya kasus Valiant menjatuhkan bom dalam operasi tempur.[99] Unit RAF mulai dikerahkan ke Malta pada bulan September 1956, dan ketika Israel menyerang Mesir pada tanggal 29 Oktober 1956, empat skuadron Valiant — No. 138, 148, 207 dan 214 Skuadron — ditempatkan di RAF Luqa.[100] Skuadron No. 138 adalah satu-satunya dengan pasukan lengkap dengan delapan Valiant; Nomor 148 dan 207 masing-masing memiliki enam unit, dan No. 214 hanya memiliki empat unit.[99] Tujuan awalnya adalah untuk menetralkan Angkatan Udara Mesir, yang diyakini memiliki sekitar 100 jet tempur Mikoyan-Gurevich MiG-15 dan 30 pesawat pengebom jet bermesin ganda Ilyushin Il-28. Sistem radar peringatan dini Mesir diketahui tidak beroperasi karena kurangnya pemeliharaan dan suku cadang, sehingga pengebom diperintahkan untuk beroperasi pada malam hari ketika pertahanan yang dikendalikan secara visual dalam kondisi paling tidak efektif.[100] Hal ini berarti RAF kembali pada penggunaan taktik yang dulu digunakan oleh Komando Pengebom dalam Perang Dunia Kedua. Akan tetapi, skuadron Valiant tidak dilatih atau dilengkapi untuk misi semacam itu. Tidak semua Valiant dilengkapi dengan Navigation and Bombing System (NBS) dan tidak bisa digunakan di semua unit yang memilikinya. Hal ini memaksa penggunaan pembidik bom visual yang lebih tua. Valiant dan Canberra dilengkapi dengan sistem navigasi radioGee-H, tetapi sistem tersebut tidak dapat digunakan karena tidak ada suar Gee-H di Timur Tengah. Namun, Valiant juga dilengkapi dengan radar Green Satin yang masih bisa digunakan.[101]
Misi pertama diterbangkan pada 31 Oktober, bekerja sama dengan pengebom Canberra dari Malta dan Siprus. Sasarannya adalah lima pangkalan udara Mesir di wilayah Kairo, termasuk Pangkalan Udara Kairo Barat. Pada menit terakhir, ditemukan bahwa lima belas pesawat angkut AS berada di Kairo Barat mengevakuasi warga sipil, dan target harus diubah saat pengebom sudah berada di udara. Pasukan Valiant menjatuhkan penanda target, dan kemudian Canberra menjatuhkan suar untuk menerangi area target. Hal ini memungkinkan Canberra lain untuk menjatuhkan bom di landasan pacu. Pola ini terulang dalam serangan terhadap empat lapangan udara di Delta Nil dan delapan di wilayah Terusan Suez selama dua malam berikutnya. Misi terakhir Valiant diterbangkan pada 3 November melawan Pulau El Agami, yang diyakini sebagai depot perbaikan kapal selam. Pada saat operasi berakhir, total sebanyak 450 ton panjang (460 t) bom telah dijatuhkan,[100] separuhnya jatuh dalam jarak 650 yard (590 m) dari sasarannya.[102] Hasilnya tidak mengesankan. Tiga dari tujuh pangkalan udara utama Mesir tetap beroperasi penuh, satu landasan pacu diperpendek, dan satu memiliki tiga kawah yang perlu diisi. Satu-satunya pangkalan udara yang benar-benar tidak berfungsi adalah Kairo Barat, dan hanya terjadi karena penghancuran pangkalan udara oleh Mesir sendiri.[100]
Timur Jauh
Pada tanggal 29 Oktober 1957, tiga Valiant dari Skuadron No. 214 terbang ke RAF Changi di Singapura selama dua minggu untuk mendapatkan pengalaman beroperasi di Timur Jauh. Ini dikenal sebagai Latihan Profiteer. Selanjutnya, detasemen kecil Valiant dan Vulcan dikerahkan ke Timur Jauh selama dua minggu setiap tiga bulan hingga Juni 1960. Meskipun Darurat Malaya sedang berlangsung saat ini, tidak satu pun dari pesawat Latihan Profiteer berpartisipasi dalam operasi tempur.[103] Ketika Valiant ditugaskan ke SACEUR untuk operasi di Eropa, misi konvensional di Timur Tengah diberikan ke Vulcan di RAF Waddington, sedangkan di Timur Jauh diberikan kepada Victor yang berbasis di RAF Cottesmore dan RAF Honington. Ketika Konfrontasi Indonesia memanas pada bulan Desember 1963, delapan Victor dari Skuadron 10 dan 15 dikirim ke Timur Jauh, bermarkas di RAF Tengah dan RAAF Butterworth. Kru biasanya berdinas dalam tur 3 bulan. Skuadron No. 10 dibubarkan pada bulan Maret 1964, dan Skuadron No. 15 pada bulan Oktober. Tanggung jawab untuk Timur Jauh kemudian jatuh pada detasemen Vulcan dari Skuadron No. 9, 12, dan 35. Ketegangan menurun setelah Maret 1965, dan ukuran detasemen dipotong menjadi empat pesawat. Pengerahan berakhir pada Agustus 1966.[104]
Perang Falkland
Selama Perang Falkland 1982, pengebom Vulcan dari Skuadron No. 44, 50, dan 101, didukung oleh pesawat tanker Victor dari Skuadron No. 55 dan 57, melakukan serangkaian tujuh misi serangan darat jarak jauh terhadap posisi Argentina di Kepulauan Falkland. Operasi itu diberi nama sandi Black Buck. Tujuan dari misi tersebut adalah untuk menyerang Bandara Port Stanley dan pertahanan terkaitnya.[105] Meskipun Vulcan mampu membawa amunisi konvensional, misi seperti ini sudah lama tidak dilakukan. Untuk membawa dua puluh satu bom 1.000-pon (450 kg), Vulcan membutuhkan tiga set rak pembawa bom, yang masing-masing dapat membawa tujuh bom. Pelepasan bom dikendalikan oleh panel di stasiun navigator yang dikenal sebagai "90 langkah" yang memantau semua sambungan listrik ke setiap bom dan menyediakan 90 langkah berbeda untuk melepaskan bom kepada navigator. Tak satu pun dari Vulcan di RAF Waddington dilengkapi dengan rak bom maupun "90 langkah". Pencarian di tempat pembuangan pasokan di Waddington dan RAF Scampton membuahkkan hasil, RAF menemukan panel "90 langkah", yang kemudian dipasang dan diuji, tetapi mencari rak bom septupel dalam jumlah yang banyak terbukti lebih sulit dilakukan, dan setidaknya sembilan buah rak diperlukan. Seseorang ingat bahwa beberapa telah dijual ke tempat pembuangan logam di Newark-on-Trent, dan mereka kemudian mengambilnya kembali dari sana. Pencarian bom dalam jumlah yang cukup juga sulit, hanya 167 buah bom yang dapat ditemukan, dan beberapa di antaranya memiliki kotak bom yang dicor alih-alih kotak bom yang dibubut.[106] Pelatihan awak dalam pengeboman konvensional dan pengisian bahan bakar dalam penerbangan dilakukan dari 14 hingga 17 April 1982.[107]
Penyerangan tersebut, dengan jarak hampir 6.800 mil laut (12.600 km) dan 15 jam perjalanan pulang, adalah serangan pengeboman terjauh dalam sejarah saat itu. Serangan Black Buck dilakukan dari RAF Ascension Island, dekat khatulistiwa. Vulcan tidak memiliki jangkauan untuk terbang ke Falkland tanpa mengisi bahan bakar beberapa kali, seperti halnya pesawat tanker Victor yang diubah, jadi mereka juga harus mengisi bahan bakar dalam penerbangan. Sebelas pesawat tanker dibutuhkan untuk dua Vulcan, upaya logistik yang sangat besar karena semua pesawat harus menggunakan landasan yang sama. Pesawat itu membawa dua puluh satu bom 1.000-pon (450 kg) secara internal atau dua atau empat rudal antiradar Shrike secara eksternal. Dari lima serangan Black Buck yang diterbangkan hingga selesai, tiga dilaksanakan untuk menyerang landasan pacu dan fasilitas operasional Landasan Udara Stanley, dan dua lainnya adalah misi antiradar menggunakan rudal Shrike melawan radar 3D jarak jauh Westinghouse AN/TPS-43 di area Port Stanley. Shrike menghantam dua radar pengendali tembakan sekunder yang tidak terlalu berharga dan dengan cepat diganti, menyebabkan kerusakan kecil.[105][108]
Penarikan Valiant
Pada bulan Juli 1964, Skuadron Valiant No. 543 (WZ394) yang sedang ditempatkan di Rhodesia mengalami retakan di spar sayap belakang dan diangkut kembali ke Britania untuk diperbaiki. Bulan berikutnya, Valiant dari Unit Konversi Operasional No. 232 (WP217) mengalami kegagalan spar sayap selama latihan di Wales. Seluruh armada Valiant diperiksa, dan banyak ditemukan memiliki retakan signifikan pada spar sayap. Pesawat yang dianggap memiliki sedikit atau tidak ada kerusakan diizinkan untuk terbang, tetapi dengan pembatasan sementara hingga kecepatan maksimum 250 knot (460 km/h), beban maksimum 05 g0 (49 m/s2), dan sudut belok maksimum 30 derajat. Ketika Vickers memulai perbaikan, ditemukan bahwa kerusakan lebih parah dari yang diperkirakan, dan seluruh armada dihentikan pada 9 Desember 1964, dan ditarik dari dinas. Pada awalnya diperkirakan bahwa peralihan ke penerbangan level rendah adalah penyebabnya, tetapi retakan juga ditemukan pada Valiant yang bertugas sebagai tanker dan pesawat pengintai strategis dan belum diterbangkan pada level rendah. Kecurigaan kemudian jatuh pada paduan aluminium yang pernah digunakan, DTD683. Satu Valiant (XD816) tetap beroperasi sebagai pesawat uji, setelah di-spar ulang.[109]
Penangkalan elektronik dan pengintaian
Valiant bertugas dalam peran pengintaian foto dengan Skuadron No. 543, dimulai pada paruh kedua tahun 1955. Setidaknya tujuh Valiant dikonfigurasikan untuk peran ECM, bertugas dengan Skuadron No. 199 dari 30 September 1957.[110] Pesawat ini adalah akhirnya dilengkapi dengan pemancar pengacau APT-16A dan ALT-7, pengacau radar Airborne Cigar dan Carpet, penerima radar "pengendusan" April-4 dan April-9, dan pelepas sekam.[111] Setelah para Valiant didaratkan, jadwal untuk pengembangan versi pengintaian foto dari Victor, yang dikenal sebagai SR.2, dipercepat. Sebuah prototipe (XL165) diterbangkan untuk pertama kalinya pada 23 Februari 1965, dan pesawat pertama (XL230) dikirim ke Skuadron No. 543 pada 18 Mei 1965. Victor SR.2 melakukan pekerjaan survei fotografi ekstensif, yang diasumsikan akan meningkat kepentingannya setelah skuadron pengebom beralih ke operasi ketinggian rendah.[112] Skuadron No. 543 dibubarkan pada tanggal 31 Mei 1974, tetapi penerbangan empat orang tetap ada hingga 30 Maret 1975 untuk berpartisipasi dalam uji coba senjata nuklir Prancis di Pasifik. Tanggung jawab untuk peran pengintaian diserahkan ke Skuadron No. 27, yang telah dibentuk kembali pada November 1973, dan mengoperasikan Vulcan SR.2. No 27 Squadron dibubarkan pada Maret 1982.[113]
Pengisian bahan bakar udara
Selain untuk peran awal dalam fase perancangannya, ketiga pengebom V berfungsi sebagai tanker pengisian bahan bakar udara. Valiant adalah pesawat tanker skala besar pertama RAF.[110] Sistem prob dan penyauk (drogue) untuk pengisian bahan bakar udara dikembangkan oleh Sir Alan Cobham,[114] tetapi Kementerian Udara meragukan nilainya selama Britania mempertahankan pangkalan di seluruh dunia.[110] Namun, pada 8 Januari 1954, Staf Udara memutuskan bahwa pengebom V harus mampu mengisi bahan bakar udara dan bertindak sebagai pesawat tanker, dan Persyaratan Operasional (OR3580) dikeluarkan pada tahun 1956 untuk sistem penentuan posisi elektronik untuk memfasilitasi pengisian bahan bakar udara.[110] Awalnya, tidak ada pesawat untuk melakukan peran tersebut, tetapi dua tipe baru Valiant dipesan. Empat belas unit versi B (PR) K.1 diproduksi. Ini adalah varian tanker dari model pengintai foto, dengan unit drum selang (HDU) di tempat penyimpanan bom. Model produksi akhir Valiant adalah versi BK.1, yang memiliki tangki bahan bakar 4.500 pon (2.000 kg) di depan tempat bom dan sebuah HDU di belakang.[115] Sekitar 44 unit diproduksi.[116] Skuadron No. 214 dipilih untuk melaksanakan uji coba pesawat tanker, sambil tetap mempertahankan peran pengebomannya, pada bulan Februari 1958.[110] Uji coba tersebut berhasil. Pada bulan Agustus 1961, skuadron Valiant kedua, Skuadron No. 90, diperintahkan untuk memulai pelatihan dalam peran pengisian bahan bakar udara.[117] Skuadron No. 90 dan 214 menjadi skuadron tanker penuh waktu pada tanggal 1 April 1962.[118] Dalam demonstrasi pada 20/21 Juni 1962, sebuah Vulcan B.1A dari Skuadron No. 617 terbang nonstop dari RAF Scampton ke Sydney dalam 20 jam 5 menit, diisi bahan bakar empat kali oleh pesawat tanker dari Skuadron No. 214.[119] Mereka bertugas dalam peran tersebut sampai Valiant tiba-tiba ditarik dari dinas.[120]
Britania sudah mulai melakukan pekerjaan untuk menggantikan Valiant dengan Victor. Sebuah proposal untuk mengubah Victor B.1 dan B.1A pertama kali dipertimbangkan oleh Staf Udara pada tanggal 25 Mei 1961 dan disetujui oleh Kepala Penasihat Ilmiah untuk Kementerian Pertahanan, Sir Solly Zuckerman, dan Kepala Staf pada tahun 1963. Komite Kebijakan Riset Pertahanan (DRPC) memperkirakan bahwa mengubah 27 pesawat akan menelan biaya £ 7 juta. Ini akan menyediakan pesawat yang cukup untuk tiga skuadron pesawat tanker. Label harga segera meningkat menjadi £ 8 juta untuk 24 pesawat, dan Departemen Keuangan enggan menghabiskan uang sebanyak itu menunggu peninjauan komitmen pertahanan luar negeri Britania, yang akan menentukan apakah skuadron ketiga diperlukan. Ada juga keraguan tentang kelayakan finansial Handley Page. Persetujuan diberikan untuk konversi dua belas pesawat pada 12 Juni, tiga lagi pada 9 Juli, dan sembilan lainnya pada 15 September.[121] Produksi kedua Victor B.1 (XA918) diubah menjadi sebuah pesawat tanker purwarupa. Ini melibatkan pemasangan pod Flight Refueling Mark 20B di setiap sayap untuk mengisi bahan bakar pesawat tempur, dua tangki bahan bakar di tempat bom, dan Flight Refuelling HDU Mark 17 di tempat penyimpanan bom untuk pesawat pengebom dan pengangkut.[122] Pelarangan terbang pesawat tanker Valiant menimbulkan situasi yang mendesak, karena RAF kehilangan kemampuan pengisian bahan bakarnya. Enam pesawat tanker Victor K.1A dikirim ke Skuadron No. 55 di RAF Marham pada bulan Mei dan Juni 1965, tetapi ini bukan konversi penuh, karena mereka hanya memiliki pod pengisian bahan bakar di bawah sayap, dan mempertahankan kemampuan pengebomannya.[122]
Saat pesawat tanker Victor tersedia, skuadron pesawat tanker kedua, Skuadron No. 57, dibentuk di RAF Marham pada tanggal 14 Februari 1966,[123] dan yang ketiga ditambahkan pada tanggal 1 Juli 1966 ketika Skuadron No. 214 dibentuk kembali.[122] Skuadron pengebom Victor terakhir, Skuadron No. 100 dan 139, dibubarkan masing-masing pada tanggal 1 Oktober dan 31 Desember 1968.[124] RAF memutuskan untuk mengubah Victor B.2 mereka menjadi tanker. Namun, sementara sayap delta kaku milik Vulcan mampu bertahan dengan baik pada penerbangan di ketinggian rendah, sayap Victor mengalami kelenturan yang cukup besar dan sangat menderita karena retakan akibat kelelahan struktur. Perbaikan pesawat-pesawat itu menjadi biaya utama program konversi pesawat tanker, dan beberapa Victor dinilai tidak ekonomis lagi untuk diperbaiki. Victor SR.2 ditarik dari layanan untuk mengurangi pengeluaran dan digantikan oleh Vulcan. Karena kenaikan biaya, tidak ada SR.2 yang dimodifikasi, dan hanya 21 pesawat tanker Victor K.2 yang dikonversi. Handley Page mengalami likuidasi pada bulan Agustus 1969, dan pekerjaan selanjutnya dilakukan oleh Hawker Siddeley. Pesawat tanker Victor K.2 pertama melakukan penerbangan perdananya pada 1 Maret 1972. Skuadron No. 55 mulai melengkapi satuannya kembali dengan Victor K.2 pada tanggal 1 Juli 1975, diikuti oleh Skuadron No. 57 pada 7 Juni 1976. Skuadron No. 214 mempertahankan K.1A-nya sampai skuadron tersebut dibubarkan pada 28 Februari 1977, mengurangi armada tanker RAF menjadi hanya dua skuadron.[123]
Selama Perang Falkland, komitmen armada pesawat tanker Victor menjadi luar biasa. Semua pesawat tanker yang tersedia dikerahkan untuk mendukung operasi di sana. Hanya armada pesawat tanker Victor yang memungkinkan pesawat angkut mencapai Pulau Ascension dengan persediaan penting, dan untuk pengebom Vulcan mencapai Kepulauan Falkland untuk Operasi Black Buck.[125] Sementara itu, pasukan RAF di Britania dilayani oleh USAF Boeing KC-135 Stratotanker. Pada saat itu sedang berlangsung pekerjaan untuk mengubah VC-10 menjadi tanker, tetapi sebagai tindakan sementara diputuskan untuk mengubah beberapa pengebom Lockheed C-130 Hercules dan Vulcan menjadi tanker. Peralatan di ruang ECM telah dilepas dan HDU Mark 17 dipasang di sana. Pesawat pertama dari enam pesawat tanker Vulcan yang dikonversi (XH561 - yang lainnya adalah XH558, XH560, XJ825, XL445 dan XM571) terbang pada tanggal 18 Juni 1982, hanya tujuh minggu setelah pekerjaan konversi dimulai, dan pesawat tanker Vulcan K.2 pertama dikirim ke RAF lima hari kemudian. HDU yang digunakan pada Vulcan adalah HDU yang sebenarnya diperuntukkan untuk program konversi VC-10, sehingga setelah selesai, HDU dicopot dari Vulcan, dimulai dengan Vulcan XJ825 pada 4 Mei 1983.[126]
Skuadron No. 617 dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1981,[98] diikuti oleh Skuadron No. 35 pada tanggal 1 Maret 1982, dan Skuadron No. 9 pada tanggal 1 Mei 1982. Hanya tersisa Skuadron No. 44, 50, dan 101 di RAF Waddington, yang semuanya dijadwalkan untuk dibubarkan pada 1 Juli 1982, dengan misi nuklir taktis mereka diteruskan ke Panavia Tornado. Perang Falkland memberikan kesempatan penangguhan pembubaran sementara. Skuadron No. 101 dibubarkan pada tanggal 4 Agustus 1982, dan Skuadron No. 44 pada tanggal 21 Desember 1982.[98] Satuan Vulcan terakhir, Skuadron No. 50 di RAF Waddington, dibubarkan pada tanggal 13 Maret 1984, meninggalkan enam unit K.2 dan tiga unit B.2. Kementerian Pertahanan memutuskan untuk mempertahankan layanan Vulcan untuk pertunjukan udara. Peran ini diisi oleh XL426, dan kemudian oleh XH558. Pada tahun 1992, XH558 dijual kepada pemilik pribadi dan melakukan penerbangan RAF terakhir pada tanggal 23 Maret 1993.[126]
Pesawat tanker Victor kembali aktif dalam Perang Teluk, dengan delapan pesawat dikerahkan ke Muharraq di Bahrain antara Desember 1990 dan Maret 1991. Pesawat tanker Victor kemudian dikerahkan ke Akrotiri untuk mendukung Operasi Warden, operasi untuk melindungi komunitas Kurdi di bagian utara Irak, dan kepada Muharraq untuk mendukung Operasi Jural di Irak Selatan. Pesawat tanker tersebut kembali ke RAF Marham pada bulan September 1993, di mana Skuadron No. 57, unit Victor terakhir, dibubarkan pada tanggal 15 Oktober 1993.[127]
Pelestarian
Pada 8 Februari 2007, Museum Angkatan Udara Britania Raya Cosford membuka Pameran Perang Dingin Nasional di RAF Cosford di Shropshire untuk menceritakan kisah Perang Dingin. Pameran ini menyatukan tampilan statis dari ketiga jenis pengebom V di satu lokasi untuk pertama kalinya. Direktur jenderal museum, Dr Michael A. Fopp, menyatakan tujuannya adalah "Orang-orang akan pergi dengan memiliki informasi yang lebih baik mengenai hal yang terjadi pada paruh kedua abad ke-20."[128]Vulcan XH558 (Registrasi Sipil G-VLCN), terbang hingga Oktober 2015, didanai oleh sumbangan publik. Pesawat itu ditampilkan di acara udara dan acara lainnya. Vulcan ini akan digunakan sebagai karya inti untuk menunjukkan keunggulan teknik, menunjukkan betapa canggihnya desain pesawat ini untuk periode tersebut.[129]
Baylis, John (1995). Ambiguity and Deterrence: British Nuclear Strategy 1945–1964. Oxford: Clarendon Press. ISBN978-0-19-828012-5. OCLC861979328.
Baylis, John (Spring 2005). "British Nuclear Doctrine: The 'Moscow Criterion' and the Polaris Improvement Programme". Contemporary British History. 19 (1): 53–65.
Bronk, Justin (2014). "Britain's 'Independent' V-Bomber Force and US Nuclear Weapons, 1957–1962". Journal of Strategic Studies. 37 (6–7): 974–997. doi:10.1080/01402390.2013.770736. ISSN1743-937X.
Darling, Kev (2007). Avro Vulcan, Part One. Glamorgan, Wales: Big Bird Aviation. ISBN978-1-84799-237-6.
Finn, Christopher; Berg, Paul D. (Winter 2004). "Anglo-American Strategic Air Power Co-operation in the Cold War and Beyond". Air & Space Power Journal. 18 (4). ISSN1554-2505.
Jones, Jeffrey (2017). Volume I: From the V Bomber Era to the Arrival of Polaris, 1945–1964. The Official History of the UK Strategic Nuclear Deterrent. Milton Park, Abingdon, Oxfordshire: Routledge. ISBN978-1-138-67493-6. OCLC1005663721.
Moore, Richard (2010). Nuclear Illusion, Nuclear Reality: Britain, the United States and Nuclear Weapons 1958–64. Nuclear Weapons and International Security since 1945. Basingstoke, Hampshire: Palgrave MacMillan. ISBN978-0-230-21775-1. OCLC705646392.
Navias, Martin S. (1991). British Weapons and Strategic Planning, 1955–1958. Oxford: Oxford University Press. ISBN978-0-19-827754-5. OCLC22506593.
Roman, Peter J. (1995). "Strategic Bombers over the Missile Horizon, 1957–1963". Journal of Strategic Studies. 18 (1): 198–236. doi:10.1080/01402399508437584. ISSN0140-2390.
Suit, William W. (1995). "The Transfer of B-29s to the Royal Air Force Under the Military Defense Assistance Program". Dalam Miller, Roger G. Seeing Off the Bear: Anglo-American Air Power Cooperation During the Cold War. Washington, DC: Air Force History and Museums Program, United States Air Force. hlm. 101–116. OCLC936684331.
Wynn, Humphrey (1997). RAF Strategic Nuclear Deterrent Forces, Their Origins, Roles and Deployment, 1946–1969. A Documentary History. London: The Stationery Office. ISBN978-0-11-772833-2. OCLC39225127.
Young, Ken (January 2007a). "US 'Atomic Capability' and the British Forward Bases in the Early Cold War". Journal of Contemporary History. 42 (1): 117–136. JSTOR30036432.
Young, Ken (Spring 2007b). "A Most Special Relationship: The Origins of Anglo-American Nuclear Strike Planning". Journal of Cold War Studies. 9 (2): 5–31. doi:10.1162/jcws.2007.9.2.5.