Persatuan Arab Indonesia (PAI) atau Persatoean Arab Indonesia (dalam ejaan lama) adalah suatu perkumpulan Arab Indonesia yang didirikan oleh Abdurrahman Baswedan pada tahun 1934 di Semarang untuk mendorong kesetiaan para peranakan Arab kepada Indonesia.[1]
Pada tanggal 4 Oktober 1934 suatu kelompok yang terdiri dari empat puluh Muwallad bertemu di Semarang. Setelah tiga hari mengalami perdebatan sengit mereka mengumumkan pembentukan sebuah organisasi baru yang disebut Persatoean Arab Indonesia.[3] Awalnya organisasi tersebut dimaksudkan untuk mendorong orang Arab, kebanyakan Muwallad, untuk mengintegrasikan, mengasimilasi dan menjamin kesetiaannya kepada Indonesia yang masih dalam lingkup Hindia Belanda. Organisasi ini kemudian bergabung dengan partai politik Gabungan Politik Indonesia (GAPI) pada tahun 1939-1940. Sementara itu organisasi terpisah bernama Indo-Arabische Beweging didirikan pada tahun 1930, di sisi lain, mencoba untuk melanjutkan status terpisah dari peranakan Arab sebagai oriental asing yang dibangun oleh pemerintah Belanda.[1]
Anggota perkumpulan ini berasal dari latar belakang dan organisasi yang berbeda, terutama dari Al-Rabithah al-Alawiyah dan al-Irshad. Manajemen pertama organisasi tersebut terdiri dari Abdurrahman Baswedan dari Al-Irsyad sebagai ketua, Nur Al-Kaff dari Al-Rabithah al-Alawiyyah Sebagai sekretaris I, Salim Maskatee dari Al-Irshad sebagai sekretaris II, Segaf al-Segof dari Al-Rabithah al-Alawiyyah sebagai bendahara, dan Abdurrahim Argubi dari Al-Irshad sebagai komisaris.[4] Anggota asosiasi tersebut menyatakan sumpah mereka untuk menegaskan kesetiaan mereka kepada Indonesia sebagai tanah air mereka (bukan Hadhramaut) dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu mereka.[5]
Pemuda Arab-Indonesia juga menyatakan sumpahnya yang disebut sebagai "Sumpah Pemuda Keturunan Arab", yaitu:
Tanah air orang Arab-Indonesia adalah Indonesia.
Orang Arab-Indonesia harus meninggalkan isolasi sosial dan eksklusivitas terhadap masyarakat adat Indonesia
Orang Arab-Indonesia harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia
PAI mendapat dukungan dari banyak nasionalis melalui surat kabar mereka seperti surat kabar Tionghoa-Melayu Matahari atau Sin Tit Po sebagai salah satu pendukung utama.[4] Namun, organisasi tersebut juga menerima reaksi negatif dari orang-orang Arab Indonesia yang menentangnya, banyak dari kelompok Wulayati. Di antara para penentangnya adalah Ali bin Yahya dari al-Rabithah al-Alawiyyah yang sering menerbitkan pertentangannya di majalah berbahasa ArabAl-Salam, dan MBA Alamoudi, seorang Arab Indonesia kelahiran Ambon,[6] yang sangat menyerang organisasi tersebut pada mingguan berkala Al-Yaum dalam Bahasa Indonesia yang diterbitkan di Arabische Verbond.[4] Para pihak kontra menggunakan segala cara dan ancaman untuk mencegah perkembangan dan pengaruh PAI, termasuk memecat anggota PAI dari pekerjaannya.[4]
Dalam hal pendidikan, PAI mendirikan sekolah[7] dan juga memberikan pelatihan-pelatihan semi militer kepada para pemuda keturunan Arab, mempersiapkan mereka dalam rangka bertempur melawan kolonialisme.