Penyakit bulai merupakan salah satu faktor pembatas terpenting dalam peningkatan produksi jagung di Indonesia. Penyakit ini sangat berbahaya karena kerugian yang disebabkannya dapat mencapai 100 persen.[1] Produksi jagung di Lampung merosot dari 114.975 ton pada tahun 1973 menjadi 18.977 ton pada tahun 1975 karena serangan penyakit bulai. Di Jawa Tengah kerusakan yang disebabkannya pada tahun 1974 dan 1975 adalah 2.418 ha sedangkan di Jawa Timur kerusakan rata-rata lebih dari 2.000 ha per tahun.[2]
Penyakit bulai ditandai dengan warna daun tanaman muda yang mendadak menjadi bergaris-garis kuning pucat (klorosis)[3] atau bahkan putih yang kemudian menyebar ke seluruh daun. Pada serangan yang berat, seluruh tubuh tanaman berwarna kuning pucat dan kemudian mati. Penyakit ini apabila menyerang pada stadium pertumbuhan awal dapat menyebabkan 100% kegagalan panen.
Pada dikotil, serangan bulai dikenal memberikan gejala yang berbeda dan dikenal sebagai penyakit embun.
Patogen
Penyebab bulai yang umum pada jagung di Indonesia adalah Peronosclerospora maydis di Pulau Jawa dan Pulau Madura) dan P. philippinensis di Pulau Sulawesi. P. philippinensis juga menyebar di berbagai penjuru dunia. Protista mirip cendawan tetapi berkerabat lebih dekat dengan alga ini bersifat parasit obligat (wajib). Alat perbanyakan/penyebaran utamanya adalah spora vegetatif yang dihasilkan oleh badan yang disebut konidia (sehingga sporanya disebut juga konidiospora). Konidia dapat bertahan bertahun-tahun sebelum tumbuh kembali. Proses infeksi terjadi jika konidia disebarkan dinihari sekitar pukul 02.00 - 04.00 karena sporalisasi maksimum terjadi pada saat itu. Infeksi dilakukan oleh konidia melalui stomata. Pada siang hari tidak terjadi infeksi karena pelepasan konidia terhenti, diduga konidia tersebut tidak tahan terhadap cahaya matahari. Penyebaran konidispora dilakukan oleh angin.