Pengolahan tanah adalah proses di mana tanah digemburkan dan dilembekkan dengan menggunakan bajak ataupun garu yang ditarik dengan berbagai sumber tenaga, seperti tenaga manusia, tenaga hewan, dan mesin pertanian (traktor). Melalui proses ini, kerak tanah teraduk, sehingga udara dan cahaya matahari menyentuh tanah lebih dalam dan meningkatkan kesuburannya. Sekalipun demikian, tanah yang sering digarap sering menyebabkan kesuburannya berkurang.
Pengolahan tanah yang lebih dalam dan lebih teliti diklasifikasikan sebagai pengolahan primer, dan pengolahan tanah yang lebih dangkal dan kadang-kadang lebih selektif lokasi adalah pengolahan sekunder. Pengolahan tanah primer seperti pembajakan cenderung menghasilkan permukaan akhir yang kasar, sedangkan pengolahan sekunder cenderung menghasilkan permukaan akhir yang lebih halus, seperti yang diperlukan untuk membuat persemaian yang baik untuk banyak tanaman. Harrowing dan rototilling sering menggabungkan pengolahan tanah primer dan sekunder menjadi satu proses.
"Tillage" juga bisa berarti tanah yang diolah. Kata "kultivasi" memiliki beberapa pengertian yang secara substansial tumpang tindih dengan "pengolahan tanah". Dalam konteks umum, keduanya bisa merujuk pada pertanian. Dalam pertanian, keduanya bisa mengacu pada segala jenis agitasi tanah. Selain itu, "budidaya" atau "budidaya" dapat merujuk pada pengertian yang lebih sempit dari pengolahan tanah sekunder yang dangkal dan selektif di ladang tanaman baris yang membunuh gulma sambil merawat tanaman.
Sistem pengolahan tanah
Sistem pengolahan tanah terbagi menjadi tiga jenis berdasarkan seberapa banyak residu tanaman yang diangkat dari lahan pertanian. Di Amerika Serikat sejak tahun 1997, sistem pengolahan tanah konservasi semakin banyak digunakan[1][2] karena menghemat banyak waktu, energi, tenaga kerja, dan biaya. Selain itu, pengolahan tanah konservasi berarti semakin sedikit mesin pertanian yang bergerak di atas lahan pertanian sehingga mencegah pemadatan tanah.[2] Namun semakin sedikit tanah yang dibalikkan, semakin sedikit pula cahaya matahari dan udara yang menyentuh tanah bagian dalam, sehingga menghambat penanaman di awal musim semi karena tanah masih dingin setelah tanah membeku di musim dingin.[3]
Manfaat keberadaan residu tanaman di lahan pertanian adalah mencegah erosi karena memperlambat aliran air permukaan, dan mampu menjadi kompos alami karena terdekomposisi selama masa penanaman.
Pengolahan tanah tereduksi
Pengolahan tanah tereduksi meninggalkan antara 15 hingga 30% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian.
Pengolahan tanah intensif
Pengolahan tanah intensif meninggalkan kurang dari 15% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian. Pengolahan tanah intensif mendayagunakan banyak implemen (bajak singkal, bajak piring, dan/atau bajak pahat, ditambah garu dan kultivator) dan jam kerja traktor.
Pengolahan tanah konservasi
Pengolahan tanah konservasi meninggalkan setidaknya 30% residu tanaman untuk tetap berada di lahan pertanian.
Pengolahan tanah berlajur
Pengolahan tanah berlajur (strip-tillage) hanya membajak lajur yang akan ditanam. Bagian di antara lajur dibiarkan.[4]
Pengolahan tanah rotasi
Pengolahan tanah rotasi hanya mengolah tanah secara periodik, yaitu setiap dua tahun sekali atau tiga tahun sekali.[4]
Tanpa pengolahan tanah
Tanpa pengolahan tanah berarti sama sekali tidak menggunakan bajak. Residu tanaman yang ditanam pada periode sebeumnya dibiarkan mengering. Pada lahan yang luas, sistem ini membutuhkan mesin penanam yang tidak biasa, yang mampu menanam di sela-sela residu tanaman yang masih tegak berdiri.
Dampak pengolahan tanah
Positif
Meregangkan tanah sehingga tercipta ruang dan pori-pori yang memungkinkan tanah mendapatkan aerasi udara[5]
Membantu mencapuradukkan residu tanaman, materi organik tanah, dan nutrisi menjadi lebih merata[5]
Mengeringkan tanah sebelum penanaman benih. Hal ini merupakan dampak yang positif pada wilayah beriklim basah.[5]
Ketika dilakukan di musim gugur, pengolahan tanah membantu meremahkan tanah sepanjang musim dingin melalui mekanisme pembekuan dan pelelehan yang dapat terjadi berkali-kali sepanjang musim dingin. Hal ini membantu persiapan penanaman untuk musim semi.[5]
Negatif
Mengeringkan tanah sebelum penanaman benih. Hal ini merupakan dampak yang negatif pada wilayah beriklim kering.[5]
Tanah akan kehilangan banyak nutrisi seperti nitrogen dan kemampuannya dalam menyimpan air[5]
Mengurangi laju penyerapan air sehingga meningkatkan erosi tanah.[5][6]
Pembajakan mengurangi tingkat kohesi antar partikel tanah sehingga mempercepat erosi
Dengan laju penyerapan air berkurang, maka ada risiko terjadi aliran air permukaan yang membawa residu pupuk dan pestisida yang digunakan pada periode penanaman sebelumnya[5]
Risiko terjadi pemadatan tanah pada bagian yang tidak terbajak[5][7]
Residu tanaman yang hancur dan tersisa di tanah dapat mengundang organisme dan serangga yang tidak diinginkan dan berpotensi mengganggu produksi,[8] juga mengundang penyakit[8]
Pengecualian
Semua dampak positif dan negatif yang tersebut di atas dapat terjadi maupun tidak karena bergantung pada banyak faktor, diantaranya:
Pembajakan tanah di malam hari dapat mengurangi jumlah gulma yang tumbuh karena benih gulma yang masih terdormansi dapat tumbuh ketika terpapar cahaya matahari.[10]
Penggunaan implemen tertentu, terutama yang tidak mencapai tanah dalam, (misal bajak piring) tidak membutuhkan traksi yang tinggi sehingga dapat mempercepat pekerjaan pengolahan tanah sehingga pengolahan tanah intensif dapat dilakukan dengan jumlah jam kerja yang lebih sedikit. Penggunaan implemen jamak (misal traktor menarik bajak dan garu sekaligus) juga mengurangi jam kerja traktor, namun risiko pemadatan tanah lebih besar.
Sudut mata bajak juga berpengaruh dalam memperlakukan residu tanaman
Jumlah residu tanaman yang tertinggal mempengaruhi laju erosi tanah; semakin banyak residu tanaman, pergerakan air lebih terhambat sehingga erosi berkurang.[9][11]
^ abcdefghijklRay Hilborn (date unknown). "Soils in Agriculture". University of Washington. Diarsipkan dari versi asli(PPT--available as non-PPT by searching the path through a search engine) tanggal 2015-01-12. Diakses tanggal 2013-08-28.Periksa nilai tanggal di: |date= (bantuan)
^ abc"Soil Compaction and Conservation Tillage". Conservation Tillage Series. PennState- College of Agricultural Sciences - Cooperative Extension. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-08-03. Diakses tanggal 26 March 2011.
^Mahdi Al-Kaisi, Mark Hanna, Michael Tidman (May 13, 2002). "Methods for measuring crop residue". Iowa State University. Diakses tanggal 2012-12-28.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Bacaan lanjutan
Cook, R.L., H.F. McColly, L.S. Robertson, and C.M. Hansen. 1958. Save Money - Water - Soil with Minimum Tillage. Extension Bulletin 352. Cooperative Extension Service, Michigan State University, East Lansing.
Sprague, Milton A., and Glover B. Triplett. 1986. No-tillage and surface-tillage agriculture: the tillage revolution. New York, Wiley. ISBN 978-0-471-88410-1
Troeh, Frederick R., J. Arthur Hobbs, Roy L. Donahue. 1991. Soil and water conservation for productivity and environmental protection, 2nd ed. Englewood Cliffs, N.J., Prentice-Hall. ISBN 978-0-13-096807-4
Soil Science of America. 2009. Glossary of Soil Science Terms. [Online]. Available at https://www.soils.org/publications/soils-glossary (28 September 2009; verified 28 September 2009). Soil Science of America, Madison, WI.
Brady, Nyle C. (2002). The nature and property of soils, 13th edition. New Jersey: Prentice Hall. ISBN0-13-016763-0.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Tillage.