1. Surat Penetapan Menteri Agama RI Nomor 58 tahun 1957 tertanggal 13 Nopember 1957, tentang berdirinya Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah di Sumatera, diantaranya adalah Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah Propinsi di Palembang
2. Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 6 tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang perubahan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari'ah di Sumatera, diantaranya adalah Pengadilan Agama / Mahkamah Syari'ah Propinsi di Palembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama, sehingga Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Propinsi di Palembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama Palembang.
Pengadilan Tinggi Agama Palembang (disingkat PTA Palembang) adalah Lembaga Peradilan tingkat banding yang berwenang mengadili perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding di wilayah hukum Provinsi Sumatera Selatan.
Sejarah
Zaman Kolonial Belanda
Sesuai catatan De Roo Dd La Faille seorang anggota Raad Van Indie dalam bukunya yang berjudul Dari Kesultanan Palembang, pada masa Kesultanan Palembang, terdapat pengadilan yang khusus mengadili perkara perdata bagi umat Islam disebut dengan istilah Nata Gama. Pimpinannya berada di tangan Hakim Syar’iyah yang memeriksa dan memutuskan perkara atas nama Sultan. Keadaan demikian cukup lama berlangsung serta berpengaruh besar terhadap perkembangan agama Islam di kota Palembang dan sekitarnya. Tetapi setelah mulai masuknya kekuasaan Belanda di Palembang, maka kedudukan Hakim Syar’iyah diperkecil dan dibatasi kekuasaannya, kemudian dirobah menjadi kekuasaan Pangeran Penghulu. Pangeran Penghulu bertindak selaku Penasehat Syar’iyah (hukum Islam) dan juru sumpah di Landraad (Pengadilan Negeri ). Pengeran Penghulu juga mempunyai hak penuh bersuara dalam memberikan pertimbangan secara hukum Islam bila diperlukan.
Kekuasaan Pengeran Penghulu berangsur ditekan setelah kekuasaan Belanda di Palembang lebih lama berjalan. Palembang dan sekitarnya secara berangsur mulai dipengaruhi oleh hukum Belanda, yang banyak mengambil dari Code Napoleon. Pengeran Penghulu akhirnya diganti dengan Raad Agama yang diketuai oleh Hoofd Penghulu yang berada dibawah lingkungan kekuasaan Landraad. Kewewenangan Raad Agama dipersempit lagi menjadi hanya mengurus N.T.R, menetapkan pembagian waris, dan menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal.
Zaman Pendudukan Jepang
Setelah kekuasaan Belanda lenyap dan berganti dengan zaman Jepang, kesempatan ini dipergunakan oleh umat Islam termasuk di Sumatera Selatan untuk membentuk kembali Mahkamah Syar’iyah, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana mengingat Jepang tampak agak menerima tuntutan orang Islam, kendati Jepang tidak memiliki orang-orang yang ahli tentang Islam.
Zaman ini tidak berlangsung lama, sehingga tidak banyak perubahan yang terjadi, namun demikian ada dibeberapa tempat di Sumatra yang telah sempat berhasil didirikan Mahkamah Syar’iyah yang mampu bertahan cukup lama sampai zaman kemerdekaan .
Oleh karena persoalan Mahkamah Syar’iyah ini tidak dapatdilepaskan daripada suatu masalah mengenai lenyapnya penjajahan dan diiringi dengan merdekanya Bangsa Indonesia, maka zaman kemerdekaanlah yang menjadi harapan bangsa Indonesia
Setelah Indonesia Merdeka
Setelah kurang lebih setahun Indonesia Merdeka, tepatnya tanggal 1 Agustus 1946, terjadilah peristiwa baru sebagai salah satu hasil revolusi kemerdekaan, di mana mulai terbentuk MAHKAMAH SYAR’IYAH KERESIDENAN Palembang yang daerah kekuasaannya hanya meliputi Kota Palembang saja, yaitu sebagai ganti dari RAAD AGAMA atas anjuran Gubernur Sumatera Utara pada waktu itu ( MR. TENGKU MUHAMMAD HASAN ) sebagai Ketuanya, sekaligus Wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar. Dengan surat kawatnya, tertanggal 13 Januari 1946 telah mengakui sah berdirinya Mahkamah – Mahkamah Syar’iyah yang ada, dan di Sumatera Selatan dan waktu itu baru ada 2 (dua) yaitu Mahkamah Syar’iyah Keresidenan Palembang ( Kini Pengadilan Agama Palembang ) dan Mahkamah Syar’iyah Teluk Betung ( kini Pengadilan Agama Tanjungkarang ).
Sebagai tindak lanjut Pemerintah, Cq. Menteri Agama telah mengeluarkan Penetapan No. 58 tahun 1957 tertanggal 13 Nopember 1957, tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Sumatra, yang pada point 4 angka huruf A.4 telah membentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi yang berkedudukan di Palembang yang merupakan Pengadilan Tingkat banding dengan mewilayahi seluruh Provinsi Sumatera Selatan, yang waktu itu Lampung dan Bengkulu masih merupakan Keresidenan dan masih masuk Provinsi Sumatera Selatan.
Dengan Surat Keputusan menteri Agama Nomor: B / VI / d / 359 tertanggal 27 Januari 1958, diangkatlah untuk pertama kali K.H. ABUBAKAR BASTARY sebagai Ketua Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Palembang dan ADNAN DINAH sebagai Panitera Kepala yang sebelumya sebagai Panitera Pengadilan Negeri, sedang kantornya berlokasi di Jalan Diponegoro No. 19 Palembang dengan luasnya kurang lebih 3 x 4 meter yang menumpang pada kantor Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah Palembang.
Jadi K.H. ABUBAKAR BASTARY pertama diangkat sebagai Ketua Pengadilan di Palembang telah mempunyai dasar hukum yang mantap, dan dirasa perlu pula dibentuk Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di daerah hukumnya guna memenuhi kehendak PP.No. 45 tahun 1957 pasal 1 yaitu di tempat-tempat ada Pengadilan Negeri ada sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, maka mulailah dilaksanakan usaha-usaha kearah itu.
Menjelang terbentuknya Negara Republik Indonesia Kesatuan pada tahun 1950, yakni setelah penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 dan Pemerintah Indonesia mulai berjalan lancar, di mana di Kota Palembang sebagai Ibu kota Provinsi Sumatera Selatan dibentuklah Pengadilan Agama Provinsi ( waktu itu belum merupakan Pengadilan tingkat banding), yang berkantor di Jalan Diponegoro No. 19 Palembang dengan Ketuanya K.H. Abubakar Bastary.