Pembatasan kegiatan yang dapat menimbulkan kerumunan massal
Status
Dicabut
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (disingkat dengan PPKM) adalah kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2021 untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia. Sebelum pelaksanaan PPKM, pemerintah telah melaksanakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berlangsung di sejumlah wilayah di Indonesia. PPKM berlangsung di beberapa wilayah yang menjadi titik penyebaran infeksi Covid-19, yakni di Pulau Jawa dan Bali.
Latar belakang
Pemerintah Indonesia pertama kali menerapkan PPKM pada tanggal 11 hingga 25 Januari 2021. PPKM selama dua pekan ini dilaksanakan berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 1 Tahun 2021 dan diberlakukan di wilayah Jawa dan Bali. Sebelumnya, pada tahun 2020, sejumlah daerah telah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mencegah meluasnya penyebaran Covid-19. Menurut Airlangga Hartanto selaku Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), inisiatif awal pengajuan PSBB berada pada pemerintah daerah, sedangkan PPKM ada pada pemerintah pusat.[1] Wakil Ketua KPCPEN Luhut Panjaitan mengatakan bahwa PSBB dilakukan secara tidak seragam, sedangkan PPKM bisa diterapkan dengan seragam.[2]
Pelaksanaan
Ringkasan
Tabel berikut ini berisi ringkasan pelaksanaan PPKM dan PPKM mikro yang terdiri atas beberapa tahap.
PPKM pada tanggal 11 hingga 25 Januari 2021 diterapkan di tujuh provinsi di Jawa dan Bali, yakni Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Sejumlah kabupaten/kota di tiap-tiap provinsi diprioritaskan untuk melaksanakan PPKM.[3] Terdapat empat unsur yang digunakan sebagai parameter bagi provinsi, kabupaten, atau kota dalam penerapan PPKM, yaitu memiliki (1) tingkat kematian di atas rata-rata tingkat kematian nasional, (2) tingkat kesembuhan di bawah rata-rata tingkat kesembuhan nasional, (3) tingkat kasus aktif di atas rata-rata tingkat kasus aktif nasional, dan (4) tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit untuk intensive care unit (ICU) dan ruang isolasi di atas 70%.
Pembatasan kegiatan masyarakat yang diatur dalam Instruksi Mendagri Nomor 1 Tahun 2021 yaitu
membatasi tempat kerja/perkantoran dengan menerapkan kerja dari rumah (WFH) sebesar 75% dan kerja dari kantor (WFO) sebesar 25% dengan memberlakukan protokol kesehatan secara lebih ketat;
sektor esensial yang berkaitan dengan kebutuhan pokok masyarakat tetap dapat beroperasi 100% dengan pengaturan jam operasional, kapasitas, dan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat;
melakukan pengaturan pemberlakuan pembatasan:
kegiatan restoran (makan/minum di tempat sebesar 25% dan untuk layanan makanan melalui pesan-antar atau dibawa pulang tetap diizinkan sesuai dengan jam operasional restoran dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat; dan
pembatasan jam operasional untuk pusat perbelanjaan/mall sampai pukul 19.00 WIB;
mengizinkan kegiatan konstruksi beroperasi 100% dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat;
mengizinkan tempat ibadah untuk dilaksanakan dengan pembatasan kapasitas sebesar 50% dengan penerapan protokol kesehatan yang lebih ketat;
PPKM jilid kedua
Pemerintah memperpanjang PPKM melalui Instruksi Mendagri Nomor 2 Tahun 2021. PPKM jilid kedua dilaksanakan pada tanggal 26 Januari hingga 8 Februari 2021. Pada tahap kedua ini, jam operasional pusat perbelanjaan/mall diubah menjadi hingga pukul 20.00 WIB. Sementara itu, berdasarkan hasil pemantauan terhadap 73 kabupaten/kota yang telah menerapkan PPKM, sebanyak 29 kabupaten/kota masih berada di zona risiko tinggi, 41 kabupaten/kota berada di zona risiko sedang, dan 3 kabupaten/kota sisanya berada di zona risiko rendah.[4]
PPKM berbasis mikro
Bagian ini memerlukan pemutakhiran informasi. Harap perbarui artikel dengan menambahkan informasi terbaru yang tersedia.
Setelah dilaksanakan selama dua jilid dan hasilnya tidak efektif, PPKM diubah menjadi PPKM berbasis mikro sejak tanggal 9 hingga 22 Februari 2021. Sama seperti sebelumnya, PPKM mikro diberlakukan di sejumlah wilayah di tujuh provinsi. Namun, berbeda dengan PPKM, pada PPKM mikro ada pengaturan tentang pembentukan posko penanganan Covid-19 di tingkat desa dan kelurahan,[22] jam operasional pusat perbelanjaan/mall diatur dengan lebih longgar yaitu hingga pukul 21.00 WIB, serta pembatasan perkantoran yang lebih longgar yaitu 50% kerja dari kantor dan 50% kerja dari rumah.[23]
Pada PPKM mikro, pembatasan dilakukan hingga pada tingkat rukun tetangga (RT)/rukun warga (RW). Berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 3 Tahun 2021, terdapat empat zona pengendalian wilayah persebaran Covid-19 di masing-masing RT.
Zona hijau — tidak terdapat kasus penularan Covid-19 dalam satu wilayah RT. Skenario pengendalian: surveilans aktif, pengetesan seluruh suspek, dan pemantauan kasus secara rutin dan berkala.
Zona kedua — terdapat 1 hingga 5 rumah yang terkonfirmasi positif dalam satu RT selama tujuh hari terakhir. Skenario pengendalian: menemukan suspek dan pelacakan kontak erat, serta isolasi mandiri untuk pasien positif dan kontak erat dengan pengawasan ketat.
Zona oranye (jingga) — terdapat 6 hingga 10 rumah yang terkonfirmasi kasus positif Covid-19 dalam satu RT selama tujuh hari terakhir. Skenario pengendalian:
menemukan kasus supek dan pelacakan kontak erat, serta isolasi mandiri pada pasien positif dan kontak erat dengan pengawasan ketat,
Zona merah — terdapat lebih dari sepuluh rumah yang terkonfirmasi kasus positif Covid-19 dalam satu RT selama tujuh hari terakhir. Skenario pengendalian:
menemukan kasus suspek dan pelacakan kontak erat,
melakukan isolasi mandiri atau terpusat dengan pengawasan ketat,
melarang kerumunan lebih dari tiga orang,
membatasi keluar masuk wilayah RT maksimum hingga pukul 20.00 WIB, dan
meniadakan kegiatan sosial masyarakat di lingkungan RT yang menimbulkan kerumunan dan berpotensi menimbulkan penularan.
Setelah dilaksanakan selama dua pekan, pemerintah memperpanjang PPKM mikro berkali-kali. Pada 7 Juni 2021, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ganip Warsito melakukan evaluasi PPKM Mikro, belajar dari lonjakan kasus Covid-19 di Kudus, Jawa Tengah.[24]
PPKM Darurat
PPKM Darurat berlaku pada 3 hingga 25 Juli 2021, yang menargetkan penurunan penambahan kasus konfirmasi harian hingga di bawah 10 ribu kasus per hari. Program ini diberlakukan pada 136 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan membedakan tingkat penanganan berdasarkan nilai asesmen melalui menggunakan pendekatan antara indikator tingkat penularan dan kapasitas respons, termasuk pula tingkat ketersediaan tempat tidur di rumah sakit.[25][26]
Pengetatan aktivitas yang dilakukan meliputi:[27][28]
100% kerja dari rumah untuk sektor nonesensial;
Untuk sektor esensial diberlakukan 50% maksimum staf kerja dari kantor (WFO) dengan protokol kesehatan, dan untuk sektor kritikal diperbolehkan 100% maksimum WFO dengan protokol kesehatan. (Cakupan sektor essential adalah keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non penanganan karantina, serta industri orientasi ekspor; cakupan sektor kritikal adalah energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman dan penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari; untuk supermarket, pasar tradisional, toko kelontong, dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari dibatasi jam operasional sampai pukul 20.00 waktu setempat dengan kapasitas pengunjung 50%;
Pelaksanaan kegiatan konstruksi (tempat konstruksi dan lokasi proyek) beroperasi 100% dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat;
Fasilitas umum (area publik, taman umum, tempat wisata umum dan area publik lainnya) ditutup sementara;
Transportasi umum (kendaraan umum, angkutan massal, taksi (konvensional dan daring) dan kendaraan sewa) diberlakukan dengan pengaturan kapasitas maksimal 70% dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat;
Pelaku perjalanan yang menggunakan moda transportasi jarak jauh (pesawat, bus, dan kereta api) harus menunjukkan kartu vaksin (minimum vaksin dosis I) dan PCR H-2 untuk pesawat serta antigen (H-1) untuk moda transportasi jarak jauh lainnya;
Satpol PP pemerintah daerah, TNI, Polri agar melakukan pengawasan yang ketat terhadap pemberlakuan pengetatan aktivitas masyarakat di atas terutama pada poin 3;
Penguatan 3T (testing, tracing, treatment) perlu terus diterapkan. Pengujian perlu terus ditingkatkan mencapai minimal 1 per 1000 penduduk per minggu, dan perlu terus ditingkatkan sampai tingkat positivitas kurang dari 5%, serta perlu terus ditingkatkan untuk suspek, yaitu mereka yang bergejala, dan juga pada kontak erat; penelusuran perlu dilakukan sampai mencapai >15 kontak erat per kasus konfirmasi dan karantina perlu dilakukan pada yang diidentifikasi sebagai kontak erat. Setelah diidentifikasi, kontak erat harus segera diperiksa dan karantina perlu dijalankan. Jika hasil pemeriksaan positif maka perlu dilakukan isolasi. Jika hasil pemeriksaan negatif maka perlu dilanjutkan karantina.Pada hari ke-5 karantina, perlu dilakukan pemeriksaan kembali (exit-test) untuk melihat apakah virus terdeteksi setelah/selama masa inkubasi. Jika negatif, maka pasien dianggap selesai karantina. Perawatan perlu dilakukan dengan komprehensif sesuai dengan berat gejala. Hanya pasien bergejala sedang, berat, dan kritis yang perlu dirawat di rumah sakit. Isolasi perlu dilakukan dengan ketat untuk mencegah penularan.
Pencapaian target vaksinasi sebesar 70% dari total populasi pada kota/kabupaten prioritas paling lambat bulan Agustus 2021
Mulai 3 Juli 2021, 121 kabupaten/kota di Jawa dan Bali memberlakukan PPKM Darurat yang terdiri atas 45 kabupaten/kota dengan nilai asesmen 4 (zona merah), serta 76 kabupaten/kota dengan nilai asesmen 3 (zona oranye).[30] Sementara itu, sejak tanggal 12 Juli terdapat tambahan 15 kabupaten/kota di luar Jawa-Bali yang turut menerapkan PPKM Darurat hingga batas waktu yang sama dengan pemberlakuan di Jawa-Bali.[31]
Pada 21 Juli 2021, Tito Karnavian selaku Menteri Dalam Negeri Indonesia mengumumkan istilah baru mengenai mekanisme PPKM dengan skala mulai dari tingkat pertama hingga keempat. Pemerintah dapat menetapkan suatu wilayah dapat memberlakukan PPKM berdasarkan laju penularan serta jumlah kasus aktif Covid-19 di suatu wilayah. Semua kasus dihitung per 100.000 penduduk per minggu.[32][33]
Tingkatan
Kasus terkonfirmasi
Rawat inap
Korban meninggal
Tingkatan risiko
I
Kurang dari 20 orang
Kurang dari 5 orang
Kurang dari 1 orang
Rendah
II
20–50 orang
5–10 orang
Kurang dari 2 orang
Menengah
III
50–100 orang
10–30 orang
2–5 orang
Tinggi
IV
Lebih dari 150 orang
Lebih dari 30 orang
Lebih dari 5 orang
Sangat tinggi
Tanggapan
Pada Februari 2021, epidemiolog dari Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko Wahyono, menilai pemberlakukan PPKM masih kurang efektif. Ia berpendapat bahwa tingkat efektivitas PPKM saat itu masih kurang dari 30 persen. Hal ini merupakan akibat dari lemahnya pengawasan dan penerapan 3T (test, tracing, dan treatment) di wilayah zona oranye dan merah.[34] Yordan Khaedir, dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam tulisannya di Media Indonesia menyarankan penerapan aplikasi pelacak Covid-19 seperti Google Data untuk mengawasi mobilisasi masyarakat di wilayah tertentu. Hal ini dianggapnya sebagai salah satu cara untuk meningkatkan efetivitas pembatasan sosial.[35]
Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten juga menjadi masalah dalam menangani pandemi. Dalam artikel yang sama, Tri Yuni Miko Wahyono menganggap perubahan dari PSBB, kenormalan baru, hingga PPKM merupakan salah satu tanda tidak konsistennya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.[34] Trubus Rahardiansyah, pengamat kebijakan publik, menilai pemberlakuan PPKM mikro "membingungkan dan kontraproduktif". Ia mempertanyakan kebijakan pemerintah yang kembali menerapkan pembatasan skala RT dan RW meskipun hal itu sudah terbukti tidak efektif.[36] Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyarankan pihak kepolisian untuk bersikap adil dan konsisten dalam menegakkan aturan. Ia juga mengomentari cara penegakan aturan PPKM di sebuah warung makan di Kudus, Jawa Tengah.[37]
Dicky Budiman, epidemiolog dari Universitas Griffith, dan Laura Navika Yamani, epidemiolog dari Universitas Airlangga, mengapresiasi penerapan PPKM mikro yang dilakukan oleh pemerintah. Keduanya menilai pembatasan ini sebagai salah satu upaya yang lebih baik daripada tidak ada kebijakan sama sekali. Meskipun demikian, keduanya menyarankan pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan jalannya isolasi pada kasus Covid-19.[38]
Pada Juni 2021, Kurniasih Mufidayati, anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, menekankan kewajiban pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dalam pasal 4 undang-undang tersebut, pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari "penyakit dan atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan".[39][40] Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati, menilai penerapan pembatasan seperti PSBB dan PPKM merupakan salah satu opsi pemerintah untuk menghindari kewajiban pemenuhan kebutuhan pokok seperti yang diatur dalam UU Kekarantinaan. Pada kesempatan yang berbeda, Agus Pambagio, seorang pengamat kebijakan publik, juga mempertanyakan penamaan PPKM penebalan dan PPKM darurat, meskipun undang-undang menyebutnya karantina.[41]
Beberapa pedagang dan pengusaha menganggap PPKM Darurat yang diberlakukan mulai 3 Juli 2021 cukup memberatkan mereka. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Hariyadi Sukamdani, khawatir PPKM Darurat akan mengganggu arus kas beberapa perusahaan dan berpotensi menyebabkan kebangkrutan. Wakil Ketua Umum Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia, Emil Arifin, mengungkapkan bahwa larangan makan di tempat menyebabkan tidak dapat terpenuhinya biaya operasional restoran. Hal ini karena layanan take away rata-rata hanya berkontribusi terhadap 10 hingga 20 persen pendapatan.[42][43] Sekjen Ikatan Pedagang Pasar Indonesia, Reynaldi Sarijowan, melaporkan penurunan omzet pedagang pasar sebesar 55 hingga 60%. Ia juga menyatakan bahwa pengurangan jam operasional dan penutupan pasar tradisional menyebabkan naiknya beberapa komoditas pokok.[44]
Akhir PPKM
Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 secara resmi mengumumkan PPKM telah dicabut. Namun, status Pandemi di Indonesia tidak dicabut. Hal ini dikarenakan status COVID-19 masih dinyatakan Pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia melihat dari situasi global saat ini. Sedangkan, PPKM hanya menggambarkan kondisi dan situasi pandemi di Indonesia. Kebijakan ini diambil setelah melalui proses pengkajian yang cukup panjang dan pertimbangan dari para ahli dan hasil sero-survei di Indonesia yang cukup tinggi.[45] Namun, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan, PPKM bisa saja diterapkan kembali jika terjadi lonjakan kasus COVID-19 secara signifikan.[46]