Pelanduk Jawa
Pelanduk Jawa (Tragulus javanicus) adalah sejenis pelanduk yang hidup terbatas di Pulau Jawa, dan mungkin pula di P. Bali.[1] Pelanduk ini adalah salah satu jenis ungulata terkecil di dunia. Dalam bahasa Jawa, hewan ini disebut kancil; sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Javan mouse-deer.
PengenalanKeterangan pertama yang diakui oleh dunia ilmiah menyangkut hewan ini adalah tulisan P. Osbeck (1765) mengenai apa yang ia sebut sebagai Cervus javanicus, dari 'Nieu Bay', Ujung Kulon. Namun, sebagian ahli menyangsikan, bahwa deskripsi itu betul merujuk pada kancil jawa.[5] Deskripsi pertama yang jelas-jelas mengacu kepada hewan ini dituliskan oleh Pallas (1777) dalam suatu catatan kaki di salah satu tulisannya.[6] Sebagian terjemahannya sebagai berikut:
Belakangan, Pallas (1779) menamainya sebagai Tragulus javensis.[7] Ukuran badan yang lebih jelas diberikan oleh Miller (1903) dalam deskripsinya mengenai Tragulus focalinus, salah satu varian (taksa) kancil yang diperolehnya dari Bogor. Dari dua spesimen yang didapatnya itu, diperoleh panjang kepala dan badan 360 dan 365 mm; ekor 50 dan 45 mm; serta kaki belakang 105 dan 110 mm, berturut-turut.[8] Pelanduk jawa mempunyai berat 1,5-2 kg.[9] Keterangan lain-lainEkologi dan perilakunya kemungkinan serupa dengan jenis-jenis pelanduk lainnya. Binatang ini menghuni tepi hutan lebat di dataran rendah, sampai pada ketinggian 600 m. Sering kelihatan sendirian, namun demikian, akan bergerombol apabila musim kawin tiba. Pelanduk jawa berbiak 1 atau 2 dalam setiap kelahiran. Lama kehamilan antara 150-155 hari.[9] Pelanduk jawa mencari makan di waktu malam. Makanannya berupa rumput, daun dari tumbuh-tumbuhan, semak-semak, tumbuhan menjalar, dan buah-buahan yang jatuh ke tanah.[9] Jenis ini semula digabungkan dengan Tragulus kanchil dan T. williamsoni yang sama-sama bertubuh kecil; dengan T. kanchil sebagai sinonim yunior dan T. javanicus williamsoni sebagai salah satu anak jenis.[10] Akan tetapi, belakangan ini kedua taksa terakhir itu dianggap sebagai spesies yang berbeda.[5] IUCN menetapkan status Kurang Data (DD, Data Deficient) karena masih sangat kurangnya informasi tepercaya mengenai hewan ini di Jawa; baik mengenai taksonominya (variasi, anak jenis, dll.) maupun mengenai status populasi dan ekologinya.[1] Karena pembukaan hutan yang semakin luas, dikhawatirkan tempat hidup & kelangsungan hidupnya terancam. Oleh karena itu, usaha pembudidayaannya akan menjamin kelestarian pelanduk jawa dan juga keuntungannya.[9] Dalam kebudayaanPelanduk jawa mudah dijinakkan, sehingga mungkin pembudidayaan mungkin tidak terlalu sulit. Selain itu, sisi lain yang menguntungkan adalah makannya yang berasal dari rerumputan, sehingga mudah dicari dan tidak mahal. Juga, dalam pembudidayaannya, yang perlu diperhatikan adalah pengamatan lingkungan dari binatang buas dan penyakit yang menyerangnya. Pelanduk jawa juga dimakan karena dagingnya yang lezat.[9] Catatan kaki
Pranala luar
|