Di Indonesia, Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu unsur Aparatur Sipil Negara (ASN). Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, pegawai ASN terdiri atas dua jenis, yaitu PNS yang diangkat sebagai pegawai tetap dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah.
Per 30 Juni 2021, jumlah PNS di Indonesia yaitu 4.081.824 orang, yang terdiri atas 2.143.065 wanita (53%) dan 1.938.759 pria (47%). Sebanyak 77% dari mereka bekerja di instansi pemerintah daerah, sedangkan 23% sisanya di instansi pemerintah pusat. Sekitar 11% menduduki jabatan struktural, 51% menduduki jabatan fungsional, dan 38% menduduki jabatan pelaksana. Jumlah PNS di Indonesia terus mengalami penurunan sejak tahun 2016.[2]
Sejarah
Sebelum kemerdekaan
Saat masa pendudukan Belanda, pendirian Hoofden School (sekolah para pemimpin) antara tahun 1865 hingga 1878 menandai awal mula pendidikan pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia (dahulu disebut ambtenaar).[3][4] Pada tahun 1900, pemerintah kolonial mengubah Hoofden School menjadi Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera untuk menghasilkan orang-orang yang bisa menjalankan pekerjaan birokrasi. Pada 1927, OSVIA berubah menjadi Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische Ambtenaren (MOSVIA) yang menerima lulusan MULO. Setelah lulus, siswa-siswanya ditempatkan di dinas-dinas sebagai pamong praja.[5] Sekitar tahun 1900, pegawai sipil pribumi berjumlah sekitar 1.500 orang. Pada tahun 1932, jumlahnya meningkat menjadi 103 ribu, termasuk orang Belanda sebanyak 17 ribu pegawai.[6] Orang pertama yang tercatat sebagai PNS adalah Hamengkubuwana IX dengan nomor induk pegawai 010000001 sebagaimana tertera dalam kartu PNS miliknya yang diterbitkan oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara pada 1 November 1974. Pada kartu tersebut tertulis bahwa Hamengkubuwana IX telah menjadi pegawai sejak tahun 1940.[7]
Orde Lama dan Orde Baru
Setelah Indonesia merdeka, Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa Presiden Soekarno memutuskan bahwa pegawai-pegawai Indonesia dari segala jabatan dan tingkatan ditetapkan menjadi pegawai Negara Republik Indonesia. Meskipun demikian, konstitusi yang saat itu berubah-ubah mengakibatkan keadaan negara menjadi tidak stabil.[8] Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian sebagai dasar hukum pengaturan pegawai negeri.[9]
Pada masa Orde Baru, Soeharto membentuk organisasi pegawai, yaitu Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) melalui Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. Menurut aturan ini, pegawai Republik Indonesia adalah aparatur pemerintah yang terdiri atas PNS sebagaimana yang dimaksud dalam UU Nomor 18 Tahun 1961, pegawai perusahaan umum (Perum), pegawai perusahaan jawatan (Perdjan), pegawai daerah, pegawai bank milik negara, serta pejabat atau petugas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa.[10] Korpri dinilai sebagai alat politik pada masa Orde Baru, yang ditambah dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1976 tentang Keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dalam Partai Politik atau Golongan Karya.[11][12]
Pada tahun 1974, UU Nomor 18 Tahun 1961 dicabut dan digantikan dengan UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam UU ini, pegawai negeri terdiri atas PNS dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). PNS sendiri dibagi menjadi PNS Pusat, PNS Daerah, dan PNS lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.[13]
Penetapan kebutuhan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian kerja (PPPK).
Kesejahteraan PNS dan PPPK.
Penataan tenaga honorer.
Digitalisasi Manajemen ASN.
Manajemen
Sebagai kepala pemerintahan, Presiden Indonesia memegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Presiden mendelegasikan sebagian kekuasaannya kepada
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) berkaitan dengan kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN untuk menjamin perwujudan sistem merit serta pengawasan terhadap penerapan asas kode etik dan kode perilaku ASN;
Lembaga Administrasi Negara (LAN) berkaitan dengan kewenangan penelitian, pengkajian kebijakan manajemen ASN, pembinaan, dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ASN; dan
Badan Kepegawaian Negara (BKN) berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN.
Golongan, pangkat, dan jabatan
Golongan dan pangkat
Golongan
Pangkat
I.a
Juru Muda
I.b
Juru Muda Tingkat I
I.c
Juru
I.d
Juru Tingkat I
II.a
Pengatur Muda
II.b
Pengatur Muda Tingkat I
II.c
Pengatur
II.d
Pengatur Tingkat I
III.a
Penata Muda
III.b
Penata Muda Tingkat I
III.c
Penata
III.d
Penata Tingkat I
IV.a
Pembina
IV.b
Pembina Tingkat I
IV.c
Pembina Utama Muda
IV.d
Pembina Utama Madya
IV.e
Pembina Utama
Jabatan
Berdasarkan UU Nomor 20 Tahun 2023, jabatan ASN (termasuk PNS) terdiri atas[16]:
Jabatan struktural adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam rangka memimpin suatu satuan organisasi negara. Jabatan struktural juga merupakan jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang terendah (eselon V) hingga yang tertinggi (eselon I/a).
Direktur · Kepala Biro · Kepala Pusat · Asisten Deputi · Inspektur · Sekretaris Direktorat Jenderal · Sekretaris Inspektorat Jenderal · Sekretaris Auditorat Utama · Sekretaris Badan
Asisten · Staf Ahli Gubernur · Sekretaris DPRD · Kepala Dinas · Kepala Badan · Inspektur · Direktur RS Umum Daerah Kelas A · Paniradya Kaistimewan/Paniradya Pati (Provinsi DIY)[17][18]
Sekretaris Daerah
II.b
Kepala Balai Besar
Kepala Biro · Wakil Kepala Dinas · Direktur RS Umum Daerah Kelas B · Wakil Direktur RS Umum Kelas A · Direktur RS Khusus Kelas A
Asisten · Staf Ahli Bupati/Wali kota · Sekretaris DPRD · Kepala Dinas · Kepala Badan · Direktur RS Umum Daerah Kelas A dan B
III.a
Kepala Bagian · Kepala Bidang · Kepala Subdirektorat · Kepala Subauditorat
Kepala Kantor · Kepala Bagian · Sekretais pada Dinas/ Badan/Inspektorat · Kepala Bidang · Inspektur Pembantu · Direktur RS Umum Kelas C · Direktur RS Khusus Kela B · Wakil Direktur RS Umum Kelas B · Wakil Direktur RS Khusus Kelas A · Kepala UPT Dinas
Kepala Kantor ·Camat · Kepala Bagian · Sekretaris pada Dinas/ Badan/Inspektorat · Inspektur Pembantu · Direktur RS Umum Kelas C · Direktur RS Khusus Kelas B · Wakil Direktur RS Umum Kelas A dan B · Wakil Direktur RS Khusus Kelas A
III.b
Kepala Balai
Kepala Bagian pada RS Daerah · Kepala Bidang pada RS Daerah
Kepala Bidang pada Dinas dan Badan · Kepala Bagian dan Kepala Bidang pada RS Umum Daerah · Direktur RS Umum Daerah Kelas D · Sekretaris Camat
IV.a
Kepala Subbagian · Kepala Subbidang · Kepala Seksi
Kepala Subbagian · Kepala Subbidang · Kepala Seksi
Lurah · Kepala Subbagian · Kepala Subbidang · Kepala Seksi · Kepala UPT Dinas dan Badan ·
IV.b
Sekretaris Kelurahan · Kepala Seksi pada Kelurahan · Kepala Subbagian pada UPT · Kepala Subbagian pada Sekretariat Kecamatan · Kepala TU Sekolah Menengah Kejuruan
V.a
Kepala Urusan • Kepala Subseksi
Kepala TU Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama · Kepala TU Sekolah Menengah Umum
Jabatan pelaksana berdasarkan definisi pada UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara ialah jabatan yang bertanggung jawab memberikan pelayanan dan melaksanakan pekerjaan yang bersifat rutin dan sederhana [19].
Jabatan fungsional menurut Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Jabatan Fungsional per tanggal 26 April2019 memiliki 193 jenis jabatan dengan jumlah 25 rumpun jabatan fungsional dengan nama-nama berikut:
Rumpun Fisika, Kimia dan yang Berkaitan;
Rumpun Matematika, Statistika, dan yang Berkaitan;
Rumpun Kekomputeran;
Rumpun Arsitek, Insinyur, dan yang Berkaitan;
Rumpun Peneliti dan Perekayasa;
Rumpun Ilmu Hayat;
Rumpun Kesehatan;
Rumpun Pendidikan Tinggi;
Rumpun Pendidikan Tingkat Taman Kanak-Kanak, Dasar, Lanjutan, dan Sekolah Khusus;
Rumpun Pendidikan Lainnya;
Rumpun Operator Alat-alat Optik dan Elektronik;
Rumpun Teknisi dan Pengontrol Kapal dan Pesawat;
Rumpun Pengawas Kualitas dan Keamanan;
Rumpun Akuntan dan Anggaran;
Rumpun Asisten Profesional yang Berhubungan dengan Keuangan dan Penjualan;
Rumpun Imigrasi, Pajak dan Sistem Profesional yang berkaitan;
Rumpun Manajemen;
Rumpun Hukum dan Peradilan;
Rumpun Hak Cipta, Paten, dan Merek;
Rumpun Penyidik dan Detektif;
Rumpun Arsiparis, Pustakawan dan yang Berkaitan;
Rumpun Ilmu Sosial dan yang Berkaitan;
Rumpun Penerangan dan Seni Budaya;
Rumpun Keagamaan, dan;
Rumpun Politik dan Hubungan Luar Negeri.
Pegawai Negeri Sipil dan politik praktis
Pada masa Orde Baru, Pegawai Negeri Sipil dipolitisasi dengan cara monoloyalitas terhadap Golkar, yang menjadikan Pegawai Negeri Sipil dari sebagai abdi masyarakat menjadi abdi penguasa. Secara formal pegawai negeri memang tidak dipaksa menjadi anggota dan memilih Golkar dalam pemilihan umum, namun pada kenyataannya mereka dimobilisasi untuk memenangkan Golkar. Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada pemerintah dalam praktiknya diselewengkan menjadi loyalitas tunggal kepada Golkar.
Setelah adanya Reformasi 1998, terjadi perubahan paradigma kepemerintahan. Pegawai Negeri Sipil yang sebelumnya dikenal sebagai alat kekuasaan pemerintah, kini diharapkan menjadi unsur aparatur negara yang profesional dan netral dari pengaruh semua golongan dari partai politik (misalnya menggunakan fasilitas negara untuk golongan tertentu) serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas tersebut, pegawai negeri dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik. Pegawai Negeri Sipil memiliki hak memilih dalam Pemilu, sedangkan anggota TNI maupun Polri, tidak memiliki hak memilih atau dipilih dalam Pemilu.
Berdasarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota partai politik jo PP Nomor 12 Tahun 1999. Beberapa inti pokok materi dalam PP tersebut adalah:
Sebagai aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, maka Pegawai Negeri Sipil harus bersikap netral dan menghindari penggunaan fasilitas negara untuk golongan tertentu. Selain itu juga dituntut tidak diskriminatif khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi anggota atau pengurus partai politik pada saat PP ini ditetapkan dianggap telah melepaskan keanggotaan dan/atau kepengurusannya (hapus secara otomatis).
Pegawai Negeri Sipil yang tidak melaporkan keanggotaan dan/atau kepengurusannya dalam partai politik, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang ingin menjadi anggota atau pengurus partai politik harus mengajukan permohonan kepada atasan langsungnya (peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan Badan Kepegawaian Negara).
Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permohonan sebagai anggota/pengurus partai politik diberikan uang tunggu selama satu tahun. Apabila dalam satu tahun tetap ingin menjadi anggota atau pengurus partai politik, maka yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dan mendapat hak pensiun bagi yang telah mencapai Batas Usia Pensiun (BUP).
Penegasan larangan berpolitik
Dalam era Reformasi ini, larangan PNS Berpolitik dipertegas dalam pasal 255 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen PNS:
PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri secara tertulis.
PNS yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberhentikan dengan hormat sebagai PNS terhitung mulai akhir bulan pengunduran diri PNS yang bersangkutan.
PNS yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS.
PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terhitung mulai akhir bulan PNS yang bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Jabatan kepemerintahan non-PNS
Jabatan dalam organisasi pemerintah di Indonesia berikut ini adalah pejabat yang bukan sebagai Pegawai Negeri Sipil ataupun berstatus pegawai negeri. Pejabat berikut ini dipilih berdasarkan pemilihan yang melibatkan suara rakyat. Kekuasaan mereka melebihi pejabat yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, karena mereka merupakan aspirasi dan suara rakyat, karena jabatan ini memiliki wewenang atas pejabat yang berstatus Pegawai Negeri Sipil. Berikut adalah jabatan berdasarkan suara rakyat:
^Buku Statistik PNS Juni 2021(PDF). Jakarta: Badan Kepegawaian Negara. 2021. Diarsipkan(PDF) dari versi asli tanggal 2022-11-26. Diakses tanggal 2021-12-26.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)
^"OSVIA". Ensiklopedi Jakarta. Diarsipkan dari versi asli tanggal 9 Juli 2011.
^Wenas, Jessy (2007). Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Minahasa: Institut Seni Budaya Sulawesi Utara. hlm. 52. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-11-12. Diakses tanggal 2021-07-06.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)