Pada tahun 1985, Knitter menerbitkan buku berjudul No Other Name? yang merupakan pemetaan terhadap pemikiran-pemikiran Kristen yang berkembang saat itu mengenai agama-agama lain.[1] Pendekatan Knitter, baik metode, fokus, serta kesimpulan dari buku tersebut memiliki banyak kemiripan dengan buku Alan Race yang dipandang sebagai awal dari diskursus teologi agama-agama.[1] Bedanya, jika Race menggagas tipologieksklusivisme-inklusivisme-pluralisme, Knitter menyebut ada empat model dalam tipologinya.[1][3] Keempat model tersebut adalah:
Model Konservatif-Injili, di mana hanya ada satu agama yang benar yakni agama Kristen.[1] Menurut Knitter, salah seorang pendukung model ini adalah Karl Barth.[1]
Model Protestan Arus-Utama, yang memandang bahwa keselamatan hanya ada di dalam Kristus.[1] Pendekatan-pendekatan yang termasuk di dalam model ini menyatakan bahwa penyataan Allah memang dapat ditemukan di banyak agama, tetapi keselamatan hanya ada dalam Kristus.[1] Beberapa teolog yang dimasukkan oleh Knitter ke dalam model ini adalah Paul Althaus, Emil Brunner, dan Wolfhart Pannenberg.[1]
Model Katolik, yang menyatakan bahwa ada banyak jalan menuju Allah tetapi Kristus berfungsi secara normatif atau menentukan di dalam kepelbagaian jalan tersebut.[1] Knitter menyebutkan Hans Kung dan Karl Rahner sebagai contoh pemikir model ini.[1]
Model Teosentris, yang mana merupakan posisi yang dianut Knitter sendiri.[1] Model teosentris percaya bahwa ada banyak jalan menuju pusat yang satu, yaitu Allah sendiri.[1] Dengan demikian, peran agama-agama non-Kristen sebagai jalan keselamatan diafirmasi oleh pendukung dari model ini.[1] Selain Knitter, beberapa teolog lain yang diposisikan di dalam model ini adalah John Hick, Raimundo Panikkar, dan Stanley Samartha.[1]
Posisi Knitter di dalam buku ini, yakni posisi teosentris, memiliki kesejajaran dengan model pluralisme yang dianut oleh Alan Race.[1][3] Selain menegaskan posisinya, Knitter juga menganjurkan perlunya penafsiran ulang atas doktrin keunikan Yesus.[1] Menurutnya, selama ini kekristenan merasa superior terhadap agama-agama lain karena doktrin tersebut.[1] Untuk itu, supaya dapat terwujud dialog antar-iman maka doktrin tersebut perlu ditinjau kembali.[1]
Knitter dan Posisi Soteriosentrisme
Di dalam buku selanjutnya, 'Satu Bumi Banyak Agama', Knitter menyatakan bahwa tipologi yang ia gunakan pada buku sebelumnya kurang tepat.[2] Menurutnya, tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme yang diajukan Alan Race lebih tepat.[2] Knitter sebelumnya menyatakan bahwa dirinya menganut posisi pluralisme yang menyatakan bahwa agama-agama merupakan jalan-jalan yang berbeda menuju satu tujuan, yang dalam bahasa Kristen disebut Allah.[2] Akan tetapi, Knitter menyatakan bahwa dirinya telah melampaui posisi pluralisme yang teosentris yang dianut sebelumnya, yakni dengan posisi soteriosentrisme.[2]
Definisi
Soteriosentrisme berasal dari kata bahasa Yunanisoter yang berarti keselamatan.[2] Dengan demikian, soteriosentris secara etimologis berarti 'berpusat pada keselamatan'.[2] Jikalau pendekatan pluralisme menjadikan Satu Realitas Ilahi (disebut The Real oleh John Hick) atau Tuhan dalam bahasa agama Abrahamik, maka soteriosentrisme menjadikan konteks penderitaan umat manusia dan penderitaan alam (krisis ekologis) sebagai pusat.[2] Penderitaan yang dialami umat manusia dan kerusakan alam haruslah menjadi fokus perhatian dan sasaran dari agama-agama yang ada.[2] Manusia dan alam yang menderita perlu mendapatkan keselamatan yakni terbebas dari derita yang mereka alami.[2] Di sini, paham keselamatan dalam kekristenan diberikan pemaknaan baru oleh Knitter.[2]
Dengan demikian, Knitter mengkritik pendekatan pluralisme yang langsung menyatakan bahwa agama-agama adalah jalan menuju Tuhan.[2] Menurut Knitter, agama-agama yang ada di dunia perlu dinilai kebenarannya melalui kriteria soteriosentris tersebut, yakni seberapa besar agama-agama mau berfokus dan berjuang bagi keselamatan umat manusia dan bumi yang sedang menderita.[2] Knitter melihat bahwa kekristenan akan mengalami perkembangan yang evolutif, yakni dari eklesiosentrisme (berpusat pada gereja), melalui kristosentrisme (berpusat pada Kristus), hingga ke teosentrisme (berpusat pada Allah), dan selanjutnya adalah soteriosentrisme.[2]
Posisi soteriosentris tersebut dianut oleh Knitter setelah ia dipengaruhi Teologi PembebasanAmerika Latin.[2] Teologi Pembebasan berfokus pada pembebasan manusia-manusia yang tertindas dari para penindasnya maupun situasi yang menekan, khususnya kemiskinan struktural.[2] Minat Knitter terhadap Teologi Pembebasan sudah terlihat dari tulisan sebelumnya di dalam buku 'Mitos Keunikan Agama Kristen'.[4]
Dampak kepada Dialog Antar-Iman
Asumsi teologis ini berdampak terhadap pemaknaan dialog antar-iman.[2] Knitter menyatakan bahwa dialog antar-iman yang terjadi haruslah bertanggung-jawab secara global.[2] Arti dialog harus mendorong praksis bersama agama-agama untuk menghadapi adanya tantangan bersama berupa penderitaan konkret umat manusia dan kerusakan ekologi yang semakin bertambah.[2] Hal tersebut mestinya menjadi konteks bersama dari semua agama yang ada di dunia sekaligus menjadi titik temu dari semua agama.[2]
Penafsiran Ulang terhadap Sosok Yesus
Untuk mendukung model soteriosentris yang diusulkannya, Knitter menyusun penafsiran ulang atas sosok Yesus dan pengaruhnya terhadap misi Kristen.[5] Usaha ini ditunjukkan di dalam buku lainnya, 'Menggugat Arogansi Kekristenan', yang terbit segera setelah buku 'Satu Bumi Banyak Agama'.[5] Di dalam buku ini, Yesus dipandang sebagai tokoh yang unik dan menentukan, tetapi bukan satu-satunya penyataan Allah.[5] Keunikan Yesus adalah keunikan relasional dengan visi Kerajaan Allah yang memberitakan tentang pembebasan terhadap manusia yang menderita dan tertindas[5]
Pemetaan Baru terhadap Teologi Agama-Agama
Beberapa tahun kemudian, yakni tahun 2002, Knitter menerbitkan sebuah buku yang berisi pemetaan baru terhadap pendekatan-pendekatan di dalam diskursus teologi agama-agama.[6] Di sini, Knitter tidak lagi menggunakan tipologi eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme sebagaimana disarankan oleh Alan Race, melainkan memaknai ulang model-model tersebut dan menambah satu model lagi:[6]
Model Penggantian, yang terbagi menjadi dua, (1) Penggantian Total yang menganggap hanya agama Kristen yang memiliki kebenaran dan menjadi jalan keselamatan, dan (2) Penggantian Parsial yang menganggap bahwa Allah menyatakan atau mewahyukan diri-Nya di dalam agama-agama non-Kristen tetapi keselamatan hanya ada di dalam agama Kristen.[6]
Model Pemenuhan berintikan gagasan bahwa Allah hadir di dalam agama-agama non-Kristen, tetapi kekristenan yang memiliki Yesus Kristus berperan menyempurnakan agama-agama yang lain.[6] Contoh dari model ini adalah pandangan Gereja Katolik Roma pasca-Konsili Vatikan II yang menyatakan bahwa ada 'sinar kebenaran' di dalam agama-agama non-Kristen namun kepenuhan penyataan Allah hanya ada melalui gereja yang mengenal Yesus Kristus.[6] Contoh lainnya adalah teolog Katolik Karl Rahner dengan konsep 'Kristen Anonim'.[6]
Model Mutualitas prinsipnya menyatakan bahwa seluruh agama yang ada berada pada posisi atau fondasi yang sama, minimal dalam beberapa hal, yang mana memungkinkan mereka untuk berdialog secara mutual.[6] Ada tiga jembatan yang dikemukakan oleh Knitter:
Jembatan filosofis-historis yang menyatakan bahwa ada satu kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama.[6]
Jembatan religius-mistik yang memercayai bahwa yang Ilahi itu hadir dalam pengalaman mistik semua agama.[6]
Jembatan etis-praktis yang mengatakan bahwa ada keprihatinan dan fokus bersama dari semua agama yakni situasi dunia masa kini yang dipenuhi kemiskinan dan penderitaan.[6]
Model Penerimaan merupakan pemetaan Knitter terhadap model-model teologi agama-agama yang berkembang pada dasawarsa terakhir abad ke-20.[6] Pendekatan-pendekatan di dalamnya berusaha mengembangkan posisi di mana identitas (partikularitas) Kristen maupun agama-agama lain dapat dihargai sepenuhnya, tetapi ada keterbukaan dan relasi dengan agama-agama lainnya.[6] Ada tiga pendekatan yang dimasukkan Knitter ke dalam model ini, yakni (1) teologi pasca-liberal, (2) teologi komparatif, dan (3) pandangan teologis S. Mark Heim.[6]
Knitter dan Teologi Komparatif
Di dalam karya terbaru Knitter, Without Buddha I Cannot be a Christian (2009), ia menggunakan pendekatan teologi komparatif.[7] Buku tersebut berisi perbandingan konsep-konsep Kristen dengan konsep-konsep dalam Buddhisme.[7]
Referensi
^ abcdefghijklmnopqrst(Inggris) Paul F. Knitter. 1999. No Other Name? A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions. Maryknoll, NY: Orbis Books.
^ abcdefghijklmnopqrst(Indonesia) Paul F. Knitter. 2004. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 20-24, 35-36, 44, 52-53.
^ ab(Inggris) Alan Race. 1983. Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions. Maryknoll, NY: Orbis Books.
^(Indonesia) Paul F. Knitter. 2001. "Menuju Teologi Pembebasan Agama-Agama". Di dalam Mitos keunikan agama Kristen, eds. John Hick dan Paul F. Knitter, 274-309. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
^ abcd(Indonesia) Paul F. Knitter. 2005. Menggugat Arogansi Kekristenan. Yogyakarta:Kanisius. 168-193.
^ abcdefghijklm(Indonesia) Paul F. Knitter. 2008. Pengantar Teologi Agama-Agama. Yogyakarta: Kanisius.
^ ab(Inggris) Paul F. Knitter. 2009. Without Buddha I Cannot be a Christian. Oxford:One World Publications.