Pangkalan TNI AU ini pada awalnya bernama Pangkalan TNI AU Kalidjati hingga akhirnya diputuskan dirubah menjadi Pangkalan TNI AU Suryadarma, sebagai penghargaan kepada Bapak AURI, Marsekal TNIRaden Soerjadi Suryadarma. Berdasarkan Surat Keputusan Kasau Nomor Skep/96/VIII/2001 tanggal 27 Agustus 2001, nama Soerjadi Soerjadarma diabadikan sebagai nama pengganti Pangkalan Udara Kalijati. Keberadaannya tidak terlepas dari peristiwa perlawanan terhadap kekuatan pendudukan pemerintahan Belanda dan Jepang.
Dan sejak tahun 1991, sampai sekarang Lanud Suryadarma dikenal sebagai Pangkalan Induk bagi para penerbang helikopter (chopper) TNI sehingga mendapatkan julukan “All Choppers were born in here”.[8]
Sejarah
Sejarah pangkalan ini bisa dibagi menjadi tiga periode, yaitu masa sebelum kemerdekaan yang bisa dibagi dua, masa pendudukan Belanda dan masa pendudukan Jepang. Dalam periode ini pangkalan ini bernama Lanud Kalidjati.
Periode berikutnya adalah masa kemerdekaan Republik Indonesia, di mana pada masa ini, masih juga bernama Lanud Kalidjati.
Pangkalan ini adalah Pangkalan Udara militer pertama di Indonesia, memiliki latar belakang sejarah yang juga tidak bisa dipisahkan dari perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.[5]
Hein ter Poorten menjadi orang pertama yang berhasil menerbangkan pesawat dari Kalijati pada 8 Februari 1916, dengan menggunakan pesawat amfibi jenis Glen Martin TA. Pesawat ini diubah dari pesawat yang terbang dan mendarat di air, menjadi pesawat yang terbang dan mendarat di darat. Ter Poorten kemudian mengalami kecelakaan di penerbangannya yang kedua, tanggal 14 Februari 1916. Dalam penerbangan ini, ikut serta pula seorang petinggi tentara Hindia Belanda yang langsung meninggal saat terjadi kecelakaan.[9]
Pada masa itu Perang Dunia I kian berkecamuk di Eropa dan berdampak ke pemerintahan Belanda di Indonesia. Hal ini mengakibatkan PVA mengalami kesulitan untuk merealisasikan rencananya mendapatkan pesawat dari Eropa sehingga mencari jalan lain dengan mendatangkan pesawat terbang air dari Amerika Serikat sebanyak 2 (dua) buah pesawat Glenn Martin TE/TA/TT/R dan untuk sementara ditempatkan di Pangkalan Tanjung Priok untuk menghemat pengadaan lapangan terbang.[10] Pesawat ini memiliki keterbatasan, di mana ia hanya oleh mesin Hall Scott 140 Daya kuda yang tidak berfungsi dengan maksimal di negara-negara beriklim tropika seperti Indonesia.[10]
Namun PVA masih berkeinginan untuk memiliki pesawat terbang darat, sehingga pesawat-pesawat Glenn Martin yang dibeli dari Amerika Serikat ditempatkan di Pangkalan Udara Kalijati dengan menambahkan roda di pesawatnya.[11] Maka sejak itulah lapangan terbang ada di Kalijati, walaupun masih dalam taraf yang sederhana sekali yaitu berupa lapangan terbang rumput dan bangsal dari bambu, karena belum mempunyai hanggar maka pesawat-pesawat tersebut cepat mengalami kerusakan.
Pada tahun 1917PVA mendatangkan pesawat-pesawat baru, sebanyak 8 (delapan) pesawat pengintai dan 4 (empat) pesawat latih serta diikuti dengan dibukanya Sekolah Penerbangan Pertama di Indonesia dan PVA berganti nama LA (Luchtvaat Afdeling). Bagian penerbangan yang terdiri dari VD (Vlieg Dienst) atau Dinas terbang dan TD (Technise Dienst) atau Dinas teknik. Dan sejak tanggal 1 Januari 1940 LA diubah lagi menjadi ML-KNIL (Militaire Luchtvaart - het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger) atau Penerbangan Militer yang merupakan bagian kesenjataan KNIL.[12][4] Sebagai dukungan terhadap ML-KNIL yang baru saja terbentuk, maka ditingkatkanlah lembaga pendidikan penerbangan yang ada dengan menyelenggarakan Sekolah Penerbangan (Vliegschool) dan juga Sekolah Penerbang Pengintai (Waarnemerschool). Seiring dengan peningkatan ini, maka terjadi kekurangan tenaga ahli penerbang, sehingga dilakukan penambahan personil dari Korps Penerbang Sukarela (Vrijwilig Vlieger Corps - VVC).[13] Tenaga-tenaga ini pada umumnya adalah para pemuda Indonesia yang sejak tahun 1937 diberikan kesempatan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk mengikuti pendidikan penerbangan dengan persyaratan sangat berat. Sebelum mereka bisa siswa sekolah penerbang ini, terlebih dahulu mereka harus menempuh pendidikan di Militaire Academie di Breda, Belanda, selama kurang lebih setahun. Dan untuk lolos menjadi siswa didik, mereka juga harus lulus tes kesehatan dan kesamaptaan. Beberapa warga negara Indonesia yang berkesempatan mendapatkan pendidikan penerbangan sehingga mendapat Groot Militaire Brevet - GMB, adalah Adisucipto dan Sambudjo Hurip.[14]
Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
Lanud Kalidjati, kali pertama digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 27 Desember1949 bersamaan dengan pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintah Belanda dan digunakan oleh TKR Jawatan Penerbangan sebagai pusat pendididkan untuk melatih tenaga-tenaga penerbang dan teknik. Dalam perkembangannya kemudian, pada tahun 1989 telah dilaksanakan Operasi Boyong atau pemindahan secara bertahap Skadron Udara 7 yang saat itu mengoperasikan pesawat Helikopter Tipe Bell 47 G Soloy, Hughes 500 dan Bell 204 Iroquois dari Pangkalan TNI AU Atang Sandjaja ke Lanud Kalidjati, karena wilayah atau area latihan di Bogor dirasakan terlalu padat untuk mendukung kegaiatan latihan berbagai jenis pesawat Helikopter, disamping itu kepindahan ini juga dimaksudkan untuk mengaktifkan kembali kegiatan penerbangan di Lanud Kalidjati yang memiliki nilai historis bagi perkembangan kedirgantaraan di Nusantara, yang selama ini sepi dan vakum oleh kegiatan penerbangan. Dengan telah dijadikan lanud ini sebagai Home BaseSkadron Udara 7, selanjutnya diputuskan Skadron ini menjadi satuan pelaksana tugas Lanud Kalidjati atas dasar Keputusan Kepala Staf TNI Angkatan Udara nomor: Kep/19/XI/1990.[15]
Perkembangan selanjutnya sejalan dengan perencanaan Lanud Suryadarma akan ditingkatkan menjadi Lanud Type A.[16]
Candradimuka Bagi Para Penerbang Helikopter TNI
Sejak Skadron Udara 7 bergabung dengan Lanud Kalijati pada 1990, tugas Skadron Udara 7 yang mengawaki 2 jenis pesawat Helikopter yaitu Bell 204 B Iroquois sebanyak 12 buah dan Bell 47 G Solooy sebanyak 12 buah selain mendukung kegiatan operasi udara juga mendidik calon penerbanghelikopter. Pesawat latih yang digunakan adalah Helikopter Bell 47 G Solooy hasil modifikasi dari Bell 47 G 3 BI Sioux sejak 1984. Modifikasinya berupa mengganti engine piston AVCD lycoming AVCO TVD 43J enam silinder berbahan bakar avigas menjadi engine turbo prop allison 250C-20B berbahan bakar Avtur. Dengan modifikasi itu menjadikan Bell 47 G Solooy tetap mampu terbang, tetapi dari segi bentuk Bell 47 G Solooy cenderung sederhana yaitu hanya dua seat serta bagian belakangnya terkesan seperti pesawat yang belum jadi karena berwujud kerangka. Namun demikian Bell 47 G Solooy terbukti tangguh melatih calon pilot helikopter. Dasar penyelenggaraan sekolah penerbang dengan Bell 47 G Solooy adalah instruksi KSAU pada Mei 1987 tentang penyelenggaraan pembinaan kesiapan operasi khusus dan pendidikan sekolah penerbang helikopter latih dasar bagi calon pilot helikopter TNI. Terdapat dua macam sumber siswa tiap tahunnya yaitu Sekolah Penerbang TNI AU (Sekbang) Sekolah Penerbang Prajurit Sukarela Dinas Pendek TNI (PSDP TNI) program Markas Besar (Mabes) TNI, siswanya lulusan Sekolah Menengah Atas. Sebelum ke Skadron Udara 7, siswa Sekbang PSDP telah menjalani proses seleksi lalu pendidikan dasar kemiliteran di Solo kemudian pendidikan penerbangan dasar di Yogyakarta.[17]
Sekbang PSDP TNI digembleng melalui dua materi pendidikan yaitu bina kelas dan bina terbang. Setelah lulus mereka menyandang pangkat perwira, oleh Mabes TNI disalurkan ke TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut. Sumber kedua adalah Perwira Siswa lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU), sekolahnya dinamakan Kursus Pengenalan Terbang Pesawat Helikopter (KPTPH). Mereka merupakan perwira penerbang yang dijuruskan ke Pesawat Helikopter, sebelumnya juga menjalani pendidikan dasar penerbangan di Yogyakarta. Siswa KPTPH juga menjalani tahapan pendidikan bina kelas dan bina terbang, setelah lulus mereka disalurkan ke satuan helikopter di TNI AU. Apabila ditengok ke belakang peran Skadron Udara 7 dalam pendidikan sekolah penerbang helikopter sebetulnya telah dirintis sejak 1978, di Lanud Atang Senjaya, Bogor dengan nama pendidikan Terbang Transisi. Namun sejak 1989 Skadron Udara 7 pindah ke Kalijati agar kegiatan latih dasar helikopter dapat berjalan lancar. Hal ini disebabkan di Lanud Atang Senjaya, Bogor volume kegiatan penerbangan cukup padat oleh dua skadronhelikopter yaitu Skadron Udara 6 dan Skadron Udara 8. Sejak dirintis 1978 hingga 2008 Skadron Udara 7 telah meluluskan sekitar 570 orang Pilot Helikopter. Selain prajurit TNI, pilot yang dididik sebelum 1999 juga terdapat siswa-siswa dari luar negeri dan Kepolisian Republik Indonesia. Prestasi tersebut patut disyukuri karena dengan helikopter modifikasi jenis Bell 47 G Solooy yang merupakan pesawat tua namun tangguh, para siswa berhasil melewati masa-masa pengemblengan di kawah candradimuka Skadron Udara 7, Lanud Suryadarma untuk menjadi Pilot Helikopter (Chopper) yang profesional.
Komandan Lanud Suryadarma
Nama-nama Komandan Lanud Kalidjati pada masa pendudukan Belanda[18]
Kapten S.U. C.E. Visscher 20-10-1915 sampai dengan 01-07-1917
Kapten Zeni C.L. Vogeselang 01-07-1917 sampai dengan 01-08-1919
Kapten Inf. P O. Van Houten 01-08-1919 sampai dengan 27-10-1921
Kapten SU J.A. Roukens 15-11-1921 sampai dengan 02-11-1924
Kapten SU P.F. Hoeksema DG 03-11-1924 sampai dengan 23-02-1927
Mayor SU J. Beumer 23-02-1927 sampai dengan 02-04-1928
Letkol SU P.F. Hoeksema 02-04-1928 sampai dengan 19-12-1928
Letkol SU J.H. Wesseling 19-12-1928 sampai dengan 23-02-1932
Mayor SU G.A. Ligen 23-02-1932 sampai dengan 29-10-1934