Pandanwangi, Tempeh, Lumajang adalah sebuah desa di Kecamatan Tempeh, Desa Pandanwangi adalah desa yang terletak paling selatan sebelah timur dekat laut selatan kabupaten Lumajang ,desa ini hampir di huni +-1257 jiwa. Sebagian penduduknya bekerja sebagai petani dan penambang pasir. Dari hasil bumi bisa dikatakan desa pandanwangi adalah penyuplay buah kelapa muda, pepaya, dan pisang di Lumajang.
Masyarakat pandanwangi berdominan Jawa, dan Madura Lumajang
Bisa dikatakan Pandanwangi adalah desa dengan sumber tanah dan air yang melimpah. Dan tidak melupakan pandanwangi salah satu desa di kab Lumajang yang memiliki landasan atau markas AU di Jawa timur yang bermarkas di semenanjang pantai pak RUPA atau yang biasa di sebut juga markas AIR SHOOTING RANGER dimana biasa di buat untuk latihan para prajurit prajurit TNI di Jawa timur.
Di pandanwangi juga banyak melahirkan tokoh tokoh pejuang kemerdekaan ,salah satunya ialah BPK Soetadji dimana bapak SOETADJI atau yang akrab di panggil Mbah dji / Mbah taji adalah sosok pejuang kemerdekaan atau sosok pejuang 45 yang ada di lumajang. Sampai zaman kemerdekaan,SOETADJI yang mahir dalam berbagai bahasa ini salah satunya bahasa Belanda dan jepang dialah sosok pembangun desa pandanwangi di Lumajang.
Khususnya juga orang yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan kab Lumajang. BPK SOETADJI adalah sosok sejarah bangsa
Yang ramah dan membudayawan.
Pandanwangi begitu juga lumajang sosok SOETADJI begitu melekat di dalamnya.
Desa Pandanwangi mempunyai peninggalan sejarah berupa benteng dan landasan udara peninggalan bangsa Jepang dimana areal tersebut menjadi tempat peristirahatan terakhir para Purnawirawan TNI AD dan TNI AU yang notabene adalah Para Tentara 45 mulai dari Pangkat Kopral sampai Mayor yang mendapatkan Rumah Transmigrasi berdinding Tepas berangka bambu tanpa ada aliran listrik, jalan tanah dengan sebutan daerah TRANSLOK.
TRANSLOK singkatan dari Transmigrasi Lokal tetapi pada dasarnya Para Tentara 45 disini hanya dihargai sebagai para Transmigran yang nota bene dengan uang pensiunan pada tahun 1980 hanya sebesar Rp. 125.000,- ( seratus dua puluh lima ribu rupiah) yang pada akhirnya berdampak pada pendidikan anak anak dari Tentara 45 tersebut.
Daerah Translok pada era 80an merupakan daerah reuni, daerah tempat kekecewaan sekaligus merupakan tempat peristrirahan terakhir para Tentara 45.
Era 2000an Translok menjadi sepi karena para penghuni telah menjadi Almarhum Abadi dan para keturunannya banyak keluar dan berpencar untuk mengarungi gelombang hidupnya masing masing dengan kenangan yang tidak bisa dihilangkan sebagai anak Tentara 45 dengan sebutan Anak Kolong yang merupakan sindiran pedas untuk anak tentara yang tidurnya dikolong tempat tidur Orang Tuanya.
Pranala luar