Orang Indonesia perantauan (; disebut juga Diaspora Indonesia) adalah orang-orang dengan keturunan Indonesia yang menetap di luar Indonesia. Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah Indonesia yang menjadi warga negara tetap di negara asing atau menetap sementara di negara asing.[28]
Harapan yang lebih baik tentang kehidupan di Belanda dan Eropa pada umumnya, seperti yang terjadi pada masyarakat Maluku dan Arab-Indonesia yang banyak hijrah ke Belanda pada masa awal kemerdekaan.
Dari sekitar 7 hingga 8 juta orang diaspora Indonesia dapat dibagi jadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang Indonesia yang karena berbagai alasan dan kondisi telah melepas status kewarganegaraan Indonesianya dan secara penuh menjadi warga negara asing. Kelompok lainnya yang berjumlah sekitar 4,6 juta merupakan warga Indonesia yang berkarier di luar negeri namun masih memegang status kewarganegaraan Indonesia.[36]
Banyak orang-orang Indonesia yang merantau masih memiliki kewarganegaraan Indonesia-nya, namun pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mengeluarkan kebijakan tentang kewarganegaraan ganda. Sedangkan negara-negara lainnya, seperti India dan Filipina memberlakukan status kewarganegaraan ganda bagi para warganya yang berkarier di luar negeri, sehingga memberi manfaat besar bagi kedua negara tersebut. Menipisnya rasa nasionalisme kadang juga menjadi isu yang diapungkan terhadap kaum diaspora yang berstatus dwi-kewarganegaraan tersebut, yang mana hal ini sebenarnya tidaklah benar karena kebanyakan penduduk diaspora banyak yang berprestasi dan berpotensi mengharumkan nama Indonesia dalam kancah dunia internasional.[36]
Potensi besar kaum diaspora Indonesia yang tersebar di banyak negara terabaikan dalam tempo yang cukup lama. Baru pada bulan Juli 2012, atas gagasan Dino Patti Djalal ketika ia menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan Congress of Indonesian Diaspora (CID) di Los Angeles Convention Center. Kongres yang dihadiri lebih dari 2000 orang diaspora Indonesia dari lima benua tersebut menghasilkan "Deklarasi Diaspora Indonesia" yang salah satu kesepakatannya adalah membangun komunitas global diaspora Indonesia yang dinamai "Jaringan Diaspora Indonesia".[37]
Organisasi diaspora Indonesia
Populasi diaspora Indonesia yang berkisar 7 hingga 8 juta orang masih kalah dibanding diaspora Tiongkok dan India yang masing-masing berjumlah 70 juta dan 60 juta orang. Jutaan orang diaspora Indonesia diwadahi oleh berbagai organisasi atau perkumpulan. Banyak di antara organisasi itu masih dibatasi oleh sekat-sekat, baik sekat suku, agama, maupun profesi.[34] Beberapa organisasi atau perkumpulan itu di antaranya:
Indonesian Diaspora Business Council (IDBC) yang diketuai oleh Edward Wanandi.[38]
Indonesian Diaspora Network (Jaringan Diaspora Indonesia) yang dipimpin oleh Muhammad Al Arif. Organisasi ini merupakan organisasi diaspora Indonesia yang bersifat global.[36][34]
Terdapat banyak organisasi lainnya yang bersifat lokal, seperti Rumah Minang, Paguyuban Pasundan, dan lainnya yang berlokasi di Washington DC yang dihuni sekitar 13 ribu orang diaspora Indonesia. Sedangkan di Los Angeles ada komunitas diaspora Indonesia dengan populasi sekitar 40 ribu orang.[36]
Tokoh terkenal
Dari jutaan kaum diaspora Indonesia, beberapa di antaranya menggapai kesuksesan taraf internasional sehingga namanya dikenal di dunia. Beberapa nama, seperti Sehat Sutardja, CEO Marvell Technology Group, adalah salah satu orang Indonesia yang sukses di Amerika Serikat di bidang bisnis,[40]Sonita Lontoh, seorang teknokrat dan ekonom yang namanya harum sebagai pakar teknologi hijau dan merupakan eksekutif di sebuah perusahaan teknologi hijau cukup ternama di Silicon Valley, California,[35]Syamsi Ali, seorang pendakwah Islam yang amat dikenal di New York,[41] dan beberapa nama lainnya yang berkarier di berbagai bidang. Tidak asing juga nama Anggun Cipta Sasmi yang bermukim di Prancis sebagai salah satu penyanyi Internasional disamping menjadi Duta PBB, Adapun untuk pemain Holywood ada beberapa nama salah satunya adalah Tania Gunadi.
Kini, banyak orang Indonesia di Arab Saudi adalah pekerja rumah tangga, dengan minoritas ada yang bekerja sebagai buruh imigran atau pelajar. Sebagian besar santri dari Indonesia juga banyak yang terus melanjutkan pendidikan mereka di Saudi, seperti di Universitas Islam Madinah dan Universitas Umm Al-Qura di Makkah. Sejumlah ekspatriat Indonesia di Arab Saudi bekerja di sektor diplomatik dan perusahaan swasta dan asing setempat, seperti di Saudi Aramco, perusahaan perbankan, Saudia Airlines, SABIC, Schlumberger, Halliburton, Indomie, dll. Sebagian besar orang Indonesia di Arab Saudi tinggal di Riyadh, Jeddah, dan Dammam.
Orang Saudi keturunan Indonesia
Beberapa warga negara Saudi yang tinggal di Makkah dan Jeddah adalah keturunan Indonesia. Nenek moyang mereka datang dari Indonesia melalui laut pada akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 untuk tujuan ziarah, perdagangan, dan tujuan pendidikan agama. Banyak dari mereka tidak kembali ke tanah air mereka sehingga mereka memutuskan untuk tinggal di Saudi dan keturunan mereka telah menjadi warga negara Saudi sejak saat itu. Banyak dari mereka juga menikah dengan wanita Arab lokal dan tinggal secara permanen di Saudi. Keturunan mereka saat ini bisa dikenali dengan nama keluarga (marga) mereka yang namanya tersebut berasal dari suku/daerah leluhur mereka di Indonesia, seperti yang namanya berakhiran dengan: "Makassari" (Makkasar), "Banjari" (Banjar), "Batawi" (Betawi), "Falimbani" (Palembang), "Fadani" (Padang), "Bantani" (Banten), "Minangkabawi" (Minangkabau), "Bawayan" (Bawean), "Andunisi" (Indonesia), dan lain-lain. Jika orang Saudi memiliki akhiran nama seperti itu, maka sudah dipastikan mereka berdarah Indonesia. Salah satunya adalah Muhammad Saleh Benten, seorang politisi Saudi yang ditunjuk oleh Raja Salman sebagai Menteri Haji dan Umrah Saudi.[43]
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur menyatakan bahwa 50% penduduk Mekkah adalah keturunan Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena perdagangan antara kedua negara, sejak era kekhalifahan Rashidun dengan Nusantara di masa lalu.[44]
Sebelum pelaut Belanda dan Inggris tiba di Australia, orang Indonesia dari Suku Makassar, Sulawesi Selatan telah menjelajahi pantai utara Australia. Setiap tahun, para pelaut Makassar berlayar ke Australia dengan menggunakan perahu pinisi, Padewakang, Patorani dll. Mereka menetap di Australia selama beberapa bulan untuk berdagang sebelum kembali ke Makassar pada musim kemarau. Aktivitas ini terus berlangsung sampai tahun 1907.[45]
Diperkirakan terdapat sekitar 2.500.000 warga negara Indonesia di Malaysia pada waktu tertentu, yang disebabkan oleh adanya migrasi yang konstan sejak zaman kuno dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi serta pengiriman tenaga kerja. Jumlah warga negara Malaysia yang berdarah Indonesia mungkin bisa sampai jutaan lebih.[33]
Menurut Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, pada 2010 terdapat 180.000 warga negara Indonesia di Singapura. Sebanyak 80.000 orang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, 10.000 sebagai pelaut, dan sisanya adalah mahasiswa atau kalangan profesional.[52]
Orang Indonesia, terutama orang Jawa, berjumlah sekitar 15% dari populasi Suriname. Pada abad ke-19, Belanda mengirimkan orang Jawa ke Suriname sebagai pekerja kontrak di perkebunan. Orang keturunan Indonesia yang paling terkenal di Suriname salah satunya adalah Paul Somohardjo, juru bicara Majelis Nasional Suriname.[53][54]
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama JUMLAH TKI MENURUT NEGARA PENEMPATAN
^Milner, Anthony (2011). "Chapter 7, Multiple forms of 'Malayness'". The Malays. John Wiley & Sons. hlm. 197. ISBN978-0-7748-1333-4. Diakses tanggal 17 February 2013.
^Snoj, Jure (18 Desember 2013). "Population of Qatar". Bqdoha.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 22 Desember 2013.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Population in Brief 2015"(PDF). Singapore Government. September 2015. Diarsipkan dari versi asli(PDF) tanggal 2016-09-12. Diakses tanggal 23 Januari 2018.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Nagata, Judith (1988), "Religion, Ethnicity, and Language: Indonesian Chinese Immigrants in Toronto", Southeast Asian Journal of Social Science (dalam bahasa Inggris), 16 (1): 116–131, doi:10.1163/080382488X00072
Cunningham, Clark E. (2009), "Unity and Diversity among Indonesian Migrants to the United States", dalam Ling, Huping, Emerging Voices: Experiences of Underrepresented Asian Americans (dalam bahasa Inggris), Rutgers University Press, hlm. 90–125, ISBN978-0-8135-4342-0