Operasi Haze adalah misi pemadaman kebakaran lintas negara terbesar sepanjang sejarah. Kurang lebih 2.000 pemadam kebakaran Malaysia diterjunkan di Indonesia untuk membantu memadamkan kebakaran yang memicu kabut asap tersebut.[1]
Sejarah
Kabut asap mulai menjadi gangguan serius bagi kehidupan sehari-hari di Malaysia pada April 1983. Penyebabnya saat itu belum pasti, antara partikulat letusan gunung berapi, asap kebakaran hutan yang besar, tebang bakar terbuka di negara-negara tetangga, dan tebang bakar di dalam negeri.[2] Polusi asap muncul lagi pada Agustus 1990, Juni sampai Oktober 1991, dan setiap tahun sejak 1992, tepatnya pada bulan Agustus, September, dan Oktober. Dampak kabut asap mencapai puncaknya pada tahun 1997 ketika penyebab utamanya diketahui, yaitu kebakaran hutan dan perkebunan di Sumatra bagian selatan, Kalimantan, dan pulau-pulau lain di Indonesia. Langit diselimuti polusi sepanjang Agustus hingga November tahun itu.
Dampak
Pada September 1997, kebakaran hutan di Indonesia membara tidak terkendali. Wilayah yang terbakar diperkirakan seluas 4 juta lapangan bola dan bahkan terlihat dari luar angkasa. Kebakaran hutan Indonesia menghasilkan awan asap kuning yang menyelimuti sebagian Asia Tenggara hingga Australia utara. Awan beracun ini memicu musibah yang dikenal sebagai kabut asap Asia Tenggara 1997. Jutaan orang terpaksa mengenakan masker dan ratusan orang tewas secara langsung atau tidak langsung akibat jatuhnya kualitas udara.
Kabut asap kali ini menaikkan Indeks Polusi Udara Malaysia ke tingkat berbahaya. Di negara bagian Sarawak, angka indeks mencapai titik tertinggi. Dalam kurun enam hari, sebanyak 10.000 orang dirawat jalan atau inap di rumah sakit akibat terpapar kabut asap. Di Malaysia, Perdana Menteri terpaksa mengumumkan keadaan darurat dan menutup sekolah, kantor pemerintahan, dan berbagai pertokoan di seluruh Sarawak serta menghentikan aktivitas konstruksi dan industri. Kerugian total akibat kabut asap di Malaysia diperkirakan mencapai RM802 juta atau US$321 juta sepanjang Agustus sampai Oktober 1997. Kerugiannya menurunkan PDB Malaysia sebesar 0,3 persen.[3] Kabut asap bahkan memengaruhi kinerja turbin gas di Pembangkit Listrik Kuala Langat (KLPP), Malaysia. Turbin gas mengalami pembakaran sempurna ketika kandungan oksiden di udara cukup. Namun, selama masih ada kabut asap, kandungan oksigen di udara berkurang drastis sehingga memengaruhi pembakaran sekaligus kinerja pembangkit listrik.[4]
Tindakan
Perdana Menteri Malaysia saat itu, Mahathir Mohamad, berusaha keras mencari solusi.[5] Kepala Jabatan Bomba dan Penyelamat Malaysia menyusun rencana untuk mengirim tim pemadam kebakaran ke Indonesia.
Operasi Haze menjadi misi pemadaman kebakaran lintas negara terbesar sepanjang sejarah. Pemadam kebakaran Malaysia berupaya memadamkan kebakaran di seluruh Sumatra dan Kalimantan selama 25 hari dan menghadapi berbagai rintangan besar. Pada puncak kebakaran hutan dan lahan, yaitu bulan Agustus 1997, jumlah titik api mencapai 37.938.[6] Pohon-pohon yang terlihat sehat dapat jatuh sewaktu-waktu karena terbakar dari bawah. Kebakaran gambut memiliki risiko tertinggi karena pemadam kebakaran bisa saja terjatuh ke lubang api karena gambut bawah tanah juga terbakar.
Mereka menghadapi permasalahan besar mulai dari perlengkapan yang tidak cocok, tidak adanya sumber air, sampai mencari sumber kebakaran di pedalaman lahan gambut. Setelah 25 hari, upaya mereka berhasil mengurangi kabut asap sehingga langit bisa terlihat. Selain itu, berkat hujan muson, ancaman kabut asap berakhir.
Pasca-operasi
Sekitar 8 sampai 10 juta hektar hutan diketahui hangus, kurang lebih 40.000 orang dirawat jalan atau inap di rumah sakit dan banyak korban jiwa, pariwisata terdampak parah, dan seluruh kawasan Asia Tenggara mengalami kerugian ekonomi sebesar US10 miliar.
Rencana pencegahan
Dalam rangka mencegah munculnya kabut asap pada masa yang akan datang, Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menyetujui pembangunan sistem peringatan awal dalam Regional Haze Action Plan (RHAP) 1998 untuk mencegah kebakaran hutan dan kabut asap dengan memperbaiki kebijakan dan penanganan bencana, misalnya penerapan Fire Danger Rating System (FDRS).[7]
Selain itu, Malaysia dan Indonesia menyepakati Nota Kesepahaman Kerjasama dan Saling Membantu Dalam Penanggulangan Bencana (Memorandum of Understanding on Disaster Cooperation and Assistance) yang ditandatangani oleh Datuk Seri Mohamed bin Rahmat, Ketua Mesyuarat Jawatankuasa Tertinggi Pengurusan Bencana Pusat sekaligus Menteri Penerangan, atas nama pemerintah Malaysia dan Dato’ Seri Utama Azwar Anas, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS-PB), atas nama pemerintah Indonesia.[8]